Hingga sore itu, Kage dan Paman Luo memasuki rumah, diiringi suara langkah kaki yang terdengar berat setelah seharian bekerja. Paman Luo tersenyum kecil sambil menepuk bahu Kage, lalu berkata dengan suara serak namun hangat, "Pekerjaanmu bagus, aku menyukainya, terima kasih atas bantuanmu itu... Kau bisa mandi." Tatapannya jatuh pada Kage, yang tampak lelah dengan baju kerja yang masih penuh debu, keringat bercucuran di wajahnya, napasnya berat namun puas setelah bekerja keras seharian.
Namun, saat mereka melangkah masuk, Hikari menyambut dengan senyum lembut di wajahnya, mendekat sambil mengucapkan, "Selamat datang kembali..." Suaranya terdengar halus, tetapi penuh kehangatan. Dia memakai apron klasik yang membingkai tubuhnya dengan sederhana, namun penuh pesona. Pemandangan itu membuat Paman Luo dan Kage terdiam sejenak, terpana dengan aura kehangatan yang dibawanya ke dalam ruangan yang sederhana itu.
Melihat senyum Hikari, ada ketenangan tersendiri yang menyelimuti suasana. "Aku sudah memasak makanan, jadi, mari nikmati bersama...." katanya sambil menganggukkan kepala kecil, matanya penuh harap. Bau makanan yang lezat segera memenuhi ruangan, menyebar dari dapur ke seluruh penjuru rumah, membuat siapa pun yang menciumnya merasa disambut hangat.
"Hikari memasak?" Paman Luo berkata dengan nada penuh penasaran, matanya berbinar. Hikari hanya tersenyum sambil mengangguk, senyumnya tulus dan ceria.
Tak lama kemudian, mereka duduk bersama di meja sederhana itu, memulai makan dengan tenang. Suara peralatan makan yang saling bersentuhan, denting gelas, dan tawa kecil sesekali membuat ruangan terasa hidup, hangat dalam keakraban.
"Luar biasa, makananmu bahkan juga sangat enak... Kalau begitu, aku tak salah memberikan resepnya padamu nanti," kata Paman Luo dengan nada puas sambil menatap Hikari, matanya bersinar dengan bangga. Hikari tersenyum, membalas dengan anggukan kecil.
"Hehe tentu, kan aku juga sudah bilang bahwa aku bisa melakukannya... Oh iya, Paman, setelah ini kami akan langsung ke rumah kedua orang tuaku dan pulang ke kota," ucap Hikari dengan nada lembut, sesekali melirik ke arah Kage seolah memastikan semuanya akan berjalan lancar.
"Ya, hati-hati di jalan... Maafkan aku tak bisa memberikan banyak hal padamu, Hikari..." Paman Luo menundukkan kepalanya sejenak, nada suaranya rendah, penuh penyesalan yang mendalam. Namun, tatapan Hikari tetap lembut, senyum kecil di bibirnya seperti menyiratkan bahwa baginya, kehadiran dan kebersamaan itu sudah lebih dari cukup.
Hikari menggeleng sambil tersenyum, mencoba menenangkan Paman Luo. "Ini semua sudah cukup, jadi terima kasih...." jawabnya dengan nada lembut, suaranya bagaikan angin sejuk yang berusaha menghapus kekhawatiran.
Menjelang sore yang mulai gelap, mereka berdua keluar dari rumah Paman Luo. Jalanan yang dilalui mulai remang, sinar matahari yang tersisa hanya menembus pepohonan dari balik bukit, menciptakan bayangan panjang di tanah. Mereka mulai berjalan ke tempat selanjutnya, yaitu rumah milik orang tua Hikari.
Langit semakin meredup, udara mulai terasa dingin. Langkah kaki mereka yang perlahan membelah keheningan jalan itu membuat perjalanan terasa lebih bermakna. Jarak ke rumah itu ternyata tidak terlalu jauh. Kage melirik ke arah Hikari, yang tampak semakin bersemangat meskipun langkahnya perlahan, seolah mengingat kembali masa kecilnya.
"Mas Kage... Ini adalah tempat kedua orang tuaku tinggal dulu... Lihat..." Suara Hikari terdengar bergetar saat ia berkata, matanya berbinar meskipun sedikit berkabut. Dia berlari lebih dulu, mempercepat langkahnya dengan antusiasme yang sulit ditahan. Namun, senyum di wajahnya perlahan memudar saat melihat tempat itu secara langsung. Di balik bukit itu, yang ada hanyalah pecahan-pecahan rumah yang sudah roboh, tak terawat, dan dipenuhi rumput liar yang tumbuh lebat.
Kage mengikutinya dari belakang, berhenti sejenak, lalu menghela napas panjang. "Hikari... Sebenarnya, pamanmu itu memberitahu bahwa rumah ini sudah lama hancur, ada longsor yang membuatnya hancur, dan semuanya tertinggalkan..." katanya, suaranya tenang namun penuh pengertian, mencoba menjelaskan dengan hati-hati. Mungkin dia mendapat informasi itu saat membantu Paman Luo menanam tomat.
Hikari berdiri di tempatnya, terdiam, matanya terpaku pada sisa-sisa rumah yang kini hanya tinggal kenangan. Dia melangkah perlahan, mendekati pecahan-pecahan bangunan yang dulu adalah rumahnya. Tangan Hikari gemetar saat menyentuh tiang kayu yang sudah lama rapuh, yang dulu mungkin menopang atap rumah itu. Perlahan air mata jatuh membasahi pipinya, tanpa suara, hanya perasaan yang menyelimuti sepi.
Kage hanya bisa terdiam, membiarkan Hikari menikmati waktu dan kerinduannya di sana. Dia tak ingin mengganggu, hanya berdiri diam dan menyaksikan bagaimana Hikari larut dalam perasaannya.
Hikari terus berjalan ke dalam, melewati setiap pecahan yang ada, memandangi reruntuhan yang membawa banyak kenangan. Dalam benaknya, ia masih bisa melihat bayangan rumah itu, utuh dan penuh kehangatan. "(Dulu... Rumah ini sangat luas... Aku dan kakak sering bermain kejar-kejaran. Meskipun ayah selalu menggunakan tangga untuk naik ke atap karena atap yang terus bocor, bahkan ibu yang selalu memutari bukit untuk mendapatkan makanan yang kemudian dimasak... Hidup yang menyenangkan...)" Bisikan dalam hatinya terdengar getir, dan tubuhnya perlahan merosot di dekat tiang kayu yang tersisa.
Kage dari kejauhan menatap Hikari yang duduk membelakanginya, menyaksikan bayangannya yang tampak begitu rapuh di bawah langit yang semakin gelap. Dia menghela napas, melirik ke sekeliling, dan perlahan mundur, memberinya waktu untuk sendiri.
Hingga malam hari tiba, Kage menunggu di atas bukit, duduk sambil memandang langit yang penuh bintang, seolah langit malam sedang memeluk kesunyian di sekitarnya. Sesekali ia meraih rokok dari sakunya, menghisapnya dalam-dalam lalu mengembuskannya dengan tenang. Saat rokok terakhirnya ia injak, matanya menangkap bayangan Hikari yang berjalan mendekat.
"Merasa lebih baik?" tanyanya dengan lembut, suaranya penuh perhatian. Namun Hikari hanya menggeleng perlahan, kepalanya menunduk dengan tatapan yang belum juga lepas dari kesedihan.
Kage terdiam sejenak, mencari cara untuk menenangkan perasaannya. Ia lalu menatap langit yang dipenuhi bintang, lalu meraih tangan Hikari dengan lembut. "Kemarilah..." bisiknya pelan, membawanya ke atas bukit yang lebih tinggi. Mereka duduk berdampingan di sana, menatap langit malam yang indah, berbagi kesunyian yang membawa ketenangan dalam keheningan malam.
Hikari membuka matanya perlahan, merasakan hembusan angin malam yang lembut di wajahnya. Udara terasa sejuk, namun hangatnya tubuh seseorang di sampingnya membuatnya merasa nyaman. Saat dia mendongak, pemandangan langit malam yang begitu luas menyambutnya. Langit itu penuh dengan bintang-bintang yang bersinar terang, seperti ribuan permata yang berserakan, seolah-olah menari dalam keheningan malam. Hikari tersenyum kecil. Dia menyandarkan tubuhnya pada seseorang yang duduk di sampingnya, Kage, dan merasakan tangan Kage yang melingkar lembut di pinggangnya, memberikan rasa aman dan tenang.
Dalam hati, Hikari berpikir. "(Aku berpikir ini sangat bagus... Tapi aku tak tahu sampai kapan ini akan terjadi... Dia bukanlah orang yang bisa memiliki sifat pria lain... Dan ini sangat hangat.)" Senyumnya semakin lebar, namun di balik itu ada sebersit keraguan yang tersimpan. Hikari terdiam, menikmati setiap detik kehangatan yang jarang ia rasakan. Ia tahu, kebersamaan ini mungkin rapuh, seperti bintang yang bersinar di langit tetapi berada jauh di luar jangkauannya.
Di sampingnya, Kage terdiam. Tanpa kata, ia mengulurkan tangannya ke belakang, seakan mencari sesuatu yang disembunyikannya. Setelah beberapa saat, ia menarik sebuah tangkai bunga mawar putih, kelopaknya tampak berkilauan diterangi cahaya bintang. Mawar itu memiliki kecantikan yang sederhana, tapi justru itulah yang membuatnya terasa istimewa. Kage menatap bunga itu sejenak, sebelum memberikannya pada Hikari, sambil sedikit tersenyum. Dia menyerahkannya dengan lembut, seolah-olah bunga itu adalah hadiah terindah yang bisa dia berikan di tengah kesunyian malam ini.
Hikari terdiam, menatap mawar itu dengan tatapan penuh keheranan dan kagum. "Apa ini?" tanyanya, suaranya pelan, hampir berbisik.
"Untukmu... Maaf, hanya satu tangkai. Aku tak mendapatkan orang yang menjual buket bunga di sini, jadi aku memetiknya sendiri," jawab Kage. Suaranya rendah namun hangat, dan setiap kata yang keluar terasa tulus.
Hikari meraih bunga itu dengan hati-hati, memperhatikan setiap helai kelopak yang terlihat begitu sempurna meski hanya satu tangkai. "(Ini sangat bagus...)" pikirnya. Tapi segera saja dia menyadari sesuatu. Duri-duri kecil di batang bunga itu tampak hilang, seolah-olah telah dicabut satu per satu. Hikari melirik ke arah tangan Kage dan merasa ada sesuatu yang janggal. "Bukankah bunga ini memiliki duri... Kenapa... Apa tanganmu... Tunjukkan padaku." Tanpa menunggu jawaban, Hikari meraih tangan Kage. Ternyata benar, ada bekas luka kecil dan goresan di sana.
Kage menatap Hikari yang kini tampak khawatir, namun ia tetap tersenyum tenang. "Ada apa?" tanyanya, pura-pura tidak mengerti. Sepertinya Kage tadi menunggu Hikari sambil mencari mawar yang bagus.
"Ada apa bagaimana, apa kau mencabut duri ini satu per satu?" Hikari menatapnya dengan cemas. Melihat senyum Kage yang masih menghiasi wajahnya, Hikari ikut tersenyum kecil, walaupun khawatir masih tampak di matanya. "Kau miskin saat di desa... Haha," candanya, mencoba mencairkan suasana.
Kage tertawa ringan, mencoba tidak menanggapi secara serius. "Ha... Benarkah begitu... Hanya karena mereka tak menerima kartu bank di sini," jawabnya sambil menatap Hikari, senyumnya tak memudar.
Hikari memandang Kage dengan penuh kasih, merasakan ketulusan yang terbalut dalam kesederhanaan. "Sepertinya kau terlalu terbiasa menggunakan kartu... Hehe... Tapi tak apa... Aku senang bisa pergi bersamamu... Mas Kage... Aku suka padamu," katanya sambil menatap dalam ke mata Kage. Suaranya terdengar lembut namun penuh keyakinan.
Kata-kata itu membuat mata Kage melebar. Dia tak menyangka Hikari akan mengungkapkan perasaannya di tengah malam yang sunyi ini, di bawah langit penuh bintang. "(Hikari... Mengatakannya...)" pikirnya, seakan tak percaya pada apa yang baru saja didengarnya.
"Mas Kage... Apa itu tadi... Kau tidak suka? Jika tidak suka aku bisa—" Hikari mulai ragu, suaranya terputus.
Namun sebelum dia sempat menyelesaikan kalimatnya, Kage menyela, "Tidak... Aku sangat suka!" Katanya dengan tegas, sambil meraih kedua bahu Hikari, membuatnya terdiam kaku.
"Maksudku... Itu tadi tidak masalah... Aku juga suka padamu, Hikari." Tatapan Kage penuh kehangatan dan ketulusan yang selama ini mungkin tak pernah Hikari lihat. Ia mengungkapkannya dengan lirih namun pasti, seperti suara malam yang tenang.
Hikari tersenyum lebar, dan tanpa ragu, ia memeluk Kage. Dekapan mereka erat, seakan-akan seluruh dunia menghilang dan hanya ada mereka berdua di bawah langit malam. Hikari merasa hatinya begitu penuh, bahagia yang tak mampu ia ungkapkan dengan kata-kata. "(Kami berdua sama-sama memiliki perasaan yang tidak berbeda, aku senang ini semua berlalu... Aku tahu Mas Kage bisa bersikap baik ketika kami hanya berdua. Dia terlihat sangat malu menatapku... Tapi ada sesuatu yang benar-benar menggangguku,)" bisik Hikari dalam hatinya. Dengan hati-hati, ia menyuarakan keraguannya, "Mas Kage... Aku takut pada Chichi."
"Jangan khawatir... Aku janji dia akan setuju padaku," ucap Kage, suaranya lembut namun penuh keyakinan.