Chereads / Romantika Gadis Kontrak / Chapter 36 - Chapter 36 Belum Selesai

Chapter 36 - Chapter 36 Belum Selesai

Tak lama kemudian, Hikari mulai merasa ada yang aneh pada tubuh Kage. Dalam sunyi malam yang dingin, ia tiba-tiba terbangun, didorong oleh sebuah firasat yang tak ia pahami sepenuhnya. Dengan hati-hati, ia menyentuh tubuh Kage yang terbaring di sampingnya. Suhu tubuh Kage sangat panas, jauh dari suhu tubuh normalnya. Hikari tersentak, merasa cemas sekaligus terkejut.

"Hah, Mas Kage, kau... demam?" Hikari berbisik, nyaris tak percaya pada apa yang dirasakannya. Ia terjaga sepenuhnya, menyadari bahwa Kage dalam kondisi yang lebih buruk daripada yang ia kira.

Kage hanya bernapas panas dan dia menunjukan demam yang sangat parah. Ia perlahan merasakan tangan Hikari yang menyentuhnya membuatnya membuka mata. "Hikari... Aku baik baik saja..." tatap Kage.

"Apanya yang baik baik saja? Kamu sudah jelas demam, apa itu alasan mu ingin tidur cepat? Kau kedinginan..." Hikari tampak panik.

Dalam diam, Hikari berusaha berpikir cepat. "Kau menyerahkan mantelmu tadi padaku... aku harus mencarikan obat," tatapnya.

"Tidak, jangan..." Kage mencegah tangan nya membuat Hikari terkejut.

"Aku sudah bilang... Aku baik baik saja..." kata Kage sambil perlahan bangun duduk dengan wajah yang lemas. Hikari melihat tubuh Kage yang besar saat terbangun membuat Hikari terdiam.

"Jangan bangun, tetaplah terbaring...!" Hikari mendorong nya sekuat tenaga.

Tapi mendadak Kage memeluk nya membuat Hikari terkejut. Tubuh telanjang tipis mereka saling menyentuh dan kehangatan mulai terasa.

"Aku baik baik saja..." sekali lagi Kage berbicara.

Hikari menjadi kesal, dengan cepat dia mendorong wajah Kage membuat Kage melepasnya dan jatuh terbaring. Dia tampak lemas melihat Hikari yang bahkan menahan nya untuk terbaring. Hikari menekan dada Kage untuk tidak bangun dan Kage hanya bisa memegang pinggang Hikari.

"Tetaplah terbaring... Astaga, kau kelihatan seperti orang mabuk saat demam..." tatap Hikari.

"Tidak, Hikari, jangan pergi..." tangan Kage yang menyentuh pinggang Hikari, mendadak turun memegang bagian belakang Hikari membuat Hikari terkejut. Jari Kage juga hampir masuk ke selipan celana dalam Hikari.

"Hentikan itu!" Hikari menahan tangan nya dengan kesal. "Kau benar benar kelihatan sangat mabuk... Tetaplah diam, aku tak akan meninggalkan mu... Jadi tidurlah..." tatap Hikari.

Perkataan itu membuat Kage sedikit lebih tenang tapi dia mengatakan sesuatu. "Aku ingin tidur di pangkuan mu..."

Seketika Hikari terkejut. Tapi ia mencoba menuruti permintaan Kage. Dan tak lama kemudian kepala Kage tidur di atas paha Hikari yang sangat putih dan apalagi telanjang. Kage yang tak bisa menahan sakit demam nya hanya bisa bergerak kemana mana bahkan dia memeluk Hikari membuat wajahnya menyentuh perut Hikari.

"Hiz... Jangan bersikap aneh!!" Hikari menamparnya pelan. Tapi Hikari tetap khawatir pada apa yang di luar. "(Apa yang harus aku lakukan... Jika begini terus, Mas Kage tidak akan merasa baik, aku tetap harus mencari obat!)" ia tampak bertekad dan tiba tiba mendorong kepala Kage untuk menyingkir membuat Kage terkejut Hikari akan pergi.

Perlahan, ia bangkit dan mengenakan pakaian, mencoba bersikap tenang meskipun hatinya dipenuhi kecemasan.

"Hikari, jangan..." Kage juga buru buru keluar dari ranjang tapi Hikari tidak menghiraukan nya.

Namun, ketika tangannya hendak membuka pintu, ia mendengar suara keras dari luar rumah.

"Cepat cari! Mereka pasti melewati tempat ini. Hoi, keluar!" Suara kasar itu menggema di antara dinding kayu rumah kakek tua, mengguncang ketenangan malam yang sebelumnya hening. Hikari terpaku di tempatnya, menahan napas. Ia mengenali suara itu – para preman yang sejak tadi mengikuti mereka, kini berada di depan pintu.

Ketukan kasar di pintu terdengar, diikuti suara gemuruh saat para preman mendobrak masuk. Kakek tua itu, yang tadinya tengah terlelap, terbangun dalam keadaan bingung dan ketakutan.

"A... ada apa ini?!" serunya, suaranya terdengar gemetar.

"Hoi, Kakek! Kau lihat lelaki dan perempuan asing di sini atau tidak?" Seorang preman, dengan tatapan garang dan suara yang mengintimidasi, berdiri di depan kakek tua itu, memandanginya tajam.

"Apa yang terjadi? Kenapa kalian mencarinya?" dia tampak bertanya dengan ketakutan.

"Hei, jangan banyak bicara, katakan pada kami, aku tahu kau menyembunyikan mereka...!!" preman itu memaksa.

Kakek itu, dengan suara bergetar, menjawab, "Aku... aku melihat mereka, tapi aku tidak tahu kalau itu yang kalian cari."

Wajah bos preman itu berubah dingin. "Cepat beritahu kami di mana mereka berada! Jangan khawatir, kami hanya akan 'mengantar' mereka... hahaha," katanya, tertawa sinis, membuat kakek tua itu semakin ketakutan.

Dengan tubuh gemetar, kakek itu akhirnya menunjuk ke arah kamar, "Baiklah, ikutilah aku," katanya dengan suara pelan. Di dalam kamar, Hikari yang mendengar langkah-langkah berat mendekat merasa seluruh tubuhnya menegang.

"(Gawat, mereka menuju ke sini... apa yang harus kulakukan?)" Hikari berpikir cepat. Tapi, belum sempat ia bergerak, tiba-tiba Kage yang ternyata di belakang nya menjadi menarik lengannya dengan kekuatan yang masih tersisa.

Dengan cekatan, mereka berdua bersembunyi di dalam lemari kayu kecil di sudut kamar. Di ruang yang sempit itu, Hikari terpaksa duduk di atas tubuh Kage. Napas mereka tertahan, jantung Hikari berdegup keras, takut suara itu akan terdengar keluar.

"Mas Kage, kita akan ketahuan," bisik Hikari dengan suara hampir tak terdengar, ketakutannya semakin menjadi.

"Tidak akan, percayalah padaku," jawab Kage pelan namun tegas. Wajahnya tetap tenang, meskipun tubuhnya tampak lemah. Ketenangan Kage sedikit membuat Hikari tenang, tapi ia tetap merasa posisinya sangat canggung, membuat pipinya memerah.

"Tapi... posisi ini..." Hikari merasakan tubuhnya semakin panas. Ia mencoba menahan diri, tetapi ia tak bisa mengabaikan bahwa ia masih merasakan napas panas Kage di kulitnya.

Kage yang merasakan kecemasan Hikari berusaha menenangkannya. "Mas Kage, kau baik-baik saja, kan?" Hikari menatapnya dengan tatapan khawatir yang sulit disembunyikan.

Meskipun dalam keadaan lemah, Kage tersenyum kecil, senyuman yang menenangkan dan penuh kehangatan. "Kau begitu khawatir padaku, Hikari."

Hikari terdiam mendengar kata-kata itu, hatinya seakan teriris antara kekhawatiran dan rasa yang lebih dalam. Namun, percakapan mereka tiba-tiba terhenti ketika bos geng yang dari tadi mencari mereka mendekat ke arah lemari, memperhatikan dengan tatapan curiga. Dengan detak jantung semakin cepat, Hikari dan Kage hanya bisa menahan napas, berharap mereka tidak ditemukan.

"Aku bersumpah, mereka tadi ada di sini," suara kakek itu terdengar lagi, terdengar semakin cemas.

Rupanya, Kage dan Hikari berhasil bersembunyi dengan baik di dalam lemari yang sempit, tubuh mereka nyaris terhimpit. Suasana di dalam lemari itu begitu pengap, hingga mereka bisa mendengar suara detak jantung satu sama lain. Hikari merasa wajahnya memerah, sementara posisinya yang duduk di atas tubuh Kage semakin membuatnya gugup.

Sementara itu, Kage, meski lemah, tetap tenang dan memberikan tatapan penuh keyakinan kepada Hikari. Suasana semakin menegangkan, namun Hikari tak bisa mengabaikan rasa aman yang perlahan muncul dalam dirinya saat melihat Kage tetap tenang. Tatapannya lembut dan seolah mengatakan bahwa segalanya akan baik-baik saja, membuat Hikari merasa dilindungi meski mereka dalam bahaya.

"Cih, jangan mencoba membohongiku kakek tua!!" Preman itu kesal, membuat kakek itu benar benar gemetar tak tahu apa apa.

"Aku benar benar membawa mereka kemari... Aku tak tahu mereka kemana..."

"Cih..." Preman itu melihat sekitar, memang benar, di pandangan nya, kasur itu tampak baru saja di pakai oleh dua orang karena selimutnya berantakan.

Ia benar benar masih belum percaya bahkan membuka lemari besar di sana padahal Kage dan Hikari bersembunyi di lemari yang lebih kecil.

Tiba-tiba, salah satu anak buah bos itu berseru, "Bos! Aku menemukan mobil mereka di gunung!"

Ekspresi bos geng itu berubah. "Hahaha, bagus! Cepat ke sana, mereka pasti belum pergi jauh." Dengan itu, ia berbalik, meninggalkan lemari kecil tempat Kage dan Hikari bersembunyi. Para preman itu akhirnya pergi, dan suasana kembali tenang. Kakek tua yang masih bingung menatap kamar itu, bertanya-tanya apakah kedua tamunya masih di sana.

"Apa kalian berdua masih di sini?" gumamnya dengan suara pelan. Namun, karena tak ada jawaban, kakek itu akhirnya menutup pintu kamar dan berjalan pergi.

Di dalam lemari, Hikari dan Kage masih dalam keheningan, meski perlahan mereka mulai menyadari bahwa bahaya telah berlalu. Hikari menatap Kage, menyadari betapa dekatnya mereka, dan untuk beberapa saat, mereka hanya bisa bertukar tatapan dalam hening. Hikari perlahan membuka pintu lemari, membiarkan udara segar masuk dan menghilangkan sesak yang sempat mereka rasakan.

Dengan napas yang masih sedikit terengah, Hikari menatap Kage dengan penuh kekhawatiran, memperhatikan wajahnya yang tampak pucat.

"Mas Kage, kamu baik-baik saja?!" Ia meraih tangan Kage, merasakan dingin di telapak tangannya yang lemah.

"Aku baik-baik saja," jawab Kage pelan. "Sebaiknya kita cepat tidur," lanjutnya, mencoba memberi senyuman meski wajahnya menunjukkan kelelahan yang mendalam. Hikari masih menatapnya penuh cemas, namun ia memutuskan untuk mengikuti saran Kage.

Saat kembali ke ranjang, Hikari mendapati Kage terbaring dengan napas yang semakin berat. Tubuhnya tampak menggigil, meskipun keringat dingin mulai membasahi dahi Kage. Hikari merasa hatinya tersentuh melihat kondisi Kage yang tampak begitu rapuh, berbeda dari kesan kuat yang biasa ia tampilkan.

Perlahan, Hikari mendekat, berusaha memberikan kehangatan pada Kage. Ketika Kage membuka mata, ia merasakan kehangatan dari Hikari yang mendekapnya. Untuk pertama kalinya dalam beberapa saat terakhir, ia merasa tenang.

"Mas Kage, kau boleh memelukku dalam tidur... aku tahu kau kedinginan," kata Hikari pelan, suaranya nyaris seperti bisikan, namun penuh perhatian. Kage terdiam sesaat, dan dalam diam itu, ia merasakan sesuatu yang lebih dalam, seolah semua kekhawatiran dan rasa lemah hilang sejenak dalam pelukan Hikari.

Perlahan, Kage mendekap Hikari, membiarkan diri merasakan kehangatan yang diberikan Hikari. Di tengah suasana malam yang kembali tenang, mereka berdua berbaring, merasakan napas satu sama lain, tanpa perlu kata-kata untuk menggambarkan perasaan yang sedang mereka alami.

"(Untuk sesaat, aku benar benar merasa sangat lega karena kita tak jadi masuk ke dalam masalah, meskipun Mas Kage dalam kondisi lemah, dia mencoba untuk kuat. Andai saja dia dia tidak demam, dia pasti bisa melawan mereka semua, hanya saja dia tak ingin aku dan dirinya terluka... Jadi takdir membuatnya demam...)"