Kemudian mereka mengobrol di ruang tamu rumah Paman Luo. Ruang tamu itu memiliki suasana hangat dengan dinding berwarna cokelat muda dan perabotan kayu yang nyaman. Bau harum teh yang baru diseduh menyelimuti ruangan, menciptakan rasa tenang dan nostalgia bagi Hikari. "Sebenarnya aku sudah lama menutup toko itu," kata Paman Luo sambil menatap jendela, seolah mengingat masa lalu yang penuh kenangan.
"Apa?! Kenapa Paman menutupnya? Padahal rumah makan itu milik Ibu, kan?" Hikari menatap Paman Luo dengan penuh rasa ingin tahu. Matanya yang lebar mencerminkan kekhawatiran dan ketidakpahaman.
"Rumah makan itu memang sangat laris," Paman Luo melanjutkan, suaranya terdengar berat. "Ibumu sendiri yang memasak dan melayani semuanya, sementara ayahmu bekerja sibuk hingga tak peduli umur. Ibu dan ayahmu bekerja keras menghidupi keluarga. Aku tidak bisa apa-apa saat akan meneruskan rumah makan itu karena aku juga sudah tua untuk melayani semuanya." Suaranya yang lembut dan penuh penyesalan membuat Hikari merasakan kedalaman emosinya.
"Paman," Hikari berkata, suaranya mulai bergetar. Wajahnya tampak sedih, dan dia menggigit bibirnya. Kage, yang duduk di sampingnya, hanya mendengarkan dengan biasa sambil menikmati tehnya. Dia nampak seperti tak mendengarkan dan cuek, tetapi ekspresi wajahnya menunjukkan ketertarikan yang lebih dalam. Ia juga tampak tak peduli dengan tatapan milu Hikari yang penuh harap.
"Jika mengenang hal itu, memang sungguh sangat aneh. Kenapa tidak dari dulu aku belajar langsung membuat makanan enak dari Ibu? Yang aku tahu hanyalah bermain bersama Kakak..." Hikari berkata dengan nada yang terdengar penuh penyesalan, tatapannya jatuh pada secangkir teh yang dipegangnya, jemarinya dengan lembut menggenggam cangkir hangat itu. Raut wajahnya menunjukkan kekesalan pada dirinya sendiri, alisnya sedikit berkerut, dan bibirnya tertutup rapat seolah menahan keinginan untuk mengeluh lebih jauh. Sorot matanya tampak menerawang, mungkin teringat masa kecilnya yang riang, saat dia hanya tahu bermain dan tertawa bersama Kakaknya, tanpa memikirkan hal lain.
Di seberangnya, Paman Luo hanya tersenyum lembut. Wajahnya yang mulai dihiasi kerutan terlihat meneduhkan, sorot matanya penuh pengertian dan kehangatan seorang pria yang telah melalui banyak hal dalam hidupnya. Ia tidak terburu-buru memotong keluh kesah Hikari, membiarkan Hikari menyuarakan perasaannya terlebih dahulu. Setelah mendengar, Paman Luo berkata dengan suara yang lembut namun tegas, "Tak perlu memikirkan hal seperti itu, Hikari. Aku tahu bagaimana perasaanmu." Ia mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, seolah hendak menekankan ucapannya. "Kamu tidak salah jika bermain di umur segitu. Kakakmu juga menjaga kamu dengan baik."
Paman Luo mengalihkan pandangannya sejenak, seolah mengenang sesuatu, sebelum melanjutkan, "Ibumulah yang meminta Kakakmu untuk membawamu bermain agar dia bisa lebih fokus mengurus kedai kecilnya." Paman Luo tersenyum lagi, senyum yang penuh kehangatan, membuat Hikari merasa sedikit lebih tenang. "Kamu dan Kakakmu sudah menciptakan kebahagiaan kecil ketika kalian berdua lahir…" Suara Paman Luo terdengar penuh kasih sayang, seperti suara seorang ayah yang memberikan nasihat kepada anak-anaknya. Kata-katanya menyusup lembut ke dalam hati Hikari, membuatnya terdiam sejenak, menatap Paman Luo yang tetap tenang dan sabar mendengarkan.
Setelah beberapa saat, Paman Luo kembali bersuara dengan nada yang ringan namun penuh rasa ingin tahu, "Oh ya, bicara soal Kakakmu itu, Yuki, kan? Bagaimana kabarnya?" Ia menatap Hikari dengan alis terangkat, menunggu jawaban. "Dari tadi tidak bicara soal dia," lanjutnya, senyum kecil bermain di bibirnya. "Aku ingin tahu apa yang terjadi padanya..."
Hikari menatap Paman Luo dengan ragu, bibirnya terbuka sedikit sebelum akhirnya ia berkata dengan nada pelan, "Jika aku bilang Kakak sudah menikah hampir tiga tahun, apakah Paman akan terkejut?" Tatapan matanya menyiratkan ketidakyakinan, seolah masih bingung apakah ini kabar yang layak diceritakan atau tidak. Suasana hening sejenak, udara di sekitar mereka terasa seperti menahan napas bersama Hikari.
Awalnya, Paman Luo terdiam, ekspresinya berubah dari terkejut menjadi tenang seiring dengan senyum yang perlahan muncul di wajahnya. Dia menggeleng pelan, menyiratkan kebanggaan yang sederhana namun tulus. "Jika dia sudah menemukan seseorang yang baik, maka biarkan saja dia bahagia… Hahaha…" Tawa kecilnya terdengar lembut, hampir menenangkan, seakan ingin menularkan kebahagiaan yang sederhana itu kepada Hikari. "Kakakmu itu, dia benar-benar sangat berbeda denganmu ya," katanya sambil tersenyum penuh kenangan, "sepertinya kehidupannya jauh lebih menyenangkan. Dia bisa berteman dengan siapa pun tanpa memandang apapun, bahkan dia sering menggoda pria-pria…" katanya dengan nada bercanda, membuat Hikari sedikit tersenyum kikuk.
Seketika Hikari terkejut, wajahnya menunjukkan ekspresi tidak percaya. "Paman tahu soal sikap Kakakku?" tanyanya, matanya melebar sedikit, seolah-olah ini adalah rahasia yang selama ini hanya diketahui oleh keluarganya.
Paman Luo tertawa kecil, suaranya penuh kelembutan. "Tentu saja, itu adalah kelebihannya," katanya sambil menyeringai ringan. "Tapi semoga saja dengan menikah, dia tidak akan tertarik pada siapapun lagi, hahaha…" canda Paman Luo dengan suara yang lebih keras, matanya berbinar-binar dengan semangat yang jarang terlihat dari usianya.
Hikari tertawa kecil, walaupun dengan sedikit canggung. Dia menoleh ke sebelahnya, di mana Kage duduk dengan tenang. Hikari menyenggol lengan Kage dengan lembut, berharap bisa mengundangnya tertawa bersama. Namun, Kage tetap terdiam, hanya tersenyum tipis sambil memegang cangkir tehnya. Ia meminumnya perlahan, menikmati setiap tegukannya tanpa terganggu oleh percakapan yang tengah berlangsung. Wajahnya yang tenang dan misterius menambah suasana hening, seolah-olah sedang menikmati momen kecil ini dalam dunianya sendiri.
"Kalau begitu, tunggu sebentar, aku akan pergi ke dapur sebentar," Paman Luo beranjak dari kursi dan berjalan pergi, suara langkah kakinya membangkitkan kesunyian dalam ruangan. Hikari memandang punggungnya dengan rasa prihatin, menyadari bahwa dia sangat menghargai usaha Paman Luo dalam menjaga warisan keluarganya.
"Haiz... orang tuaku sangat bekerja keras..." Hikari berbisik, hatinya dipenuhi oleh rasa syukur dan keinginan untuk menghargai pengorbanan mereka.
"Kenapa kau tidak pernah bilang padaku?" Kage menatap Hikari, suaranya terdengar serius. Namun, Hikari merasakan ketulusan dalam pertanyaannya, dan ini membuatnya terharu.
"Haiz, aku juga tidak ingin kau mendengarnya. Lagipula, kau tidak akan mengerti," Hikari membalas, suaranya sedikit menurun. Meskipun kata-katanya terdengar dingin, dalam hatinya, dia ingin Kage tahu betapa beratnya beban yang ia pikul.
"Lalu kenapa kau tidak mengakui hubungan kita?" tatap Kage. Kini tatapan nya seperti melirik menunjukan kekesalan nya yang dari tadi harus di keluarkan.
Dengan malu Hikari menjawab. "Um, aku hanya ingin kau tetap berusaha mendapatkan kepercayaan ku meskipun aku berterimakasih atas segala yang kau lakukan. Tapi jangan khawatir, aku akan melakukan nya dengan cepat.... Setelah ini semua berakhir...." ia mengatakan itu dengan wajah malu dan membuang wajahnya.
Lalu Kage mendorongnya dan memojokkan Hikari di sofa. "Siapa yang kau bilang tidak mengerti? Aku ingin kau mengakui di depannya bahwa aku kekasihmu," ia mendekat dengan tatapan penuh keyakinan. Hikari tersenyum malu, merasakan getaran hangat di dadanya ketika Kage menyebut dirinya kekasih.
"Mas Kage... (Aku mulai nyaman dengannya... Aku tahu dia terlihat tak peduli, tapi sebenarnya dia peduli.)" Hikari memikirkan hal ini dalam hatinya, merasakan perasaan yang semakin dalam untuk Kage.
"Katakan, Hikari, atau aku akan menggigitmu!" Kage mendekat dengan nada bercanda yang membuat Hikari tertawa geli. "Ahaha... Itu geli, jangan di leher!" tawanya yang ceria mengisi ruang tamu dengan kebahagiaan.
Namun, suasana ceria itu tiba-tiba berubah ketika kepala Kage terpukul tongkat Paman Luo di bagian kepalanya.
Bugh!!
"(Sial!)" Kage terkejut sambil memegang kepalanya yang sakit, ekspresinya yang kaget membuat Hikari menahan tawanya.
"Apa yang kau lakukan pada Hikari, dasar kau bajingan!!!" Paman Luo berteriak dengan kemarahan yang membara. Ia menarik Hikari sambil memarahi Kage, membuat situasi menjadi tegang.
Di saat yang nyaman, juga ada pengganggu. Hikari merasa cemas dan terkejut. "Paman Luo!!" serunya, wajahnya tampak panik melihat reaksi Paman Luo.
"Hikari, kenapa kau memilih lelaki yang bajingan? Dia jelas melakukan hal yang tidak wajar! Inikah yang kalian sebut rekan?!" kata Paman Luo sambil kembali akan memukul Kage. Namun, Kage dengan tenang memegang tongkatnya, wajahnya menunjukkan ketenangan yang membuat Hikari merasakan keberanian dalam diri Kage. "Aku tidak melakukan sesuatu yang aneh, kita sudah menjalin hubungan lama," Kage menatap dengan aura dingin seperti akan membunuh, menunjukkan bahwa ia siap menghadapi siapa pun yang menghalanginya.
"Benarkah itu, Hikari?!?!" Paman Luo menatap, suaranya dipenuhi keingintahuan dan kekhawatiran.
"Em, eh, aku sebenarnya.... Dia adalah kekasihku, tadi hanya bercanda saja." Akhirnya, Hikari mengakui di depan pamannya, suaranya bergetar. Namun, saat itu, sebuah senyuman kecil muncul di wajah Kage, membuatnya merasa lega sekaligus bangga.
"Benarkah begitu?" Paman Luo terkejut, menatap Hikari seolah mencoba memahami keputusan yang diambilnya.
"Eh, ah, aku lapar, Paman. Sudah lama aku tidak mencoba masakan Paman yang lezat. Bisa tolong buatkan?" Hikari mendorongnya ke dapur, suasana ceria perlahan kembali hadir ketika mereka berbicara tentang makanan.
Untungnya, Paman Luo mau memasakkan dan berjalan ke dapur. Suara panci dan wajan di dapur mulai berdenting, menambah kehangatan di rumah tersebut.
"Fyuh, itu tadi hampir saja," Hikari duduk di sofa samping Kage. Ia merasa seolah beban berat sedikit berkurang saat Kage berada di sampingnya.
"Kau benar-benar membawanya pergi," Kage menatap polos sambil memegang kepalanya yang terlihat agak bengkak. Dia menyentuh kepalanya dengan lembut, menahan rasa sakit namun tidak bisa menyembunyikan senyumnya.
Lalu Hikari tersenyum dan menaruh kedua tangannya di pundak Kage. "Bodoh," kata Hikari, lalu mencium Kage dengan lembut. Momen itu terasa seperti sebuah keabadian, di mana semua masalah dan ketegangan hilang seketika. Kage terdiam, lalu ia ikut menutup mata dan melanjutkan ciuman itu.
"Hikari, apa kau benar-benar menerima aku kembali? Maukah kau bersamaku lagi?" Kage menatap, mencari kepastian di mata Hikari.
Hikari terdiam sebentar, lalu menghela napas panjang. "Tapi, satu hal yang tidak mau aku setujui: aku tak mau ada kontrak. Aku ingin hubungan yang nyata," tatapnya, tegas dan penuh harapan. Lalu Kage tersenyum kecil dan mendekat, "Tentu saja, itu sama seperti yang aku pikirkan...."