Setelah semua terjadi, hujan malam ini masih mengguyur deras, seakan tak ada niatan untuk berhenti. Rintikannya yang membentur jendela kaca seakan berbisik dingin di sela malam yang sunyi, memecah keheningan di kantor perusahaan Minoyaki. Di ruangan itu, Kage berdiri tegap, menghadap jendela dengan pandangan kosong menerawang ke luar. Wajahnya suram, dan napasnya pelan, hampir terisap dalam denting suara hujan yang menghantam kaca. Di sampingnya, sosok Chen berdiri dengan gelisah, memerhatikan atasan nya yang tampak jauh dari jangkauan.
Pikiran Kage melayang ke wajah Hikari, yang kerap hadir dalam benaknya seperti bayangan samar yang enggan pergi. Ia menghela napas panjang, seolah melepaskan sebagian kecil dari beban yang menekan hatinya.
Karena terus terbawa pikiran nya, dia memutuskan untuk merokok, Chen yang melihat itu menjadi mengkerut kan alisnya. "(Semenjak kondisinya memburuk, dengan kata lain, dia terus saja bersikap egois dan emosinya tak terkendali di sini... Dia juga beberapa kali merokok dan menghabiskan banyak rokok dalam satu hujan... Dia seperti terlalu banyak putus asa, tapi dia pasti tahu, jauh di lubuk hatinya dia tak mau menyerah untuk mendapatkan kepercayaan kembali dari gadis itu, tak peduli apa perkataan orang lain termasuk perintah Chichi yang sudah berani dia tantang...)" Chen berpikir dan khawatir akan kondisi Kage. Mau bagaimana lagi, jika Kage terus menambah buruk keadaan nya, dia tidak akan bisa menahan emosinya bahkan jika bisnis sudah mulai ikut campur.
Sementara Kage hanya mengkhawatirkan Hikari. "(Aku tak tahu lagi harus mengatakan apa pada Hikari, dia gadis yang butuh bukti, bukan kepastian,)" gumamnya dalam hati, menyadari betapa sulitnya membina perasaan dengan seseorang yang begitu penuh keyakinan pada bukti nyata, bukan sekedar janji.
Chen menatap Kage dengan tatapan penuh tanda tanya. Keraguan dan ketidakpastian terpancar di wajahnya, seolah ingin mengatakan sesuatu yang tak berani ia ungkapkan. Akhirnya, ia bertanya dengan suara yang dipenuhi kehati-hatian, "Apa kau benar akan menjalin hubungan dengan Hikari, lagi?"
Kage menoleh padanya, wajahnya masih menyimpan kebingungan. "Siapa yang bilang jika hubungan kita saat itu berakhir?" jawabnya pelan, matanya tetap terpaku pada hujan di luar jendela. "Tapi yang jelas, aku ingin dia menyukaiku," lanjutnya dengan nada yang penuh harap namun bercampur getir, seakan kata-katanya mengambang di udara tanpa tujuan.
Chen tersenyum kecil, sinis namun penuh kepedulian. "Kage, kau terlalu mengharapkannya. Bukannya kau yang mengajak, tapi Hikari hanya gadis tanpa daya tarik bagi lelaki," ujarnya, namun ada nada prihatin dalam suaranya. Namun, sebelum Kage sempat merespons, ponsel Chen bergetar, membuyarkan percakapan mereka.
Dengan sedikit ragu, Chen melihat ke layar ponselnya, "Em... aku izin pergi dulu, ada pertemuan baru yang harus aku rancang sekarang untuk mu," ucapnya sambil berjalan menuju pintu, namun ketika ia membuka pintu itu, pandangannya terhenti pada sosok yang basah kuyup di depannya.
Sosok itu adalah Hikari, berdiri dengan tubuh gemetar, rambutnya yang cerah panjang menempel di kulitnya. Matanya merah, memancarkan kemarahan yang membara. "Di mana atasanmu?!" suaranya menggema, menembus ruang yang semula sunyi.
Kage yang mendengar suara Hikari langsung mendekat, tak menyangka melihat gadis yang kini berdiri basah kuyup dengan amarah yang terlihat jelas di matanya. "Hikari..." bisiknya, namun kata-katanya terpotong oleh tamparan keras dari Hikari. Tamparan itu bukan sekadar sentuhan, melainkan luapan kemarahan dan luka hati yang ia simpan selama ini. Chen yang menyaksikan hal itu tak berkutik, terpaku di tempatnya dengan wajah terkejut.
"Ka... Kage..." Chen hanya bisa berucap pelan, kebingungan.
Dengan satu gerakan, Kage memberi isyarat padanya untuk keluar dengan tatapan serius. Chen pun mengangguk pelan, meski tampak ragu, ia beranjak meninggalkan ruangan, menutup pintu dengan hati yang masih terusik oleh kejadian barusan.
Hikari berdiri di sana, benar-benar terlihat basah kuyup, tubuhnya bergetar antara dingin dan marah. "KAU MEMBOHONGIKU!" teriaknya dengan suara yang penuh emosi, menggema di seluruh ruangan.
Kage menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya dan Hikari. "Duduklah dulu, kau basah kuyup," katanya lembut sambil melepas mantel hitamnya. Ia mendekati Hikari dengan hati-hati, lalu menyampirkan mantelnya di bahunya. Namun, gerakan itu segera dihalau Hikari, yang melempar mantel tersebut hingga terjatuh ke lantai.
"Hentikan semua ini! Kenapa kau mau dengan pelacur itu?!" suaranya penuh getir dan kebencian, matanya menatap Kage tajam, seakan ingin menembus hatinya yang rapuh.
Kage tertegun, tak menyangka Hikari akan berbicara sedemikian tajam. "Apa maksudmu?" tanyanya dengan lembut, berusaha mencari alasan di balik kemarahan Hikari yang begitu mendalam.
"Mas Ray menuduhku karena kau bekerja sama dengan pelacur itu. Dia bilang kalau aku adalah pengganggu kalian!... Dan kau bilang kau sudah bercerai dengannya! Kenapa... kenapa kau masih... hiks..." suara Hikari bergetar, air mata mulai jatuh membasahi pipinya. Tangisnya perlahan pecah, menggambarkan perasaan yang terpendam lama, perasaan sakit dan pengkhianatan yang ia coba sembunyikan.
"Aku tak tahu... harus apa... huhu... ini semua salahmu... huhuhuhu..." Hikari menutup wajahnya dengan kedua tangan, tenggelam dalam kepedihan yang tak dapat ia sembunyikan lagi. "(Kupikir ini tidak akan terjadi... Kenapa dia bisa-bisanya diam saja, tak membela diri saat dirayu oleh perempuan itu... Apa dia tak tahu bahwa aku kesakitan melihat itu?!)" batinnya meraung, tenggelam dalam salah paham yang merusak hatinya.
"Aku memang bekerja sama dengan Lily, tapi itu hanya urusan kerja antar perusahaan. Itu bukanlah suatu hubungan apa pun," tatap Kage serius, matanya menunjukkan ketulusan yang ingin ia sampaikan pada Hikari. Namun tatapannya justru semakin membakar perasaan sakit dalam diri Hikari.
"Kalau begitu, kenapa kau diam saja saat dia merayumu? Kau pikir aku tak tahu soal itu, huh?! Kau benar-benar brengsek!" teriak Hikari, air matanya masih mengalir, tangannya bergetar saat ia mendorong Kage, lalu membalikkan tubuhnya hendak pergi.
"Hikari, dengarkan aku dulu," ujar Kage sambil menahan tangannya, namun Hikari langsung memberontak.
"Lepaskan aku... Aku tak mau mendengar apa pun darimu lagi!" teriak Hikari dengan penuh rasa sakit. Tapi Kage tidak membiarkannya pergi begitu saja. Ia menarik Hikari kembali dan memojokkannya di atas meja, menahannya agar ia tidak pergi, seakan takut kehilangan kesempatan terakhir untuk menjelaskan.
"Lepaskan aku! Aku sudah tidak mau mempercayaimu lagi! Dasar kau pemain wanita... Jangan sentuh aku!" Hikari mencoba memberontak di antara dia yang terbaring di atas meja.
"Hikari, dengarkan aku dulu. Aku melakukan semua ini untuk menyingkirkan Lily. Kau benci padanya, kan? Aku akan membalas dendam untukmu," ucap Kage dengan suara lembut namun penuh ketegasan, berharap perasaannya tersampaikan.
"Aku tidak mempercayaimu!" Hikari berteriak, berusaha untuk menghindari tatapan Kage, tapi ada sesuatu dalam tatapan Kage yang menahan dirinya. Sejenak, ia terdiam, meski matanya masih berlinang air mata.
"Hikari, kumohon..." Kage menatapnya dengan tatapan cemas, tak tahu lagi harus berbuat apa. Meski hatinya terus meronta, Hikari hanya bisa terdiam, terpaku oleh tatapan Kage yang begitu tulus namun penuh kegundahan.
"(Aku tak tahu... kenapa ada seperti penghalang di antara kita berdua. Aku membencimu,)" tatapnya kosong, namun air matanya tak berhenti mengalir, membuat Kage terdiam dalam rasa bersalah yang mendalam.
"Kau boleh membenciku sepuasnya, tapi jangan membenci dirimu..." ucap Kage dengan nada lembut, suaranya terdengar menenangkan meski penuh beban. "Aku sedang berusaha mencari bukti untukmu, aku berharap kau bersabar...." lanjutnya, berharap kata-katanya memberi sedikit kelegaan. Namun, Hikari masih terdiam. Perlahan, Kage mendekat, lalu mencium bibir Hikari dengan lembut. Dalam keheningan itu, air mata terakhir Hikari jatuh, seolah memberi tanda bahwa ia mulai memaafkan Kage, meski hatinya masih bergejolak.
"(Hatiku sangat sakit ketika dia berkali-kali meninggalkanku dan menggangguku... Kau pikir menjual tubuhku sebagai gadis kontrak itu hal yang mudah? Aku juga tak tahu apa yang membuatmu tertahan untuk memberiku jalan yang baik. Aku tahu kau pria yang baik, tapi lingkunganmu menjadikanmu pria yang buruk... Tapi aku tetap melihatmu sebagai pria lemah yang memasang wajah cemas itu padaku... Aku sangat ingin meminta bantuannya, tapi aku tak tahu harus mulai dari mana,)" batinnya merintih, tenggelam dalam kekalutan yang belum terselesaikan.
"Hikari...." Kage memanggil pelan membuat Hikari membuka mata menatapnya.
"Kau dingin, kau bisa demam jika begini, aku akan meminta Chen membawakan baju untuk mu, kau bisa mandi di sana...." Kage menunjuk ruangan kecil di dalam kantornya, tapi tak hanya ucapan, dia juga bergerak menggendong Hikari di dada membuat Hikari terkejut, karena hal itu membuat mereka saling menatap.
Dengan wajah yang masih tak mau menerima, Hikari hanya bisa memeluk Kage membiarkan Kage ikut basah dengan tubuhnya.
Lalu Kage perlahan meletakan Hikari di dalam bak mandi kosong, dia berlutut menatap Hikari yang masih terdiam.
"Hikari, kau ingin aku memandikan mu?" tatapnya.
Tapi Hikari menolak dengan membuang wajah. "Keluarlah..." tatapan kesal itu meluncur lagi membuat Kage terdiam tapi ada suara dari Chen di luar.
"Kage? Halo~ oh direktur Kage?" panggilan itu membuat Kage hanya bisa menatap Hikari, lalu dia mencium pipi Hikari membuat Hikari terkejut, ketika dia menoleh ke Kage, Kage sudah berjalan keluar membuat Hikari terdiam di sana.
Tak lama kemudian Hikari keluar dengan baju yang sudah di belikan Chen atas perintah Kage. Hikari tampak sangat lebih baik menggunakan gaun pendek itu, ketika keluar dengan rambut setengah basah, dia menatap Kage yang fokus menatap kertas kertas di mejanya dengan wajah serius.
Lalu dia menatap ke Hikari, membuatnya berdiri dan mendekat. "Bagaimana keadaan mu?" tatapnya.
". . . Lebih baik..." Hikari membalas singkat sambil membuang wajah.
Tapi Kage tak mau menyerah menenangkan Hikari, jadi dia memeluk Hikari membuat Hikari terkejut. Lalu Hikari mendengar suaranya. "Aku cinta padamu Hikari... Aku mohon jangan bersikap seperti ini... Aku sudah berjanji akan melakukan apapun... Aku akan melakukan untuk mu.... Apapun itu...." tatapnya, lalu pandangan mereka saling menatap membuat Hikari memegang pipi Kage, wajah Kage benar benar sangat menginginkan Hikari memaafkan nya.
Lalu Hikari memegang kedua pipi Kage sekaligus dan dengan cepat menarik kerah Kage untuk membuat Kage membungkuk dan mereka mencium bibir.