Dua hari kemudian, tampak Hikari sedang membersihkan apartemennya. Ruangan itu cukup sederhana, namun hangat dengan sentuhan dekorasi pribadi. Di setiap sudut, ada foto-foto kecil yang menggambarkan kebahagiaan masa lalunya bersama Ray bahkan ada Shiba, dan Nian. Aroma bunga mawar putih yang dia letakkan di meja samping tercium samar-samar, menenangkan suasana. "Fyuh... Sepertinya aku harus membuat menu baru untuk nanti sore," gumamnya sambil berpikir, mengusap sedikit keringat yang mulai mengalir di dahinya. Rambutnya yang berwarna cerah terikat rapi, namun beberapa helai tetap terlepas dan melambai di sekeliling wajahnya yang serius.
Sesaat kemudian, Hikari mendengar suara langkah kaki kecil di belakangnya. Ia menoleh dan melihat Nian, lelaki kecil itu, dengan rambut cokelat lembut yang melingkar di pipinya. Mata Nian yang bulat dan penuh rasa ingin tahu bersinar cerah. Dia berdiri di ujung pintu, mengintip ke arah ibunya dengan senyum malu-malu. "Ibu," panggil Nian dengan suara lirih.
"Ah, halo, kamu butuh sesuatu?" tanya Hikari lembut sambil tersenyum penuh kasih sayang. Ia berjalan mendekat dan menggendong Nian, merasakan kehangatan tubuh kecilnya yang nyaman. Hikari selalu merasa tenang setiap kali memeluk Nian, seolah segala kekhawatiran dunia tak lagi penting.
"Ibu, Nian ingin jalan-jalan," ucap Nian, matanya penuh harap, menatap wajah ibunya dengan ekspresi memohon yang tak mungkin ditolak.
"Eh, em... Jalan-jalan, ya..." Hikari tampak ragu. Dalam pikirannya, ada banyak hal yang harus diselesaikan, terutama untuk kedai yang baru saja dibukanya. Namun melihat wajah Nian yang penuh harapan, hatinya mulai luluh. Namun sebelum ia bisa memberi jawaban, tiba-tiba ada suara bel yang terdengar dari pintu depan.
Hikari berbalik dan berjalan cepat menuju pintu, membuka kuncinya dan menemukan Shiba berdiri di sana, tersenyum ramah seperti biasanya. Pria dengan tubuh tinggi dan rambut hitam pendek itu memancarkan kehangatan yang selalu membuat Hikari merasa nyaman berada di sekitarnya. "Hikari, pagi," sapanya lembut.
"Mas Shiba, selamat pagi juga. Apa ada yang bisa aku bantu?" tanya Hikari sambil menyesuaikan posisi gendongannya pada Nian, yang kini menatap Shiba dengan mata besar dan penuh rasa ingin tahu.
"Apa kau mau jalan-jalan denganku?" Shiba menawarkan dengan nada santai namun hangat, sambil sesekali melirik Nian yang tampak senang mendengar percakapan itu.
"Boleh saja, tapi bisakah Nian ikut? Aku tidak bisa meninggalkannya di sini," jawab Hikari sambil tersenyum kecil, menatap Nian yang memeluk erat lehernya.
"Tentu saja, lagipula Nian pasti butuh jalan-jalan juga, benar kan?" Shiba membalas sambil menatap langsung ke mata Nian, yang langsung mengangguk antusias, seakan sudah siap untuk berpetualang.
Lalu mereka bertiga mulai berjalan-jalan di tengah kota yang tenang. Jalan-jalan pagi itu ditemani oleh angin sepoi-sepoi yang membawa aroma kopi dan roti panggang dari kafe-kafe kecil di sepanjang trotoar. Langit biru cerah terbentang luas, dengan awan-awan putih lembut melayang perlahan, menciptakan suasana damai.
Nian, yang kini berada di gendongan Shiba, tertawa kecil setiap kali angin bertiup sedikit lebih kencang, menyibakkan rambutnya yang lembut.
"Bagaimana soal pekerjaanmu, Hikari? Kamu benar-benar membangun kedaimu?" Shiba bertanya sambil menggendong Nian dengan hati-hati.
"Yup, aku bekerja sore, jadi aku bisa menjaga Nian sebelum itu. Lagipula, aku juga bisa menjaga Nian sambil bekerja, jadi tak perlu merepotkan orang lain lagi," jawab Hikari dengan senyum bangga. Ada secercah kebahagiaan di matanya ketika dia bercerita tentang kedainya—sebuah impian kecil yang berhasil diwujudkannya.
"Wah... Jadi, kau bisa memasak? Itu hebat," kata Shiba, benar-benar terdengar kagum. Ia membayangkan Hikari yang sibuk di dapur, menyiapkan hidangan untuk pelanggan, sambil tetap memperhatikan Nian.
"Ehehe, terima kasih. Ibuku selalu memasak, jadi aku tertarik sejak kecil," balas Hikari sambil tersipu malu. Ia ingat betapa seringnya ia memperhatikan ibunya di dapur, aroma masakan yang memenuhi rumah, dan bagaimana hal itu menumbuhkan kecintaannya pada dunia kuliner.
Tiba-tiba, Nian menunjuk ke arah sebuah gerobak es krim yang berada di dekat mereka. "Es krim... Es krim!!" seru Nian dengan penuh semangat, menggoyangkan tubuhnya di gendongan Shiba.
"Oh, sepertinya dia mau es krim... Aku akan membelinya. Kau tunggu di sini, Hikari," kata Shiba sambil tersenyum, lalu ia berjalan menuju gerobak tersebut setelah Hikari mengangguk setuju.
Namun, di seberang jalan, sebuah mobil hitam berhenti dengan perlahan. Di salam sana ada Kage. Setelan hitam yang dikenakannya semakin menegaskan kesan gagah yang dimilikinya. Ia kebetulan menatap Hikari dari kejauhan, terkejut dan tak percaya melihatnya di situ.
"Hikari?!" Kage berbisik pelan, seakan tidak yakin pada apa yang dilihatnya. Ia akan keluar dari mobil untuk menyusul Hikari yang tengah sendiri.
Namun, langkahnya terhenti ketika ia melihat Shiba kembali dengan Nian yang duduk manis di gendongannya, sambil memegang es krim di tangan mungilnya. Pemandangan itu menghancurkan hati Kage dalam sekejap. "(Dia... sudah memiliki keluarga...)" pikirnya dengan getir.
"Ada apa, Kage?" tanya Chen, rekannya yang masih berada di dalam mobil.
"...Tidak apa-apa. Sebaiknya kita segera berangkat," jawab Kage dengan nada dingin, menahan perasaannya. Ia kembali masuk ke dalam mobil tanpa memberikan kesempatan pada dirinya untuk melihat Hikari lebih lama. "Jalankan mobilnya," perintahnya pada Chen, yang langsung patuh tanpa bertanya lebih lanjut.
"Apa kita akan menemui Nona Lily?" Chen bertanya saat mobil melaju kembali.
"Seperti biasanya," balas Kage singkat, matanya tertuju ke jalan yang semakin jauh dari tempat Hikari berada.
"Apa Nona Lily masih memohon akan hal itu?" tanya Chen.
"Dia masih mengharapkan aku membantunya... Tapi ini sudah tidak lagi... Ini hanya sebatas bisnis," jawab Kage tanpa nada emosi, seolah-olah perkataan itu sudah disiapkannya jauh-jauh hari.
Chen menghela napas dalam hati. "(Aku heran... Padahal sudah tidak ada hubungan lagi...)" pikirnya sambil mengingat kembali betapa rumitnya hubungan antara Kage dan Lily. Dari luar, mereka tampak sebagai pasangan yang sempurna. Namun di balik itu, ada kerapuhan yang hanya sedikit orang tahu—terutama masalah keturunan, yang mengakhiri pernikahan mereka dengan cara yang pahit.
Ketika mobil berhenti di depan sebuah kafe mewah yang berkilau di bawah sinar matahari, Chen menatap Kage. "Kita sudah sampai, Tuan Kage," ucapnya pelan.
Kage keluar dari mobil tanpa sepatah kata pun, langkahnya mantap namun penuh beban tak kasatmata. Dia berjalan menuju pintu kafe, dan begitu dia masuk, aroma kopi berkualitas tinggi langsung tercium, memenuhi seluruh ruangan. Di dalam, suasana kafe terasa tenang dan elegan, dengan langit-langit tinggi yang dihiasi lampu gantung kristal. Setiap sudutnya tampak dipenuhi dengan kesempurnaan desain—meja kayu gelap yang dipoles halus, kursi-kursi mewah berlapis kulit, dan hiasan bunga segar yang diletakkan di tengah-tengah meja.
Di salah satu sudut, seorang wanita duduk sendirian. Itu adalah Lily. Dia tampak anggun seperti biasanya, dengan rambut cokelatnya yang terurai sempurna dan gaun elegan berwarna krem yang kontras dengan kulitnya yang pucat. Namun, di balik kesempurnaan penampilannya, ada kesedihan yang tergambar jelas di wajahnya. Ketika Lily melihat Kage memasuki ruangan, mata mereka bertemu untuk sesaat—sebuah momen yang penuh dengan kenangan dan penyesalan yang belum terucap.
"Ah, Tuan Kage, akhirnya kau datang. Silakan duduk," sapanya dengan senyum kecil yang dipaksakan. Nada suaranya berusaha terdengar ramah, tetapi ada gemetar yang halus di ujung kata-katanya.
Kage duduk dengan tenang di hadapannya. Tidak ada senyuman di wajahnya, hanya tatapan dingin yang selalu ia tunjukkan setiap kali berurusan dengan Lily. "(Kau masih mau bersikap seperti itu, huh?)" pikirnya sambil memperhatikan cara Lily berbicara—seolah-olah tidak ada yang pernah terjadi di antara mereka.
Hening sejenak, dan hanya terdengar suara gesekan sendok yang diletakkan Lily di atas cangkir tehnya. Kafe di sekitar mereka dipenuhi oleh orang-orang yang berbicara pelan, suasana yang nyaman, namun bagi Kage dan Lily, ada ketegangan yang menggantung di udara.
Dua hari lalu, segalanya terasa seperti mimpi buruk yang tak kunjung berakhir. Pernikahan mereka yang sudah tidak stabil diperparah dengan tekanan dari keluarga Kage, terutama Chichi, yang tidak bisa menerima kenyataan bahwa Lily tak mampu memberikan keturunan. Lily yang selalu tenang dan anggun di hadapan orang lain, terlihat sangat berbeda ketika di ruang sidang—memohon dengan putus asa agar pernikahan mereka tidak berakhir, bahkan hingga memegang erat kaki Chichi, berharap ada belas kasihan. Tapi semuanya sia-sia.
"Tuan Kage, aku tahu kau kecewa padaku waktu itu. Aku juga tidak bisa memberikan keturunan untuk kita berdua, tapi Tuan Kage, aku sangat mencintaimu dan menyayangimu," suara Lily bergetar, matanya basah dengan air mata yang hampir jatuh. "Aku ingin kita kembali seperti dulu tanpa sepengetahuan Chichi," lanjutnya, suaranya penuh harap, meski dia tahu harapan itu terlalu tipis.
Kage menatapnya tanpa emosi, tatapan dinginnya seperti pisau yang memotong setiap kata-kata yang Lily ucapkan. "Ini perintahnya. Jika kau ingin kita kembali, mintalah pada Chichi sendiri," jawab Kage tanpa sedikit pun menunjukkan kepedulian. Kata-katanya terucap begitu datar, seakan perasaan Lily tidak ada artinya lagi bagi dirinya.
Di antara mereka, hubungan itu sudah lama mati. Bagi Kage, Lily hanyalah masa lalu yang pahit, sebuah kesalahan yang tak ingin dia ulangi. Seharusnya, saat ini Kage merasa lega—bercerai dari Lily berarti dia memiliki kebebasan untuk mendekati Hikari, gadis yang sebenarnya dia cintai. Namun, kenyataan yang dilihatnya beberapa saat yang lalu, Hikari bersama pria lain dan anak kecil, membuat hatinya terhimpit. Pikiran itu menghantuinya, meski dia tahu kebenarannya mungkin tidak seperti yang terlihat.
"Tuan Kage, kenapa kau juga seperti ini? Apa kau juga tidak mencintaiku?" suara Lily semakin lirih, air mata yang sejak tadi tertahan akhirnya jatuh di pipinya. "Aku tak bermaksud untuk mengungkit kembali hubungan kita..."
"Tapi, aku hanya ingin kau mencintaiku, Tuan Kage... Katakan padaku, aku mohon... Apa kau benar-benar ingin melepasku dan tidak berada di sisimu lagi?"
Kage terdiam. Dalam benaknya, kata-kata Lily hanya berlalu tanpa makna. Bagi Kage, semuanya sudah berakhir. Dia berdiri perlahan, mengambil amplop cek dari dalam saku jasnya dan meletakkannya di atas meja. "Aku ke sini untuk membantumu berbisnis, bukan untuk mendengar masa lalumu," katanya dingin, tanpa sedikit pun perasaan.
Namun, sebelum dia bisa melangkah pergi, tangan Lily dengan cepat menangkap lengan Kage. "Ke-kenapa Tuan Kage bersikap begitu? Apa karena ada perempuan lain?" suara Lily bergetar, namun Kage tak menoleh sedikit pun, hanya membiarkan tangannya dilepas dengan lembut tanpa ada resistensi.
"Tuan Kage, aku hanya ingin kau memikirkanku," lanjut Lily dengan suara yang hampir pecah. Tapi Kage tetap berjalan pergi, tanpa menoleh atau memberikan isyarat apa pun. Lily hanya bisa menatap punggungnya yang semakin menjauh, wajahnya penuh dengan kesedihan yang mendalam, seolah-olah dia tahu bahwa Kage takkan pernah kembali lagi.
Di luar, Chen melihat Kage mendekat. Dalam hening, dia bisa merasakan aura dingin yang semakin kuat mengelilingi nya. Tanpa berkata sepatah kata pun, Kage masuk ke dalam mobil, dan mereka segera berangkat.