Empat hari kemudian, suasana di kamar rumah sakit tampak sunyi. Tirai-tirai jendela membiarkan sinar matahari masuk, menerangi ruangan dengan lembut. Chichi perlahan membuka matanya, menyesuaikan diri dengan cahaya yang terasa menyilaukan setelah sekian lama dalam kegelapan. Di sampingnya, Haku berdiri dengan cemas, menatap Chichi yang mulai sadar. Wajah Haku memancarkan campuran antara kekhawatiran dan harapan, seolah-olah momen ini adalah hal yang selama ini ia nantikan.
Haku terkejut melihat Chichi bangun, napasnya tercekat sejenak. "Chichi! Bertahanlah, aku akan memanggil dokter!" serunya dengan nada tergesa-gesa, setengah berbalik hendak keluar dari ruangan. Namun, mendadak tangan Chichi yang masih lemah memegang tangan Haku, menghentikan langkahnya. Sentuhan itu membuat Haku menoleh, matanya terbelalak melihat semangat yang tak terduga di tatapan Chichi.
Dengan perlahan, Chichi meraba kepalanya yang masih terasa berat, lalu mengumpulkan tenaganya untuk duduk di tepi ranjang. Tangannya yang gemetar berusaha menopang tubuhnya yang lemah. Udara dingin menyentuh kulitnya saat ia berdiri, meski tubuhnya belum sepenuhnya pulih. Sekitar ruangan rumah sakit tampak steril dan rapi, peralatan medis yang mengelilinginya seolah menjadi saksi bisu perjalanan panjangnya dalam melawan ketidakberdayaan.
"Di mana Kage?! Sudah berapa lama aku tidur?!" tanyanya, suaranya penuh keingintahuan dan ketegangan yang sulit disembunyikan.
"Hanya satu minggu…" jawab Haku, suaranya merendah. Ada nada sedih yang terselip, seperti sebuah berita yang ia ragu untuk sampaikan. "Kage ada di kantornya dan... fakta mengejutkannya, selama Chichi tidur, dia pergi bersama gadis itu…" Haku menunduk, tak ingin melihat ekspresi di wajah Chichi yang mungkin akan menunjukkan luka baru.
Mendengar hal itu, Chichi seketika tertegun. Matanya membulat tak percaya, rasa sakit yang tak terkatakan mengisi dadanya. Tanpa pikir panjang, ia langsung mencabut selang infus yang tertancap di tangannya. Cairan infus yang semula menetes pelan kini berhenti mengalir. Ia berdiri, meski kakinya sedikit goyah, namun tekad di wajahnya begitu kuat. Langkahnya yang tegas mengarah keluar dari ruangan, tanpa menghiraukan pandangan heran dari para perawat di luar.
"Chichi..." Suara Haku terdengar pelan dan ragu. Pandangannya terpaku pada sosok Chichi di depannya, seolah mencoba menarik perhatian tanpa membuat suasana menjadi lebih tegang. Meskipun ada sedikit getaran dalam suaranya, Haku tetap memberanikan diri memanggil. "Chichi, dengarkan aku dulu..."
Mendengar panggilan itu, Chichi perlahan berhenti melangkah. Tatapannya yang dingin berpindah kepada Haku, matanya tajam menelusuri setiap detail wajah yang tampak serius. Dia menyipitkan mata, ekspresi penuh otoritas yang menunjukkan betapa tidak mudahnya mengubah pikirannya. "Biarkan aku memberi pelajaran pada adikmu yang keras kepala itu..."
Haku menatap Chichi dengan khawatir. Ada ketegangan yang terlihat jelas di wajahnya, dan dia mencoba menenangkan nya dengan nada yang lebih halus, berharap bisa meredakan amarahnya yang sudah mulai membara. "Chichi, tenanglah sebentar. Apa kau tidak pernah bisa berpikir soal apa yang terjadi sekarang?" Haku berhenti sejenak, memastikan Chichi memperhatikan setiap katanya. "Kau ingat kan bagaimana kau koma? Itu karena Lily..." Tatapannya penuh kehati-hatian, berharap kata-katanya mampu menggerakkan hati Chichi yang keras itu.
Ekspresi Chichi berubah seketika mendengar nama itu. Tatapannya yang semula tajam kini beralih menjadi terkejut, bahkan sedikit kaget. Seolah tersadar akan sesuatu, dia mengepalkan tangan erat-erat hingga kuku jarinya memutih, menunjukkan betapa amarah dan kekecewaan perlahan muncul dalam dirinya. "Wanita itu... wanita jalang..." gumamnya dengan nada penuh kebencian. "Aku seharusnya tidak mempercayai sikap manisnya itu..." Rasa kesal menguasai setiap kata yang dia ucapkan, seolah kata-kata tersebut berasal dari luka lama yang belum sepenuhnya sembuh. "Kupikir dengan Kage bersamanya, kehidupan Kage akan lebih baik. Lily bersikap sangat ceria, kupikir Kage bisa dibuat ceria juga karenanya..."
Haku mendengarkan dengan penuh perhatian, dan ketika Chichi berhenti berbicara, dia berusaha menimpali dengan suara yang lembut namun tegas, berusaha untuk tidak membuat Chichi semakin tersinggung. "Ini bukan soal ceria, tapi ini soal bagaimana seorang wanita dapat menjaga citranya untuk pria yang dia cintai..." Mata Haku tak lepas dari Chichi, berusaha menyampaikan ketulusan di balik setiap kata-katanya. "Lily bukan tipe wanita yang seperti itu, dia sudah mengecewakanmu, dan Kage sudah menunjukkan bukti bahwa selama ini pemikirannya benar..."
Ekspresi Haku memperlihatkan campuran perasaan. Dia ingin Chichi memahami bahwa semua ini bukan semata soal ego, tetapi tentang membuka mata terhadap kenyataan yang ada. Meskipun dalam hatinya, Haku tahu dia juga tidak sepenuhnya setuju dengan keputusan Kage, namun dia merasa ada hal yang lebih penting daripada memenangkan argumen.
Chichi kembali terdiam. Tatapannya kini kosong, seolah-olah tenggelam dalam pikirannya sendiri, mencoba memahami apa yang disampaikan oleh Haku. "Kalau begitu, bagaimana nasib Lily sekarang?" tanyanya, nadanya sedikit lebih lembut namun tetap disertai kekecewaan.
Haku menarik napas pelan, menyiapkan diri untuk menjawab pertanyaan itu. "Fakta mengatakan, dia mulai membangun bisnisnya sendiri..." Suaranya pelan, hampir seperti berbisik, mengisyaratkan betapa hati-hati dirinya saat menyampaikan kabar ini. "Tapi ada rumor lain bahwa dia tidak bisa menjalin bisnis dengan baik karena citranya di publik yang buruk..." Dalam hatinya, Haku merasa cemas, tak bisa membayangkan apa yang mungkin akan terjadi jika situasi semakin buruk. "Aku takut wanita itu akan melakukan sesuatu bahkan pada keluarga Monoyaki..."
"Hmph," gumam Chichi sambil mendengus pelan, menunjukkan ketidaktertarikannya. "Wanita seperti itu memangnya mau apa... Aku hanya tinggal cari wanita lain untuk Kage..." Mata Chichi kembali bersinar tajam, menunjukkan betapa teguhnya dia pada pendiriannya. "Sekarang aku ingin memberitahu Kage saja bahwa dia tidak boleh mendekati gadis itu..."
Haku menghela napas panjang. Kali ini, dengan nada lebih serius, dia menambahkan sesuatu yang membuat Chichi berhenti sesaat. "Bagaimana caramu memberitahunya yang keras kepala? Dia sudah tidak lagi memenuhi permintaanmu..."
Chichi terdiam, langkahnya seketika berhenti. Tatapannya kembali tertuju pada Haku, kali ini dengan sorot mata yang berbeda—antara marah dan terkejut. "Siapa yang bilang?" jawabnya sambil mengepalkan tangan dengan gerakan pelan. "Aku memilih hal terbaik untuk Kage. Kage hanya tak tahu bahwa gadis itu hanyalah gadis biasa. Keluarga kita tak layak untuk menjalin hubungan dengan gadis yang tidak ada apa-apanya. Keluarga kita adalah keluarga bisnis... Yang penting garis keluarga terukir, maka semua akan baik-baik saja..."
Haku terdiam, menatap punggung Chichi yang mulai bergerak meninggalkan ruangan. Dia menarik napas panjang, merasakan kesedihan yang dalam di hatinya. "(Aku tidak tahu lagi pemikiran Chichi. Aku juga tidak paham pemikiran Kage... Aku hanya bisa mendukung apa yang pandanganku tangkap... Aku hanya mencoba mengajak Chichi berpikir, tapi di sini, Chichi yang keras kepala dan tidak mau berpikir lebih banyak soal fakta yang terjadi... Aku harap masalah ini segera berakhir...)" pikirnya, dengan tatapan yang semakin suram dan putus asa.
Haku hanya bisa mengikuti langkah Chichi dari belakang, terkejut melihat keteguhan pria itu. Dalam usianya yang sudah tidak muda lagi, kekuatan Chichi terasa mengagumkan. Seharusnya, dengan kekuatan sebesar itu, anak-anaknya juga memiliki ketangguhan yang sama. Namun, tampaknya perjalanan hidup mereka masing-masing justru membawa cerita dan tantangan yang berbeda.
Sementara itu, Kage berjalan masuk ke kantornya dengan langkah tegas, dan di sana sudah ada Chen yang tampak gelisah, menatap kertas di tangannya. Ketika mendengar pintu terbuka, Chen menoleh, tersenyum sedikit canggung. "Oh, Kage… Kau akhirnya mau kembali ke sini? Bagaimana liburanmu?" tanyanya dengan nada yang mencoba terdengar santai, meski raut wajahnya menunjukkan ketegangan.
Kage hanya meliriknya sekilas, pandangannya tajam, membuat Chen seketika merasa canggung. Dia bahkan mulai berkeringat dingin. Tanpa Kage perlu mengatakan apa pun, Chen langsung membuka mulutnya, suaranya terdengar bergetar. "Maafkan aku, aku benar-benar tidak menjaga informasi! Aku... aku yang membuat Tuan Haku tahu keberadaanmu. Aku benar-benar minta maaf, tolong, jangan pecat aku..." Suaranya semakin lirih, dan ia sampai berlutut di depan Kage, kepalanya tertunduk dalam-dalam.
Kage diam, menatap Chen dengan tatapan dingin dan wajah tanpa ekspresi. Setelah beberapa saat, dia menghela napas panjang dan tiba-tiba meraih kerah Chen, menariknya hingga wajah mereka berhadapan. Chen tersentak, tidak menyangka Kage akan bertindak sejauh itu. Jarak mereka begitu dekat, sehingga Chen bisa merasakan amarah yang tertahan di balik tatapan Kage.
"Kau tahu kesalahanmu, lalu kenapa tidak mencoba mencari cara! Kau pikir aku tidak hampir mati di tangan suruhan Haku? Dia benar-benar ingin aku mati... Dia meminta preman-preman itu untuk menangkapku dengan cara yang tidak manusiawi. Aku tidak peduli apakah Haku meminta mereka membawaku kembali dalam keadaan utuh atau mati, tapi cara mereka benar-benar tak masuk akal... Untungnya aku dan Hikari selamat. Jika tidak, aku akan menghantui dirimu, Chen!" Tatapannya sangat tajam, membuat Chen mengangguk dan menggeleng bersamaan, menyesali kesalahannya sendiri.
"Maafkan aku... Setelah preman-preman itu gagal menangkapmu, Tuan Haku membubarkan mereka dan memutuskan untuk menjaga Chichi... Dari informasi yang aku dapat, kondisi Chichi sudah lebih baik... Kamu harus menyiapkan argumen yang lebih baik untuk membela dirimu sendiri, karena pasti Tuan Haku akan mengadu semuanya..." ujar Chen dengan gemetar.
Kage menghela napas panjang lagi, lalu membelakangi Chen, wajahnya menunjukkan kekecewaan yang mendalam. "Cih, sebenarnya siapa yang keras kepala di sini… Aku atau Chichi? Aku tak peduli soal itu…" Setelah berkata demikian, Kage melangkah pergi, meninggalkan Chen yang masih terguncang.
"Eh, Kage... Tunggu sebentar! Kau harus menyelesaikan tugas-tugas ini!" teriak Chen putus asa. Namun, Kage sudah keluar dari kantor, dan Chen hanya bisa melihat pintu yang perlahan tertutup. Dia memandangi tumpukan kertas di mejanya yang seakan bertambah banyak. "Haiz... Konflik yang buruk..." gumamnya pelan sambil menggeleng, merasa prihatin.
Kage tampak berjalan menuju mobilnya, masih merasa kesal. Sambil melangkah, ia mengambil ponselnya dan mengetik pesan singkat kepada Hikari. "Apa kau ada di rumah?"
Tak butuh waktu lama, Hikari langsung membalas. "Tidak, aku sedang ada di kafe bersama Nian. Kamu boleh ke sini kok kalau mau."
Kage membaca pesan itu sejenak, kemudian menatap ke arah langit yang tampak cerah. Sebuah senyuman tipis muncul di wajahnya, menghapus sedikit kekesalannya. Ia kemudian memasukkan ponselnya ke dalam saku dan berjalan menuju kafe, berharap suasana akan menjadi lebih baik bersama Hikari dan Nian.