Di dalam kafe yang hangat dan sedikit ramai, Hikari duduk santai sambil menundukkan kepala, jemarinya sibuk mengusap layar HP. Di hadapannya, Nian—anak kecil yang ceria—duduk di bangku sebelahnya sambil menggenggam botol saus tomat yang tampak terlalu besar untuk tangannya yang mungil. Tatapan Nian penuh rasa penasaran, memperhatikan sekeliling kafe dengan senyum kecil di wajahnya.
Tak lama, terdengar suara mobil berhenti di depan kafe. Orang-orang yang berada di dalam kafe seolah terbius sejenak, memalingkan pandangan mereka ke arah pintu. Dari mobil tersebut, turunlah Kage. Penampilannya mencolok—rapi dan berkelas, mengenakan pakaian yang tampak elegan dan mahal. Sorot matanya tegas, tapi hangat, membuat siapa pun yang melihatnya bisa merasa terpesona dan sedikit terintimidasi dalam waktu yang bersamaan. Semua orang yang ada di kafe tampak terdiam sejenak, mengikuti langkahnya dengan pandangan kagum saat ia berjalan mendekat.
Kage langsung menghampiri meja Hikari dan duduk tepat di depannya. Hikari yang semula tenang, terlihat sedikit gugup. Pipinya memerah samar, dan dia berusaha mengendalikan ekspresinya.
"Aku pikir kamu tidak akan datang..." ujar Hikari, masih mencoba mempertahankan ketenangannya. Di dalam hati, dia tidak menyangka kalau Kage benar-benar datang. Sosok Kage yang dihormati banyak orang itu kini duduk tepat di depannya. Ia terkenal sebagai seorang pebisnis, nama yang sudah pasti dikenal semua orang di kota.
Kage tersenyum sedikit dan menanggapi dengan tenang, "Tentu saja aku akan datang karena kau sudah membolehkanku."
Saat itu, Nian yang duduk di dekat mereka tampak tidak bisa menahan perasaannya. Dengan suara polosnya, dia berkata, "Gege, aku kangen sama kamu!" Nian merentangkan tangannya, meminta untuk digendong. Tanpa ragu, Kage mengangkatnya dan menempatkannya dengan lembut di pangkuannya.
"Aku juga rindu padamu, pria kecil," kata Kage sambil mengusap lembut kepala Nian. "Apa kau sudah sarapan?"
Nian mengangguk sambil tersenyum. "Sudah, Ibu membuatkan makanan yang enak." Jawaban polosnya membuat suasana menjadi lebih hangat. Kage dan Hikari saling menatap, berbagi senyuman kecil yang menyiratkan keakraban di antara mereka.
Di sela-sela obrolan mereka, Kage menatap Hikari dengan serius. "Jadi, sudah siapkah kau membuka toko?" tanyanya dengan nada lembut tapi penuh perhatian. Tatapan mata Kage seakan menembus segala keraguan yang tersimpan di hati Hikari.
Hikari tersenyum, tapi matanya menunduk sedikit malu. "Ih, tidak, aku hanya baru belajar saja..." Jawabannya terdengar pelan, hampir seperti bisikan. Pipi Hikari kembali memerah, menyiratkan keinginan yang selama ini dipendamnya.
Kage mengangguk perlahan, tampak mempertimbangkan sesuatu. "Aku bisa memberikan dana padamu," lanjutnya. "Kemajuan pelanggan akan lebih pesat jika ada dana lebih untuk kedai." Suaranya terdengar mantap, menawarkan bantuan dengan tulus.
Namun Hikari segera menggeleng pelan. "Eh, tapi aku tidak bisa berutang pada perusahaan besar," jawabnya dengan nada menolak, sedikit gugup.
Kage hanya tersenyum tipis dan menjawab tenang, "Aku memberikannya padamu. Uang itu akan seutuhnya menjadi milikmu." Nadanya meyakinkan, seolah tak ada yang bisa menolak bantuannya begitu saja.
Hikari menggeleng lagi, tampak ragu dan canggung. "Mas Kage, ini agak berlebihan. Aku belum tentu mahir."
Namun, Kage tetap meyakinkannya. "Apa maksudmu? Bukankah kau selalu membantu ibumu?"
Raut wajah Hikari sedikit berubah. Kenangan masa kecilnya terlintas di pikirannya. "Aku tidak membantunya. Saat aku masih kecil, aku hanya duduk di depan kedai sepulang sekolah. Mereka selalu menyapaku. Aku hanya melihat Ibu bekerja sangat keras dan ingin membantunya, tapi dia selalu menolak bantuanku, khawatir jika aku terluka," katanya sambil tersenyum getir. Ungkapan itu mengandung perasaan penuh kasih yang mendalam, mengingat betapa keras perjuangan ibunya dulu.
Mendengar itu, Kage terdiam, tampak merenung. Ada rasa empati di balik sorot matanya, mengerti betul apa yang dirasakan Hikari.
"Hm... Memang itu sangat sulit... Ngomong-ngomong, bagaimana dengan kebun yang dimaksud oleh pamanmu itu? Dia bilang dia punya kebun di sekitaran kota?" tatap Kage.
"Ya, dia memang punya. Kapan-kapan mari ke sana. Paman bilang tempat itu sudah lama ditinggalkan dan agak jauh dari kota, jadi mungkin tempat itu lebih tenang... Aku tak sabar ingin menanam beberapa sayuran di sana..." tatap Hikari.
"Tentu, aku bisa membantumu..." Kage menawarkan tanpa basa-basi.
Hikari yang mendengar itu menjadi tersenyum senang, tapi ia teringat sesuatu. "Oh iya, bagaimana kondisi Chichi? Jangan bilang Mas Kage tidak menjenguknya setelah kita kembali dari desa?" tatap Hikari.
Kage terdiam sejenak lalu membalas. "Memang benar, aku tidak menjenguknya sama sekali... Bukankah aku sudah bilang bahwa aku tak peduli..."
"Mas Kage ini... Kenapa bisa-bisanya kalian seperti mengalami perang terus-menerus?" Hikari menatap penasaran.
Lalu Kage menjawab, "Seperti yang aku ceritakan dulu... Aku adalah putra satu-satunya yang dia ingin atur hanya karena aku sudah bisa melakukan apa pun. Aku mendapat bisnis sendiri tanpa warisan apa pun, aku pernah membunuh, dan kegiatan apa pun tak pernah aku lewatkan dari pandangannya... Dia berpikir bahwa aku harus lebih sempurna lagi, jadi dia menggunakan caranya sendiri. Jika aku tidak menurutinya, dia akan mengungkit bahwa dia tak lama lagi akan mati karena umurnya dan dia hanya ingin aku melakukan permintaannya. Tapi aku juga ingin mengatakan bahwa dia juga punya Haku. Layaknya Haku yang tak pernah diatur, dia bisa sesukanya melakukan kegiatannya hanya karena di mata Chichi, kegiatan Haku itu wajar, seperti mempermainkan wanita, membuang uang bisnis, dan yang lainnya. Menurut Chichi, perlakuan seperti itu adalah perlakuan yang wajar, dan dia malah heran aku tidak melakukan hal yang sama..." kata Kage.
Hikari yang mendengar itu menggeleng kesal. "Rupanya begitu, benar-benar sungguh sangat buruk... Tapi bagaimanapun... dia Chichi..." tatapnya membuat suasana terdiam.
Kage merasakan ketegangan di antara mereka. "Aku tahu ini tidak mudah, Hikari. Chichi punya cara pandang yang berbeda. Dia menganggap apa yang dilakukannya itu benar. Aku merasa terjebak di antara keinginanku untuk menjadi diriku sendiri dan harapannya untuk mengatur hidupku."
Hikari menatap Kage dengan serius. "Tapi kamu tidak harus mengorbankan dirimu hanya untuk memenuhi harapannya. Kamu berhak memilih jalan hidupmu sendiri. Kita bisa menemukan cara untuk membantunya tanpa kehilangan dirimu."
Kage mengangguk, meskipun keraguannya masih ada. "Aku ingin percaya itu. Tapi kadang-kadang, rasanya seperti aku berjuang melawan arus. Haku seolah-olah mendapatkan semua kebebasan tanpa konsekuensi, sementara aku..."
"Setiap orang memiliki pertempuran masing-masing," potong Hikari. "Dan tidak ada yang salah dengan meminta bantuan. Mungkin kita bisa berbicara dengan Chichi bersama-sama, agar dia bisa memahami pandangan kita."
Kage tersenyum tipis, sedikit terhibur oleh ide Hikari. "Kau tahu, itu mungkin bisa jadi solusi. Mungkin dia hanya perlu melihat sisi lain dari situasi ini." tatapnya membuat Hikari juga tersenyum senang.
Namun suasana hening itu tiba-tiba berubah.
Nian, yang sedari tadi berada di pangkuan Kage, dengan polosnya menekan botol saus tomat di tangannya. Tanpa sengaja, saus tomat itu menyembur dan mengenai Kage serta Hikari. Suasana sejenak hening, semua mata tertuju pada kejadian tak terduga itu.
"Nian!" Hikari menatap Nian dengan senyum penuh tawa kecil, diikuti oleh tawa Kage yang akhirnya pecah. Nian menatap mereka bingung, tidak sadar bahwa dia telah membuat kekacauan kecil. Dalam kepolosannya, Nian terlihat lucu dengan wajahnya yang ceria, meski penuh dengan noda saus tomat.
"Haiz, dia membuat tubuhmu kotor," kata Hikari sambil mengambil tisu dan mendekat ke Kage. Dia membersihkan pipi Kage yang terkena saus tomat dengan lembut, gerakan yang perlahan membuatnya sadar akan jarak di antara mereka. Wajahnya memerah, sementara Kage hanya tersenyum melihat tingkahnya yang malu-malu. Hikari merasa hatinya berdebar, merasakan kehangatan dari kedekatan itu. "(Jika memang waktu berhenti untuk aku melakukan hal ini untuk nya. Aku memilih untuk tetap diam agar waktu tidak cepat berlalu... Hanya sekedar mengusap noda di wajahnya....)"
Hikari kemudian berusaha mengalihkan perhatian Nian dengan mengajak bermain. "Nian, mau bermain tebak-tebakan?" tanyanya, mengeluarkan ide spontan. Nian mengangguk dengan antusias, meski tidak sepenuhnya mengerti.
Sambil mengemudikan mobil, Kage ikut terlibat dalam permainan. "Oke, tebak sesuatu yang ada di mobil ini," katanya, memandang ke kaca spion untuk melihat reaksi Nian. Hikari menggoda, "Kalau Nian bisa tebak, kita akan belikan es krim nanti!" Wajah Nian langsung bersinar, matanya berbinar mendengar kata 'es krim'.
Kage tertawa. "Ayo, tebak apa yang ada di sini!"
Nian dengan serius memikirkan jawaban. "Uh… mobil?" jawabnya, membuat Kage dan Hikari tertawa lepas. "Benar! Tapi itu terlalu mudah, Nian!" Hikari menambahkan.
Suasana dalam mobil semakin ceria. Mereka berbagi tawa dan cerita, mengisi kebisuan yang sempat ada sebelumnya. Hikari merasa bahwa momen ini begitu berharga, apalagi saat dia mencuri pandang ke arah Kage. Dalam hati, dia merenungkan perasaannya yang semakin dalam. Kage tampak santai, namun sikapnya yang tenang membuat Hikari merasa nyaman.
Hujan di luar semakin deras, tetapi di dalam mobil, mereka menciptakan suasana hangat. Hikari sesekali menyentuh tangan Kage saat tertawa, dan setiap kali itu terjadi, hatinya bergetar. Dia menyadari bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekadar pertemanan di antara mereka.
Sambil menunggu sampai hujan reda, Hikari memutuskan untuk melanjutkan permainan. "Oke, sekarang giliranku! Aku punya sesuatu yang kamu tidak bisa lihat, tapi kamu bisa mendengar. Apa itu?" dia bertanya sambil menyeringai, dan Nian langsung terlihat berusaha keras berpikir.
Kage memperhatikan dengan penuh minat, memberi dukungan pada Nian. "Coba tebak, Nian. Pikirkan tentang suara yang sering kamu dengar."
Momen-momen sederhana seperti ini membuat mereka semakin dekat, dan Hikari tak bisa menahan senyum. Ia menyadari bahwa kebersamaan ini adalah sesuatu yang dia dambakan, dan meskipun hujan di luar membuat suasana suram, di dalam mobil, tawa dan kebahagiaan mereka menciptakan kehangatan yang tak tergantikan.
Hujan tetap mengucur deras, tetapi di dalam mobil Kage, mereka merasakan sebuah keintiman yang baru, sebuah awal dari sesuatu yang mungkin akan mengubah hubungan mereka selamanya.