Suatu hari itu, Hikari memutuskan untuk menemui Ray dan meminta waktu untuk berbicara di kantor polisi.
"(Kemarin adalah hal yang terduga untuk sebuah publik. Reputasi orang orang banyak yang turun karena kemarin dan sekarang entah mengapa aku benar-benar puas melihat hal ini, apalagi untuk Mas Ray....)"
Terlihat Ray duduk di hadapannya dengan adanya kaca penghalang. Hikari meletakkan sekantung buah di depannya.
"Hikari, maafkan aku," Ray menatap dengan penuh penyesalan.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan oleh seorang bajingan sepertimu. Kau sudah bukan siapa-siapa lagi. Inilah akibat yang kau tanggung karena telah merendahkan wanita. Aku tidak akan mau berurusan denganmu lagi... Tidak perlu repot-repot membantuku lagi, dan tidak usah buang waktu memberiku bunga mawar putih lagi...." kata Hikari sambil menatap dengan aura membunuh.
Ray yang mendengar itu menjadi terkejut. Lalu Hikari berjalan pergi, sementara Ray menjadi sangat marah dan mengepalkan tangannya.
"(Aku akan melupakan apa yang terjadi. Kini hidupku dimulai lagi,)" Hikari berjalan keluar dan melihat Kage yang berdiri menunggunya di samping mobil. Hikari tersenyum lalu berjalan memeluknya. Kage juga senang dan membelai rambutnya.
Pembalasan dendam telah usai, hubungan mereka kembali bersama.
"(Aku sangat senang jika Mas Kage sangat pandai dalam hal ini... Aku sangat bersyukur dia menunjukkan jalan yang baik padaku,)" Hikari memeluk Kage dengan hangat.
"Bagaimana, apakah itu baik-baik saja?" tanya Kage.
"Yeah, aku tidak akan khawatir ada sesuatu yang buruk lagi.... Terima kasih banyak, dan maafkan aku," kata Hikari menengadah menatapnya.
Lalu Kage tersenyum kecil dan mendekat menatapnya. "Akhirnya, kau mengakuiku."
Namun, mendadak Hikari terkejut dan langsung mendorongnya. Dia memisahkan pelukan dengan wajah merah, lalu membuang wajah dengan rasa gengsi. "Ehem... Jangan berharap lebih. Kau memang membantuku, dan aku tetap tak bisa memaafkan apa yang terjadi, jadi jangan berharap lebih," Hikari menyilangkan tangan, mulai tidak mengakui Kage karena malu.
Kage yang mendengar itu menganggapnya serius dan akhirnya agak kecewa. "Baiklah," dia menatap serius, membuat Hikari menoleh menatapnya.
Lalu Kage menambahkan perkataannya. "Bagaimanapun juga... Aku akan membuatmu mengakuiku. Aku tidak akan membiarkanmu membenciku," tatapnya dengan serius.
Hikari terdiam, lalu membuang wajah dengan senyum kecil. "(Kau benar-benar pria yang baik....)"
"Nah, karena sekarang aku tidak terlalu sibuk, mungkin aku bisa berkunjung sebentar," kata Kage. Seketika Hikari terkejut, tak percaya, dan menoleh padanya.
Malamnya, mereka sampai di apartemen. Hikari keluar dari mobil Kage, tapi siapa sangka Kage ikut keluar.
"Apa yang kamu lakukan?" tanya Hikari.
"Aku sudah bilang padamu, aku akan berkunjung," kata Kage.
Hikari yang mendengar itu menjadi terkejut dengan wajah merah. "Ka... Kamu tak boleh berkunjung. Nian nanti tidak bisa tidur," dia menatap panik.
"Aku bisa menidurkannya...." Kage membalas dan berjalan melewati Hikari yang panik dan cemas.
Namun, dia mencoba menghela napas panjang. "(Baiklah, terserah saja....)" Dia pasrah lalu mengikuti Kage ke pintu apartemennya.
Namun, Kage bingung karena Hikari menuju pintu apartemen yang lain dan menekan bel.
Hikari meliriknya. "Kenapa lihat-lihat?" dia menatap kesal.
"Bukankah pintunya yang ini?" Kage menatap bingung.
Tak lama kemudian, pintu apartemen sebelah terbuka. Itu Shiba dengan Nian yang menangis.
"Huhu... Ibu..." Nian menangis ingin ikut Hikari.
"Hikari, maafkan aku, sepertinya aku sudah tak pandai menjaga bayi," Shiba menatap kecewa.
Hikari juga kecewa. Dia lalu mengambil Nian dan menggendongnya. "Tak apa.... Nian hanya tenang ketika aku yang menggendong," kata Hikari. Yang benar saja, Nian tenang dan memeluk Hikari meski masih menangis.
Kage yang melihat itu menjadi terdiam. Lalu Shiba menutup pintu apartemennya, dan Hikari mendekat ke Kage.
"Apa dia selalu menjaga bayimu?" tanya Kage.
"Sudah kubilang dia bukan siapa-siapa, apalagi untuk Nian. Seharusnya yang menjaganya adalah Mas Ray. Dia bisa menjaga Nian dengan baik, tapi ini semua membuatku menilainya buruk. Dia juga di penjara, jadi aku tak punya orang yang bisa menjaga bayi dengan baik," kata Hikari, membuat Kage kembali terdiam. Namun, ia mengulurkan kedua tangannya, membuat Hikari terdiam menatapnya.
"Biarkan aku membawanya. Aku tahu kau masih harus mengurus pekerjaan rumahmu," tatapnya.
Hikari terdiam sebentar, lalu dia menatap Nian. "Nian, apa kau mau ikut dia?"
Nian yang mendengar itu menoleh dan melihat Kage, seketika wajahnya berseri-seri. "Gege..." Dia memang menyukai Kage.
Hal itu membuat Kage tersenyum kecil dan menggendong Nian yang senang berada dalam pelukannya.
Hikari menjadi terdiam, dia bahkan menatap tak percaya. "Bagaimana bisa, kamu memakai sihir apa?" tatapnya.
Kage hanya tersenyum kecil, membuat Hikari terdiam bingung.
Tak lama kemudian, Kage terlihat menemani Nian di sofa sementara Hikari ada di dapur.
"Gege... Aku senang bisa melihatmu," Nian menatap Kage.
"Benarkah begitu? Katakan padaku, kenapa kau senang melihatku?" Kage ikut menatapnya.
"Gege sangat baik," kata Nian. Lalu Kage tersenyum kecil.
"(Ini memang aku lewati dengan mudah, tapi aku masih belum berani bilang pada Hikari... Aku membutuhkan waktu dan suasana yang tepat untuk memberikan sesuatu padanya.)"
"Gege, ayo bermain," tatap Nian dengan senang.
"Bermain apa itu?" Kage menatap dekat. Lalu Nian tertawa senang, dan itu didengar oleh Hikari yang ada di dapur.
Tak lama kemudian Nian tertidur di sofa, dan Kage menyelimutinya. Hikari mengintipnya dan tersenyum kecil.
"(Sejak kapan dia bisa pandai menjaga bayi? Bahkan dia bisa menidurkan Nian, sepertinya umurnya memang cocok untuk mengasuh bayi sebagai ayah...)" pikirnya, tapi mendadak dia terkejut dan langsung menggeleng cepat. "Apa yang sebenarnya aku pikirkan sih..."
Lalu, Kage kebetulan menoleh ke arah Hikari, membuat gadis itu terkejut. Dia terlihat canggung sejenak, sebelum akhirnya memberikan isyarat tangan ke arah dapur. Kage, yang menangkap gerakan itu, berdiri dari sofa dan melangkah menuju dapur, mengikuti Hikari.
"Aku kehilangan minyak zaitun. Bisa kau bantu mencari?" ucap Hikari, suaranya terdengar sedikit tergesa.
"Terakhir kali kau meletakkannya di mana?" tanya Kage, nadanya tenang namun penuh perhatian.
"Aku sama sekali tidak ingat, karena itu cepatlah, tolong cari," balas Hikari, sibuk membuka setiap rak di bawah meja dapur. Sementara itu, Kage sekilas menangkap kilauan botol minyak zaitun di rak paling atas. "Ah, ada di sana. Aku akan mengambilnya." Kage mengulurkan tangannya ke arah rak atas, tetapi Hikari dengan cepat menghentikannya.
"Jangan, biarkan aku sendiri." Tatapan Hikari menegaskan keinginannya, sementara ia berjinjit dan mencoba meraih rak atas. Namun, jaraknya yang terlalu tinggi membuatnya tidak sampai.
"Mau aku angkat?" Kage berbisik lembut di dekat telinganya, senyumnya tipis namun menggoda.
"Apa yang kau bicarakan? Ssst, jangan berkata begitu, aku akan melakukannya sendiri!" Hikari bergumam sambil menarik sebuah kursi, lalu menaikinya untuk mencapai rak.
"Di mana botolnya?" tanya Hikari, matanya menyipit sambil mencoba memperhatikan posisi botol.
"Ada di pojok," jawab Kage, tatapannya penuh kesenangan. Diam-diam, Kage menyentuh bagian bawah kursi dengan kakinya, memberi sedikit dorongan yang membuat kursi itu bergoyang lembut.
"Hah… jangan digoyang!" Hikari berteriak kecil, kehilangan keseimbangannya seketika.
"Aku tidak melakukan apa-apa," sahut Kage, suaranya terdengar puas dengan sedikit cengiran.
"Ja… jangan digoyang aku bilang! Hah… Uwahh!!" Dalam sekejap, Hikari terjatuh ke bawah, dan saat ia membuka mata, posisinya sudah berada di atas tubuh Kage, dengan wajah mereka hanya terpisah beberapa inci. Mereka terdiam di lantai, dalam posisi yang nyaris terlalu dekat.
"Hah, apa yang kulakukan?!" Hikari segera terduduk, namun posisinya masih di atas tubuh Kage. Wajahnya bersemu merah, sementara Kage menatapnya dengan sorot yang penuh dengan kehangatan dan kelakar.
"Kau mau mencobanya?" tanya Kage, suaranya rendah dan menggoda, menambah rona merah di wajah Hikari yang semakin dalam.
Seketika Hikari berteriak. "Dasar mesum!" Ia menampar Kage tanpa sadar, membuat Nian terbangun.
"Ibu!" Nian berjalan dengan setengah tertidur dan terkejut melihat posisi mereka.
"Ni... Nian, ini bukan seperti yang kau pikirkan," Hikari panik.
"Huwaaw, Ibu dengan Gege bersama!" kata Nian dengan kagum. Seketika Kage dan Hikari terdiam.
Kage: "Kau yang mengajarinya?"
Hikari: "Tidak."
Satu jam kemudian, Hikari keluar dari kamar Nian yang sudah tertidur. Ia berjalan dengan pinggang yang sakit lalu duduk di sofa. "(Aduh, ini sakit. Gara-gara Mas Kage tadi,)" ia kesal sendiri.
Lalu Kage datang hanya dengan memakai handuk. Sepertinya dia baru selesai mandi.
"Kamar mandimu kecil."
"Jika tidak nyaman, pakai punya sendiri dan pulang saja. Ini sudah kedua kalinya kau memakainya dan mengatakannya dua kali..." Hikari menyela dengan tatapan kesal.
Tapi tiba-tiba Kage mendekatkan wajahnya, membuat Hikari terkejut. "Ingat ciuman saat itu," ia menatap.
Seketika Hikari mengingat ciuman yang ada di kantor Kage. "I... Itu hanya kebetulan."
"Itu bukan kebetulan. Aku yakin kau mau lagi."
"Apa?" Hikari terkejut, tapi mendadak pinggangnya kembali terasa sangat sakit. Ia jadi kesakitan. Kage menjadi bingung. "Kau baik-baik saja?" tatapnya dengan khawatir.
"Ya, ya aku baik-baik saja, ehehe," Hikari membalas, tapi rasa sakit itu tidak tertahankan.
"Apa ini yang sakit?" Kage memegang pinggang Hikari.
"A... apa yang kau lakukan?!" Hikari terkejut. Tapi tidak disangka, Kage memijatnya, dan pijatannya membuat Hikari nyaman sambil terdiam. "(Ta... tangannya yang besar... sangat nyaman... Apa yang terjadi... tubuhku meleleh.)"
"Berbaringlah, aku akan memijatmu," Kage mengambil minyak pijat.
"De... dengan handuk, pa... pakai dulu celanamu."
"Tidak usah banyak protes, aku akan memijatmu."
"Ya, tapi aku tak pernah melihatmu telanjang begitu. Paling tidak, pakai celana, aku mohon," Hikari menatap dengan tatapan cahaya suci dari matanya, membuat Kage mengambil celana panjangnya dan memakainya, kemudian mendekat.
"Aku akan membuatmu nyaman," kata Kage.
"(Nyaman katanya, dia mau apa sebenarnya,)" Hikari tengkurap di sofa sambil merasa waspada. Lalu Kage memijat pinggangnya.
"(I... ini nyaman... Tak kusangka dia bisa memijat senyaman ini... Apa ini karena tangannya yang besar... Aku jadi ngantuk,)" Hikari menikmatinya. Lalu Kage tersenyum kecil menatapnya.
Tidak lama kemudian, Hikari terdiam.
"Hikari, apa kamu sudah tidur?" Kage menatapnya dari samping dan ternyata Hikari sudah tidur. Ia berdiri dan menyelimuti Hikari dengan selimut. Lalu duduk di bawah sofa memandangi wajah Hikari. "(Aku mungkin tidak akan bisa lama berada di sisimu. Aku hanya di sini sebentar. Dari dulu kau tidak tahu diriku siapa. Dan aku juga tidak ingin kau tahu aku siapa. Hikari, kau adalah cahaya untukku,)" Kage mendekat dan mencium kening Hikari perlahan. Begitulah bagaimana Konflik dapat mengembalikan rasa percaya Hikari pada Kage.