Akhirnya, mereka bertiga terpaksa masuk ke kantor Kage. Kantor itu terlihat rapi dan teratur, dengan berbagai dokumen yang tersusun rapi di rak-rak, serta meja besar yang penuh dengan kertas-kertas yang sedang dikerjakan Kage. Cahaya matahari yang hampir redup masuk melalui jendela besar di belakang meja Kage memberi suasana hangat, meskipun ekspresi wajah Kage terlihat serius, sibuk dengan pekerjaannya.
Hikari muncul dari ruangan dalam kantor pribadi itu, mengenakan kemeja besar milik Kage yang tampak kebesaran di tubuhnya. Kemeja itu hampir menutupi seluruh tubuhnya, tetapi panjangnya hanya cukup sampai pertengahan pahanya. Tanpa celana atau bawahan lainnya, penampilannya memberi kesan kasual namun sedikit menggoda. Ia berjalan perlahan, memperhatikan Kage yang masih fokus pada berkas-berkas di mejanya, seakan tidak sadar dengan kehadiran Hikari di sana.
Di sudut ruangan, Nian terlelap di sofa dengan tenang. Wajahnya yang polos dan damai membuatnya terlihat jauh lebih muda dan tidak terpengaruh oleh hiruk-pikuk yang mungkin terjadi di sekitarnya. Sofa yang empuk membuat tidurnya begitu nyaman, hingga desahan nafasnya terdengar lembut, mengikuti irama kedamaian ruangan itu.
Dalam hati, Hikari mulai panik, menyadari bahwa ia tidak mengenakan bra. "(Bagaimana ini... Aku sama sekali tidak memakai bra... Aku benar-benar bodoh... Bra-ku basah begitu saja, aku tidak mungkin memakainya...)" ia membatin dengan cemas. Sesekali, pandangannya kembali tertuju ke arah Kage yang masih tenggelam dalam pekerjaannya. Memang dia hanya memakai baju yang besar itu sehingga dia tidak memakai celana apapun. Tubuhnya yang telanjang hanya sebatas di tutupi oleh baju yang sudah melingkup tubuhnya.
Dengan sedikit ragu, ia berkata pelan, "Kau selalu sibuk, seharusnya kau tidak perlu meluangkan waktu untukku." Hikari berharap kata-katanya tidak mengganggu Kage, tapi di sisi lain, ada bagian dalam dirinya yang ingin diperhatikan.
Kage menoleh, dan meski awalnya hanya tersenyum tipis, tatapannya seketika berubah menjadi lebih serius. "Jika aku tidak menemui kamu, aku takut akan melihatmu jalan dengan orang lain," ucapnya sambil berdiri, berjalan mendekat, dan dengan lembut memegang dagu Hikari. Genggamannya tegas namun penuh kehati-hatian, seperti ingin melindungi tetapi tidak ingin membatasi. Saat itu, Kage memperhatikan sesuatu, seolah menyadari bahwa Hikari tidak mengenakan bra di balik kemejanya.
"Mas Kage, apa yang kau lihat?" Hikari bertanya, nadanya bingung namun dengan sentuhan gugup.
Kage mengulum senyum. "Kau tampak seksi tanpa bra," katanya, nadanya setengah bercanda namun pandangannya tetap serius. Tatapan matanya seakan menelusuri setiap sudut Hikari, yang berdiri dengan sedikit canggung di hadapannya.
Hikari terkejut, wajahnya memerah, lalu ia mundur selangkah sambil mencoba menutupi dadanya. "Hah? Ah, bagaimana kau bisa tahu?" Matanya membulat, dan bibirnya sedikit bergetar menahan rasa malu. Dalam keadaan seperti itu, Hikari terlihat sangat berbeda dari biasanya—lebih pemalu dan rapuh, membuat aura misteriusnya makin tampak jelas.
"Kau gadis yang pemalu, ya," kata Kage, tertawa kecil sambil terus menatapnya. Hikari hanya terdiam, bibirnya sedikit digigit seolah menahan perasaan campur aduk yang berkecamuk di dalam hatinya. Suasana ruangan itu pun berubah menjadi lebih intim, seolah hanya ada mereka berdua, sementara Nian masih terlelap di sofa.
"Kenapa kau harus malu? Bukankah kau sudah memutuskan untuk menyukaiku?" Kage menatap Hikari dengan pandangan lembut, senyumnya samar tapi penuh makna. Dia berdiri perlahan dari kursinya, langkahnya tenang, lalu bersandar di meja yang ada di depannya. Matanya tak lepas dari Hikari, menelusuri ekspresi gadis itu yang semakin tersipu malu, wajahnya memerah seperti mawar mekar di musim semi.
Hikari mencoba mempertahankan ketenangannya, tapi jelas wajahnya tak bisa menyembunyikan perasaan gugup yang berkecamuk di dalam dirinya. "A... Apa! Aku memutuskan untuk menyukai caramu yang tidak pernah menyerah mendapatkan kepercayaanku... Aku tidak berpikir lebih," jawabnya dengan suara sedikit bergetar, meski bibirnya berusaha tegas. Ia berusaha menghindari tatapan Kage, namun lirikan dari sudut matanya tak bisa menyembunyikan perasaannya yang bercampur aduk antara kesal dan malu.
Namun mendadak, Kage menarik pinggang Hikari perlahan, memecah jarak di antara mereka. Sentuhannya lembut, namun cukup kuat hingga membuat Hikari terkejut dan nyaris kehilangan keseimbangannya. Ia merasakan hangatnya kehadiran Kage yang begitu dekat, membuat jantungnya berdetak kencang. Di dalam diam, mereka terjebak dalam tatapan yang begitu dekat, seakan tak ada lagi yang bisa memisahkan mereka.
"Mas Kage..." gumam Hikari, suaranya nyaris tak terdengar, tapi matanya jelas-jelas menampakkan kebingungan yang manis. Wajahnya kini benar-benar merah, semerah apel yang baru dipetik.
Kage juga terdiam, seakan tenggelam dalam lautan pikirannya sendiri. Dalam jarak sedekat ini, ia merasa sulit untuk menahan diri, dan fokusnya terpusat pada satu hal yang ingin dilakukannya—mencium Hikari. Namun, saat detik itu semakin mendekat, rasa ragu dan malu muncul di benaknya, menahan dirinya untuk tidak terlalu cepat.
Dengan ragu, dia akhirnya mendorong dirinya sendiri menjauh, tapi teriakan pelan keluar dari mulutnya, "Hentikan!!" Kalimat yang justru terdengar seperti sebuah perjuangan menahan perasaan yang terlalu besar untuk disimpan.
Kage terdiam melihat Hikari yang masih berdiri dengan wajahnya yang merona. "Hentikan, aku benar-benar butuh waktu..." Hikari mencoba menjelaskan, namun kata-katanya terputus oleh perasaan malu yang begitu kuat, membuat pipinya semakin memerah.
Kage, di sisi lain, justru merasa ini adalah kesempatan untuk sedikit menggoda Hikari. Dia melangkah maju lagi, langkahnya pelan namun penuh keyakinan, membuat Hikari mundur perlahan dengan sorot mata yang waspada. "Tidak, jangan mendekat," ujar Hikari dengan suara bergetar, namun langkah Kage tak terhenti. Perlahan-lahan mereka mendekat ke arah sofa, tepat di mana Nian sedang terlelap, wajah mungilnya damai dalam tidur.
Kage lalu memberi isyarat pada Hikari untuk tetap tenang, jari telunjuknya diletakkan di depan bibirnya. "Shh... Bayi kecil akan bangun, jadi jangan memberontak ya..." katanya dengan nada yang lembut, hampir berbisik, seakan takut mengganggu keheningan yang hangat di sekitar mereka. Dia bahkan akan meraih Hikari lagi, namun gadis itu hanya bisa terdiam dengan ekspresi tak percaya. Hikari menahan napas, wajahnya benar-benar sudah merah padam, tertelan suasana yang hangat dan mendebarkan di antara mereka.
Setelah beberapa saat, Hikari mengalihkan pandangannya. "Mas Kage, kau benar-benar mesum!" ucapnya sambil melompat ke tubuhnya, membuat mereka berdua sama-sama terjatuh di sofa. Suara benturan mereka hampir membangunkan Nian, tapi untungnya ia hanya bergerak sedikit sebelum kembali tertidur pulas. Hikari yang ada di atas Kage menjadi menghela napas panjang.
Mereka berdua terdiam, tak ingin membuat kegaduhan. Lalu, saling menatap sambil tersenyum, senyum yang mengisyaratkan keakraban dan rasa saling memahami yang hanya bisa dimengerti oleh mereka berdua.
"Kau akan membangunkannya," Kage berbisik, masih tersenyum. Hikari menanggapi dengan tersipu, mukanya merah dan tangannya tak bisa menahan diri untuk membalas tatapan lembut dari Kage. Perlahan, ia mendekat dan mencium pipi Kage, namun tiba-tiba suara keras terdengar dari arah pintu.
Pintu itu terbuka dengan paksa, dan sosok yang sudah sangat mereka kenal muncul dengan ekspresi penuh semangat. "Bos, aku kembali!" seru Chen dengan suara lantang, namun ia terdiam seketika melihat situasi di ruangan itu. Wajahnya tampak kaget karena posisi Hikari yang ada di atas Kage yang sedang terbaring di sofa, dan pandangannya berpindah dari Kage ke Hikari yang masih berada dalam pelukan Kage.
Suara keras itu akhirnya membangunkan Nian yang langsung membuka mata dan, tanpa alasan jelas, menangis dengan suara yang keras. Ruangan yang sebelumnya sunyi berubah menjadi penuh suara, dan Kage serta Hikari hanya bisa saling menatap dengan senyum kecil, seolah memahami kekacauan kecil yang terjadi di sekitar mereka.
"Ah, Nian cup cup," bisik Hikari dengan lembut, menggendong bayi mungil itu dalam dekapannya. Bayi itu tampak gelisah, menangis dengan suara yang lirih namun memelas. Hikari mendekapnya erat, mencoba menenangkan dengan usapan lembut di punggung kecilnya. Di tengah keheningan itu, Hikari merasakan gerakan Kage di sebelahnya. Kage dengan cepat mengambil mantel hitamnya, membungkuskan dengan hati-hati pada paha Hikari yang terbuka. Sentuhan mantel yang lembut dan hangat itu menyelimuti kulitnya, seolah menyampaikan kepekaan Kage yang begitu perhatian pada hal-hal kecil.
Hikari menoleh ke arah Kage. Tatapan matanya penuh rasa terima kasih dan sedikit terkejut. Dia tidak menyangka Kage akan begitu peka terhadap keadaan sekitarnya, apalagi dengan Chen yang sedang berada di ruangan yang sama. Meskipun sifat Kage seringkali dingin dan keras, tindakan kecil ini membuat Hikari merasa ada sisi lembut yang jarang terlihat oleh orang lain.
Kage, yang sudah berdiri di hadapan Chen, menatapnya dengan sorot mata tajam, seperti mata elang yang siap memangsa. Wajahnya tanpa ekspresi, namun hawa dingin menguar dari seluruh tubuhnya. Tatapan Kage itu seolah mampu menusuk ke dalam jiwa, membuat siapapun yang ditatapnya merasa gentar. Chen, yang merasa atmosfer berubah semakin mencekam, mundur sedikit sambil menelan ludah. Dia tahu betul kemarahan yang tersembunyi di balik tatapan itu.
"E... eee, aku hanya ingin meminta maaf karena tak bisa memegang amanahmu, aku yakin kau masih marah..." kata Chen, suaranya bergetar. Tubuhnya tampak sedikit gemetar saat dia mencoba mengumpulkan keberanian untuk bicara. Kage tetap berdiri kokoh, tidak bergeming, namun tatapannya semakin tajam, seolah tak ada ampun untuk kesalahan yang dibuat Chen.
"Itu tak bisa aku maafkan," jawab Kage dengan nada suara rendah namun penuh ancaman. "Bagaimana bisa kau dengan bodohnya membiarkan Haku tahu itu, dan sekarang apa yang akan dia katakan pada Chichi ketika bangun?" Suaranya terdengar tegas dan dingin, membawa aura yang menekan. Kata-kata Kage terasa berat, menyiratkan kekecewaan dan kemarahan yang dalam terhadap kelalaian Chen.
Chen terdiam, tak kuasa menatap balik mata Kage. Dia tahu kata-kata Kage benar. Di balik keraguannya, dia akhirnya mengumpulkan keberanian untuk menyampaikan berita yang sebenarnya ingin dia hindari. "Sebenarnya, aku mendapatkan kabar bahwa... Chichi telah bangun," kata Chen dengan nada yang semakin pelan, seperti suara yang keluar di tengah rasa takut.
Di antara keheningan yang menyergap, Hikari dan Kage terdiam. Tatapan mereka beralih satu sama lain, sama-sama tercengang mendengar kabar itu. Ekspresi mereka yang semula tegang perlahan berubah, mencerminkan keterkejutan yang mendalam.
"Chichi, bangun!!??"