"Hikari, kau mendengar semuanya?" Kage menatap Hikari dengan ekspresi yang sulit dibaca, seolah ada penyesalan yang tersembunyi dalam pandangannya. Tatapan itu tajam namun penuh beban, sementara di sampingnya, Shiba menatap Hikari dengan sorot mata yang tidak kalah terkejut, seakan-akan dia pun merasa gentar oleh apa yang baru saja diucapkan. Shiba bahkan terlihat gemetar, sedikit mundur sambil meremas-remas ujung jaketnya, jelas menunjukkan bahwa situasi ini membuatnya merasa tidak nyaman.
Namun, Hikari mencoba tetap tenang. Dengan gerakan lembut, dia mengusap pipinya sendiri seolah menenangkan dirinya. Meski di dalam hatinya ada badai yang berkecamuk, dia tidak ingin orang lain melihat kelemahannya. Hikari mengambil napas dalam-dalam, berusaha menguatkan hatinya, lalu berjalan mendekat ke arah Nian yang masih kecil, duduk dengan tatapan polos dan tidak mengerti. Dia menggendong Nian dengan hati-hati, seakan memeluk sesuatu yang sangat berharga, begitu halus dan penuh kasih sayang, hingga Kage tak bisa berkata apa-apa, hanya menatap tanpa suara.
Setelah beberapa saat yang penuh keheningan, Hikari akhirnya bicara. "Tentu saja, aku mendengar semuanya..." ucapnya dengan suara pelan tapi mantap, seolah menyimpan luka yang mendalam dalam setiap kata yang diucapkannya. Matanya menatap lurus, lalu beralih pada Nian yang masih menatapnya dengan mata bulat dan polos, seakan-akan tak ada yang bisa mengubah kebahagiaannya dalam dekapan Hikari.
Kage yang mendengar jawaban itu hanya bisa terdiam. Ekspresinya sedikit berubah, menunjukkan rasa bersalah yang tak mampu ia sembunyikan. "Maafkan aku, Hikari," ucapnya dengan nada yang terdengar berat, suaranya hampir berbisik, namun penuh makna. "Tapi dia harus kukembalikan," lanjutnya dengan tatapan yang semakin dalam, memantapkan keputusannya. "Bagaimanapun juga, kau tak akan bisa menghadapi pertumbuhan akal sehat bayi itu; kau bukan ibunya..." kata-katanya terasa bagai batu yang menghantam hati Hikari, namun ia tetap berdiri di sana, diam mendengarkan, meski batinnya bergolak.
Pada saat itu, Nian yang tadinya hanya diam tiba-tiba terlihat tersentak, seolah baru menyadari sesuatu. Dia memandang Hikari dengan tatapan tak percaya, matanya yang polos mulai dipenuhi kebingungan, seakan nalurinya sebagai seorang anak mulai merasa bahwa ada sesuatu yang salah. Sementara itu, Hikari hanya tersenyum lembut, senyum yang mencerminkan kesedihan mendalam. Air mata hampir tergenang di sudut matanya, namun ia menahannya, tetap menjaga ketenangan di hadapan Nian yang tidak tahu apa yang sedang terjadi.
"Kamu sudah mendengar semuanya, kan? Kamu sudah mengerti, kan, Nian...?" tanyanya dengan suara lembut namun sendu, sambil menatap Nian dalam-dalam, seolah ingin menyampaikan semua perasaan yang tak terucapkan.
"Ibu..." Nian hanya memanggil dengan lirih, suaranya terdengar ragu, seperti ingin memastikan sesuatu yang dirasakannya. Ia menatap Hikari dengan tatapan penuh harap, seakan-akan jawaban yang akan diberikan Hikari dapat membatalkan semuanya.
Namun, Hikari hanya menggelengkan kepala perlahan, kemudian menunduk sedikit dan mencium pipi Nian dengan lembut. "Maafkan aku, aku bukan ibumu," katanya dengan penuh keikhlasan. "Sudah saatnya kamu kembali pada orang tuamu. Jika memang kamu adalah anak dari mereka, aku akan merindukanmu..." lanjutnya, sementara Nian hanya menatap dengan mata berkaca-kaca, seakan belum sepenuhnya memahami. Hikari tahu, meskipun Nian masih kecil, ada perasaan yang ia rasakan, meski tak dapat ia ungkapkan dengan kata-kata.
Setelahnya, Hikari menatap Kage dengan tatapan tegas namun tersirat kesedihan mendalam. "Jika memang begitu, tolong berikan Nian pada dia yang memilikinya. Aku tahu, aku sadar aku bukan sosok yang dipilih untuk menjaga Nian. Tapi selama bertahun-tahun yang singkat ini, aku mempelajari sesuatu dengan kehadiran Nian di sini... Aku tahu itu, aku tidak akan berlagak. Ini cukup berat," katanya dengan suara bergetar, namun tetap berusaha tegar. "Jadi, aku minta tolong padamu, Mas Kage..." Hikari mengulurkan Nian dengan perlahan, hati-hati seakan takut Nian akan terluka hanya karena perpisahan ini.
Kage hanya bisa terdiam, tangannya yang hendak menerima Nian terhenti di udara. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu menurunkan tangannya kembali, mengepalkan tangan seakan menahan perasaan yang tidak bisa ia keluarkan. "Aku tahu di lubuk hatimu, kau tak mau melepaskan Nian... cukup katakan saja padaku..." Kage mengangkat wajah, menatap Hikari dengan pandangan serius. "Aku akan mencari segala cara jika kau sabar menunggu..."
Namun Hikari hanya tersenyum kecil dan menggelengkan kepala. "Aku percaya, aku percaya setiap cara yang kau lakukan pasti akan berakhir dengan sempurna. Tapi aku memang sudah sangat lama menantikan Nian untuk kembali pada orang tuanya. Ini baik-baik saja..." katanya dengan nada yang tulus. Meski suara Hikari terdengar tegar, ada kegetiran yang tak bisa disembunyikan.
Lalu Kage perlahan mengambil Nian, tangannya gemetar saat menyentuh anak kecil itu. Namun Nian justru memandangnya dengan tatapan penuh ketakutan, ekspresinya yang polos berubah menjadi bingung dan sedih. Dia langsung menggelengkan kepala dengan panik, tangannya terulur ke arah Hikari, air matanya mulai mengalir tanpa bisa dibendung. "Ibu... Ibu... aku ingin bersama Ibu!!!" tangisnya pecah, suara kecilnya terdengar menyayat hati. Meski mungkin Nian belum sepenuhnya mengerti situasi ini, instingnya sebagai seorang anak membuatnya menyadari bahwa Hikari akan pergi meninggalkannya.
Namun Hikari dengan tabah berbalik, melangkah melewati Kage dan Nian, memasuki apartemennya yang terasa hening dan sepi. Dia menutup pintu dengan perlahan, meninggalkan Nian dalam dekapan Kage. Nian hanya bisa menatap pintu yang tertutup itu dengan wajah tak percaya, matanya dipenuhi air mata, bibirnya gemetar hingga akhirnya ia menangis sejadi-jadinya.
"Ibuuuu!!!"
Di sisi lain, Shiba yang menyaksikan perpisahan itu hanya bisa berdiri di sana, terdiam dengan tatapan sedih. Dia tahu, ini keputusan yang sangat berat, namun dia juga memahami apa yang dirasakan Hikari. "Nian, kau pasti bisa membangun kehidupan yang lebih baik. Kau harus mengerti... Hikari adalah seorang gadis yang masih muda, dia butuh waktu banyak dan dia tidak pantas untuk menjagamu. Jika kau sudah besar nanti, temuilah dia saja ya... jangan khawatir..." Shiba mencoba menghibur dengan suara lembut, namun suara tangis Nian masih menggema, membuat hati Shiba terasa berat.
Sementara itu, Kage yang membawa Nian hanya terdiam, memandang bayi kecil itu dengan sorot mata yang tak biasa. "Hei, dengar ini..." katanya, memanggil Nian yang sedang menangis. "Yang dikatakannya benar. Ketika kau besar nanti, jemputlah Hikari... kau mengerti?" tatap Kage dengan mata yang lembut namun tegas.
Nian yang mendengar itu hanya bisa terisak pelan, tangisnya mereda namun bibirnya masih bergetar. Mata kecilnya yang penuh air mata menatap Kage dengan bingung, tidak memahami sepenuhnya, tapi ada rasa kehilangan yang dalam, dan dia tak tahu harus berkata apa.
Setelah itu, Kage berbalik perlahan, meninggalkan Shiba di belakang, lalu berjalan pergi sambil menggendong Nian, yang masih terisak dalam pelukannya. Mereka bergerak menjauh, menuju tempat di mana Nian akan dikembalikan ke orang tuanya.
Shiba yang menyaksikan mereka berjalan pergi hanya bisa menatap dengan kekhawatiran, hatinya ikut merasa berat melihat Nian yang masih menangis dalam kepergian itu.
Hingga akhirnya Kage mengantarkan Nian ke rumah besar Akamura. Di sana, dia bertemu Akamura.
"Tuan Kage? Kenapa datang lagi? Apa ada urusan lagi?" tatapnya.
"Sebenarnya, aku membawa bayimu," kata Kage. Seketika, Akamura terkejut sekaligus bingung.
Di saat itu juga, terlihat Chen membawa Nian yang sedang tertidur dengan bekas mata bengkak karena menangis tadi.
"Apakah benar dia adalah bayimu? Karena namanya Nian," tatap Kage.
Akamura, yang masih belum mengerti situasinya, menatap ke arah Nian. Dia menemukan gelang yang bertuliskan nama Nian di sana. Wajahnya mirip dengan yang dia bayangkan dan ingat, seperti wajah bayi kecilnya. Ternyata benar, itu adalah bayinya yang selama ini hilang bersama mantan istrinya.
"Nian... Dia memang Nian..." Dia langsung mengambil Nian dari Chen meskipun Nian masih tertidur pulas.
"Aku senang jika itu memang bayimu," tatap Kage.
"Terima kasih, terima kasih, Tuan Kage. Aku akan mengurus beberapa surat untuk bayi ini. Aku sungguh sangat berterima kasih dan aku bersedia jika harus bekerja sama denganmu lagi."
"Tidak, tidak perlu. Aku hanya cukup bekerja sama dengan kontrak yang sudah kita buat."
"Baiklah. Oh, ngomong-ngomong, di mana kau menemukan Nian kecilku? Apa ada seseorang yang membawanya? Biarkan aku melihatnya."
"Tidak, dia hanyalah orang biasa. Dia tak ingin diganggu dan hanya ingin Nian mendapatkan gizi yang lebih baik. Selama bertahun-tahun ini, dia merawat bayi itu dengan baik," kata Kage.
"Kau benar, Nian tampak lebih sehat. Sekali lagi, aku berterima kasih." Akamura bahkan sampai menundukkan badan. Namun, di belakang Kage, Chen tampak khawatir.
"(Dadah, Nian. Semoga kamu mendapatkan hal yang baik... Dan Hikari juga, semoga dia berusaha lebih baik menenangkan dirinya setelah Nian pergi...)" pikirnya.
Memang benar, sekarang Hikari tampak berada di dalam apartemennya. Apa yang dia lakukan adalah masih terduduk di bawah pintu karena sebelumnya, setelah dia masuk dan membiarkan mereka di luar, dia langsung menangis lagi dan berlutut begitu saja. Dia sebenarnya memang tak mau berpisah dengan Nian, tapi dia tahu itu adalah pilihan yang terbaik untuk Nian.
"(Aku memang selalu berpikir bahwa menjadi seorang ibu itu sangat baik. Itu membuatku tetap dewasa, tapi jika itu adalah bayi orang lain, itu juga akan percuma...)" ia berpikir panjang.
Hingga tiba-tiba terdengar ketukan pintu dan bisikan dari seseorang. "Hikari..." Tepatnya, itu adalah Kage yang kembali lagi malam itu.
Hikari yang mendengarnya hanya bisa terdiam. Dia tahu itu Kage, tapi dia memilih untuk diam.
Kage tak mau menyerah untuk membujuknya. "Hikari, buka pintunya. Aku sudah mengirim Nian ke orang tuanya... Dia bahagia bertemu mereka. Kau juga harus berharap Nian bahagia bertemu dengan mereka..." kata Kage.
Akhirnya Hikari memutuskan untuk berdiri dan membuka pintu. Dengan mata bengkak karena menangis, dia menatap Kage.
Kage yang melihat itu lalu melangkah mendekat dan memeluk Hikari, membuat Hikari semakin menangis. Bahkan dia terisak. "Hiks... Aku senang... Hiks... Aku senang jika Nian bertemu keluarga aslinya... Hiks... Aku tak perlu memarahinya lagi karena kenakalannya. Aku juga tak perlu menyiapkan makanannya di saat aku sudah lelah... Aku juga tak harus membela bayi itu lagi... Hiks... Akhirnya..." Dia menangis bukan karena hal yang dia katakan, dan Kage tahu hal itu. Hikari mengatakan itu hanya untuk menutupi kebenaran kenapa dia menangis, karena dia sedih berpisah dengan Nian.
"Hikari... Semua akan baik-baik saja..."