Setelah menampar tangan Kage untuk tidak membantu, Hikari berteriak. "Jangan menyentuh ku!!" tatapan nya sangat memberontak seakan akan Kage melakukan sesuatu padanya dan Kage berwajah tak percaya dia melihat Hikari yang berteriak kesal padanya.
"Hikari...." dia mencoba membujuk. "Aku minta maaf.... Aku benar benar minta maaf...." tatapan nya sangat memohon untuk Hikari.
Hikari yang tak sepenuhnya memiliki hati iblis, tentu saja dia sangat ingin memaafkan Kage sekalipun itu bukan kesalahan Kage. Tapi dia mendengar desas desus.
"Siapa sih gadis itu, dia sok sokan sekali... Membiarkan Tuan Kage meminta maaf seperti itu..." mereka berpikir Hikari memaksa Kage melakukan itu, padahal Kage tak pernah bersikap sangat memohon seperti itu pada orang orang yang mengetahui sikap dingin nya.
Hikari tak bisa menahan air matanya dan Kage yang melihat itu menjadi berlutut, dia akan mengusap nya tapi Hikari dengan gemetar menahan tangan Kage untuk tidak menyentuhnya. Meskipun begitu, Kage tahu, jauh dalam lubuk hati Hikari, dia sangat menginginkan Kage untuk mengusap air matanya.
"Hikari... Aku tak pernah menghianati seorang Hikari. Jika nama ku bukan Monoyaki, aku juga pasti akan selalu bersama mu..." tatapannya sangat dalam yang mencoba membujuk Hikari.
Tapi Hikari yang berwajah kesal dan gemetar menjadi melirik ke arahnya. "Tidak kah kau malu pada dirimu sendiri, di hadapan semua orang!" tatapan nya mengintimidasi. Lalu menambah. "Aku sudah tenang bekerja di sini. Saat kau ada di dekatku, semua ini terjadi. Kau menghancurkan semuanya! Nanti kau akan melakukan apa lagi padaku? Terserah kau mau menikah atau belum, itu bukan urusanku. Berhentilah mengejar-ngejarku!!!" Hikari berkata sambil terus menangis deras, lalu berdiri dan berlari pergi.
"Hikari, tunggu!!" Kage hendak mengejarnya, tapi saat di lorong, Haku muncul, menangkap kerah belakang Kage dan menahannya.
Hal itu membuat Kage tercekik dan langsung jatuh ke belakang, terbaring dengan sangat kesakitan.
"Perempuan itu bukanlah cahayamu," kata Haku yang menatap tajam. Lily menyilangkan tangan dan menatap dengan senang.
Tapi Kage bangun. "Sialan, sejak kapan kau memberiku perintah!?" teriak Kage yang tiba-tiba akan memukul Haku membuat Haku terkejut.
Namun ada suara panggil. "Kage..." dengan tenang membuat Kage langsung berhenti, dia menghentikan genggaman tangan nya yang gemetar mencoba melepaskan amarahnya, hingga dia berbalik tak jadi memukul Haku. Karena yang memanggil Kage tadi adalah Chichi, Ayahnya sendiri.
"Aku tak pernah tahu sikap mu begitu... Apa kau mencoba menjadi seseorang yang buruk lagi? Melayangkan pukulan?" tatap Chichi dengan tenang.
Kage hanya terdiam, dia lalu melirik padanya. "Jika bukan karena hal itu... Aku tak akan mau menuruti mu, jangan buat alasan aku tak bisa menolak perintah mu.... Aku berhak melakukan pilihan ku sendiri...." tatap Kage dengan tatapan tajam.
"Cukup Kage...!! Kau benar benar tak bisa di andalkan.... Jika kau mendekati gadis itu, gadis yang sangat biasa, tak memiliki apapun bahkan bisnis sekalipun! Aku akan melakukan sesuatu yang buruk pada gadis itu!" kata Chichi.
"Cih, persetanan...." Kage hanya menatap kesal dan berani lalu berjalan pergi dari sana.
Lalu Haku mendekat ke Chichi. "Kau tahu sikap nya akan seperti itu, kau tahu di tangan nya pernah terkotori darah, kau tahu pikiran nya bisa saja tidak kosong... Kau tidak bisa memberikan perintah padanya ketika pikiran nya sedang tidak kosong... Itulah Kage...." tatapnya pada Chichi yang hanya menatap dimana Kage pergi.
"Aku tak peduli dia itu apa.... Kondisinya benar benar buruk soal apa yang dia pikirkan tentang kehidupan nama nya...."
Terlihat Hikari menangis di jembatan yang melintasi sungai kecil di pinggiran kota. Air sungai yang tenang mencerminkan langit sore yang mulai memudar keunguan, seolah ikut merasakan kesedihan Hikari. Angin lembut menerpa wajahnya, membawa aroma musim semi yang dipenuhi oleh wangi bunga. "Mas Kage bodoh," bisiknya dengan suara pecah, "kau menghancurkan semuanya. Kakak, kenapa kau tidak mencemaskan adikmu sama sekali? Bahkan selama 4 tahun ini..."
Hikari menyeka air matanya yang terus mengalir, membiarkan kepedihan yang ia pendam selama ini meletup. Rasanya dunia yang dulu hangat kini menjadi dingin dan jauh. Angin semakin kencang, memainkan ujung rambut hitam panjangnya yang terurai, menambah suasana kesepian yang ia rasakan di jembatan itu.
Lalu, tanpa disangka, seorang lelaki muncul dari ujung jembatan, langkahnya tenang namun penuh rasa perhatian. Dia berhenti di samping Hikari, cukup dekat hingga mereka bisa merasakan keberadaan satu sama lain, tapi cukup jauh untuk memberi ruang bagi kesedihan Hikari. Dengan perlahan, lelaki itu mengeluarkan sebuah kotak kecil berisi cokelat dari kantong jaketnya dan menawarkannya kepada Hikari.
Hikari menoleh, kaget, dan hanya bisa terdiam sejenak, bingung dengan kebaikan mendadak yang tak ia harapkan. Lelaki itu menatap lembut, wajahnya menyiratkan pengertian yang mendalam. "Jangan khawatir, Nona," ucapnya lembut, suaranya hampir berbisik di tengah angin, "aku juga sama sepertimu. Aku ditinggal kekasihku yang memilih lelaki kaya daripada diriku yang pas-pasan." Ada nada getir yang samar di akhir kalimatnya, namun tak ada kebencian, hanya rasa pasrah yang menenangkan.
Hikari mengernyit, merasa bersalah. "Maafkan aku... apa aku mengganggumu di sini?" tanyanya, merasa tidak nyaman dengan percakapan ini, meski hatinya sedikit terhibur oleh keberadaan lelaki itu.
"Tidak kok," jawab lelaki itu sambil tersenyum lembut. "Aku baru saja lewat dan melihatmu di sini. Ah iya, namaku Shiba."
Hikari sedikit ragu, tetapi akhirnya membalas dengan suara pelan, "Aku Hikari... Senang bertemu denganmu."
"Hikari, nama yang bagus juga," puji Shiba, mengangkat alisnya sedikit, seakan ingin memberikan semangat pada Hikari.
"Ahaha, terima kasih. Semua orang memang bilang begitu...." Hikari tersenyum kecil, tapi hanya sekejap, karena kenangan akan Kage kembali menghantamnya. Wajahnya kembali diliputi kesedihan, bayangan pujian Kage tentang namanya terlintas di benaknya. Perubahan ekspresi Hikari tidak luput dari perhatian Shiba, yang hanya bisa terdiam, menatapnya dalam.
"Jadi... kau ditinggal kekasihmu?" Shiba akhirnya bertanya, mencoba menggali lebih dalam, meskipun ia sudah bisa menebak jawabannya.
Hikari menggeleng cepat. "Dia bukan kekasihku," jawabnya tegas, meskipun suaranya terdengar rapuh. "Aku sama sekali tidak menyukainya. Dia dipaksa menikahi seorang wanita cantik," lanjutnya, bibirnya bergetar seolah ingin menahan luapan emosi yang lebih besar.
Shiba mengangguk pelan. "Ya, begitulah... Hikari. Yang harus kau lakukan sekarang adalah membuat yang baru, lupakan masa lalu. Hidup terlalu singkat untuk ditelan oleh hal-hal yang tak bisa kita ubah."
"Terima kasih, Mas Shiba," Hikari tersenyum lemah, ada sedikit kehangatan di balik kata-katanya.
"Tidak masalah," Shiba menepuk bahu Hikari pelan, tanda bahwa ia ada di sana untuk mendengarkan. "Oh iya, rumahmu di mana? Aku bisa mengantarmu pulang."
"Baik, terima kasih," kata Hikari, mengangguk. "Tapi aku hanya punya apartemen kecil."
"Apartemen?" Shiba sedikit terkejut. "Aku juga tinggal di apartemen. Di mana apartemenmu?"
Hikari ragu sejenak, memikirkan jawabannya. "Em... mungkin di seberang supermarket Kyoto."
Shiba tertawa kecil, terkejut namun senang. "Hah, aku juga di sana! Tunggu, tunggu, nomor berapa kamu?"
"Em... 120."
"Serius?" Shiba hampir tak percaya. "Aku 119! Ya ampun, tidak disangka kita seapartemen. Bahkan kita tetangga sebelah," Matanya bersinar dengan antusiasme yang sulit disembunyikan.
"(Aku tidak tahu kalau tetanggaku lelaki, sepertinya...)" pikir Hikari, bingung namun juga merasa sedikit lega. "Mas Shiba, apa sudah lama di sana?"
"Aku sudah lama di sana," jawab Shiba dengan senyum ramah. "Aku senang kita bisa bersebelahan."
"Hahaha iya." Hikari membalas senyumannya. Mereka terdiam sejenak, saling memandang, kemudian tersenyum bersama. Ada kehangatan yang mulai tumbuh di antara mereka, meski masing-masing masih menyimpan luka yang belum sembuh sepenuhnya.
"(Jika dipikir-pikir, aku mengalami dejavu di jembatan ini... Pertama kali bertemu Mas Ray, sekarang lelaki ini... Sepertinya dia sangat baik.)"
---
Sesampainya di apartemen, Hikari berhenti di depan pintu unitnya, berbalik ke arah Shiba yang berdiri beberapa langkah di belakangnya. Dengan senyum kecil, dia bertanya, "Apa Mas Shiba mau mampir dulu?"
Shiba tertegun, ragu. "Um... gimana ya... Aku takut mengganggu."
"Hehe, jangan khawatir. Di sini tak ada siapa-siapa," kata Hikari sambil membuka pintu apartemennya. Udara dingin dari dalam ruangan langsung menyambut mereka berdua.
"Tunggu... Kau tinggal sendiri?! Kau tak punya keluarga, Hikari?!" Suara Shiba terdengar penuh keterkejutan.
"Sebenarnya, aku punya kakak perempuan di kota sebelah," jawab Hikari sambil tersenyum kecut. "Tapi aku takut mengganggu kehidupannya... Yah, kau tahu lah, Mas Shiba."
"(Oh... Kakaknya sudah menikah... Dia tak mau mengganggu.)" pikir Shiba, kemudian mengangguk. "Aku mengerti, Hikari... Baiklah, aku masuk, permisi." Shiba melangkah masuk ke dalam apartemen yang tertata rapi, dan langsung terdiam melihat pemandangan di dalam. Vas-vas bunga kecil berisi mawar putih menghiasi hampir setiap sudut ruangan. Di jendela, meja sofa, meja makan, dapur—semuanya dipenuhi bunga yang sama.
"Wah, Hikari... Apa kau suka mawar putih? Mereka sangat cantik yah," Shiba bertanya dengan nada kagum, menatap sekeliling dengan takjub. Tak di sangka Hikari masih melakukan kebiasaan nya.
"Ehehe, iya. Sebenarnya setiap hari ada seseorang yang mengirimi aku bunga mawar putih ini," jawab Hikari, wajahnya sedikit memerah saat berbicara.
"(Seseorang?! Pacar?!... Haduh... Gak ada kesempatan dong buat merayu Hikari,)" Shiba menghela napas pelan, merasa sedikit putus asa.
Tak berselang lama, bel pintu berbunyi, membuyarkan lamunan Shiba. "Ah, itu pasti dia!" seru Hikari, wajahnya mendadak berseri-seri. Dia berlari kecil menuju pintu, meninggalkan Shiba yang masih terdiam di ruang tamu.
"(Siapa?)" pikir Shiba, rasa penasaran mulai menjalari pikirannya, membuatnya ikut melihat ke arah pintu.
Hikari membuka pintu, dan di sana berdirilah Ray, pria yang selalu membawa mawar putih. Rupanya Ray masih terlibat di sini karena dia mengirimkan bunga untuk Hikari. Tatapan ramah di wajahnya tak bisa disembunyikan, namun kali ini ada sesuatu yang berbeda. Di tangannya ada seikat bunga mawar putih, seperti biasanya, tapi ada satu hal lagi—di lengannya, ia juga menggendong seorang bayi laki-laki kecil yang tersenyum ceria ke arah Hikari. Dengan suara lembut, bayi itu memanggil, "Ibu!"