Beberapa lama kemudian, Kage memarkirkan mobilnya di parkiran apartemen tempat Hikari tinggal. Malam itu terasa dingin, langit gelap tanpa bintang, dan angin berembus perlahan, menciptakan suasana yang sunyi di sekitar apartemen. Kage keluar dari mobilnya dengan ekspresi tenang, namun pikirannya dipenuhi berbagai pertanyaan. Ia melangkah perlahan ke lorong apartemen Hikari, langkah kakinya menggema di dinding sempit yang berlapis cat pudar.
Ketika sampai di depan pintu apartemen Hikari, ia terkejut mendapati pintunya sedikit terbuka. Hal itu membuat langkahnya terhenti sejenak. Tatapan matanya berubah serius, penuh rasa ingin tahu dan kewaspadaan. Ia mendorong pintu perlahan, suara engselnya yang berderit memecah keheningan malam. Di dalam, suasana terasa aneh. Sepasang alas kaki milik Hikari tergeletak sembarangan di dekat pintu, tidak seperti biasanya yang selalu tertata rapi. Keadaan ini membuat Kage berdiri terdiam, mencoba mencerna apa yang sedang terjadi.
Ia melangkah masuk dengan hati-hati, menutup pintu di belakangnya. Suara pintu tertutup mengisi ruangan yang sunyi. "Hikari...." panggilnya dengan nada rendah, mencoba mencari kehadiran pemilik apartemen. Ia berjalan melewati ruang tamu yang berantakan, seolah seseorang telah terburu-buru meninggalkan tempat itu. Panggilannya tidak mendapatkan jawaban.
Ia mulai menyadari bahwa Hikari tidak ada di apartemen ini. Berbagai kemungkinan buruk mulai memenuhi pikirannya, dan dadanya terasa berat saat sebuah kesadaran menghantamnya. Hikari telah diculik. Hal itu membuat ekspresinya berubah drastis. Mata Kage melebar, dan napasnya tercekat, seakan tidak percaya dengan kenyataan yang ada di depannya.
Sementara itu, di tempat lain yang gelap dan menyesakkan, Hikari membuka matanya perlahan. Cahaya redup dari sebuah lampu kecil di sudut ruangan menyambutnya, namun tidak cukup untuk mengusir kegelapan yang mendominasi sekitarnya. Ruangan itu memiliki bau lembap yang menyengat, dan suara tetesan air dari pipa yang bocor terdengar samar di kejauhan. Pandangannya buram sesaat, tapi ia segera menyadari bahwa dirinya berada di tempat yang asing.
Hikari mencoba bergerak, tetapi tubuhnya terasa berat. Dalam waktu singkat, ia sadar bahwa dirinya terikat pada sebuah kursi. Tangan dan kakinya diikat erat dengan tali kasar, meninggalkan bekas merah di kulitnya. Posisinya yang kaku membuat tubuhnya terasa sakit, dan napasnya tersengal-sengal karena ketegangan. Ia menggeliat, mencoba melepaskan diri, tetapi talinya terlalu kuat untuk dilawan. Jantungnya berdetak cepat, dan pikirannya dipenuhi dengan ketakutan akan apa yang mungkin terjadi padanya.
Tiba-tiba, suara langkah sepatu hak tinggi memecah keheningan. Suara itu terdengar semakin mendekat, menggema di ruangan gelap tersebut. Hikari menghentikan usahanya untuk melawan tali dan mengarahkan pandangannya ke sumber suara itu. "Wah wah, cepat sekali bangun yah," sebuah suara menyapa dari kegelapan. Nada suara itu santai, namun mengandung ejekan yang jelas.
Hikari menatap ke arah suara itu dengan tegang. Mata gelapnya mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya redup, hingga akhirnya ia melihat sosok seorang wanita berjalan mendekat. Sepatu hak tinggi wanita itu berkilauan di bawah cahaya lampu kecil. Wajah Hikari berubah ketika ia menyadari siapa yang ada di hadapannya.
"Lily?" desisnya, menatap wanita itu dengan rasa tak percaya.
"Kau!!!?" Hikari akhirnya berteriak, nada suaranya penuh kemarahan bercampur rasa kaget.
Lily tersenyum sinis, menyilangkan tangannya di depan dada. Matanya yang tajam menatap Hikari dengan penuh kebencian. "Ada apa, huh? Kau belum puas membuatku terpuruk saat ini, huh? Beruntung sekali kau bisa menggoda Tuan Kageku.... Dia itu milikku, kenapa kau mengambilnya dariku?!" Lily berteriak dengan nada tinggi, emosinya meluap-luap. Ia melangkah mendekat dengan cepat, lalu menarik rambut Hikari dengan kasar, memaksa Hikari menatapnya.
Rasa sakit menusuk kulit kepala Hikari, tetapi ia tetap berusaha mempertahankan ketenangannya. Ia menatap Lily dengan senyum kecil yang jelas membuat wanita itu semakin geram. "Aku tidak mengambilnya. Dari awal, bukankah Mas Kage tidak suka padamu... wanita jalang," balas Hikari dengan suara rendah namun menusuk.
Wajah Lily memerah karena amarah. Tanpa ragu, ia mengangkat tangannya dan menampar pipi Hikari dengan keras, membuat kepala Hikari terlempar ke samping. Kursi tempat Hikari duduk hampir terjatuh karena hentakan itu. Pipi Hikari terasa panas, dan bekas tamparan mulai memerah di kulitnya. Namun, ia tetap menatap Lily dengan tatapan kosong, tidak menunjukkan kelemahan sedikit pun.
"Kau gadis sialan!! Masih beruntung aku tidak menyiksamu sampai mati, asal kau tahu!! Tuan Kage hanya cinta padaku dan aku adalah wanita yang dijodohkan ayahnya..... Chichi sendiri bahkan menolakmu dan hubunganmu bersama Kage, tapi kenapa kau dengan beraninya memasang wajah itu!! Bahkan rumor mengatakan Chichi mencarikan pasangan lain untuk Kage, dan rupanya benar, kau pasangannya!?" tatap Lily.
Tapi Hikari terkejut mendengarnya. "(Tunggu, apa? Apa maksudnya? Tidak mungkin Chichi melakukan itu.... Apa Lily salah dengar?! Mungkin Chichi mencarikan wanita lain untuk Mas Kage agar Chichi tidak membiarkan ku mendekati Mas Kage.... Aku tahu berita semacam itu, dan Lily mengira aku adalah orang yang disetujui Chichi. Memangnya aku pernah disetujui oleh Chichi.... Tidak akan pernah....)" Hikari hanya bisa terdiam dengan wajah kecewa. Dia tahu Lily salah paham, tapi jika memang benar Hikari akan menjadi pasangan Kage, itu akan luar biasa. Namun, dia harus memikirkan dampak dari ketidaknyamanan pada Chichi yang masih tidak setuju.
"(Bagaimanapun juga, wanita di hadapanku memang pantas marah padaku.... Aku hanyalah orang yang bisa menerima kekesalan orang lain....)" Hikari hanya bisa terdiam dengan pikiran itu.
Ruangan itu dipenuhi ketegangan yang mencekam. Udara terasa berat, seolah setiap detik yang berlalu semakin memperburuk suasana. Hikari berdiri tegak, meski tubuhnya merasakan perih akibat tusukan pisau di pahanya. Wajahnya tetap dingin, tanpa sedikit pun menunjukkan rasa takut. Di hadapannya, Lily tampak gemetar, matanya berkilat penuh amarah, namun tangan yang memegang pisau itu sedikit bergetar, seolah ragu dengan tindakannya sendiri.
"Memangnya kenapa jika suatu saat nanti Chichi akan menerima ku? Selama ini aku juga sudah melakukan berbagai macam cara agar Chichi percaya padaku, dan aku adalah gadis yang bisa menjaga Mas Kage dari apapun, termasuk wanita pelacuran sepertimu. Kau pikir aku tidak bisa membalas kata-kata pedasmu?" Tatap Hikari dengan tatapan tanpa takut.
Lily merengutkan alisnya, tidak terima dengan perkataan itu. Ia menoleh ke samping, mencoba menenangkan pikirannya yang kacau, namun amarahnya tetap membara. Ia memutar tubuhnya dan berjalan dengan langkah cepat menuju meja di pojok ruangan. Tangan kanannya meraba-raba benda-benda yang tergeletak di sana, lalu menemukan apa yang dicari: sebuah pisau dapur berkilau. Tanpa berpikir panjang, Lily menggenggamnya dengan erat dan mengarahkannya ke Hikari.
"Sialan!!" teriak Lily, wajahnya memerah penuh emosi. Ia menodongkan pisau itu dengan tangan gemetar ke arah Hikari, seolah ingin merobek kedamaian dalam diri gadis itu. "Kau pikir aku tidak bisa mengarahkan ini padamu, huh? Matilah!"
"Hmp... Bunuh saja aku, Mas Kage juga tidak akan diam saja, dia akan mencari tahu siapa pembunuhku," kata Hikari, nada suaranya tidak berubah. Rasa sakit di pahanya tidak menggoyahkan semangatnya sedikit pun. Sebaliknya, sikap tenangnya malah membuat Lily semakin kalap.
"Sialan!! Gadis sialan!!" teriak Lily. Tubuhnya bergetar, bukan karena takut, tetapi karena marah. Ia mengibaskan pisau itu ke arah Hikari, yang matanya melebar tak percaya melihat gerakan itu. Seketika, ruangan itu seolah terhenti.
Pisau itu menembus kulit Hikari dengan begitu mudah, dan tubuhnya terhuyung sedikit ke belakang. Darah mulai mengalir, menodai lantai yang sebelumnya bersih. Hikari menggigit bibirnya, berusaha menahan rasa sakit yang mendera. Namun, ia tidak mengeluarkan suara. Hanya nafasnya yang semakin berat, tubuhnya sedikit gemetar.
"Ah... Ugh..." Hikari mencoba menahan sakitnya karena pisau tadi menancap di pahanya. Namun, Lily tidak memberinya kesempatan untuk memulihkan diri. Dengan cepat, ia mencabut pisau itu, membuat luka di paha Hikari semakin dalam, dan rasa sakitnya semakin parah.
"Kenapa kau tidak berteriak?! Apa kau tidak punya rasa sakit?! Kau seharusnya berteriak kesakitan... Kau seharusnya memohon padaku untuk tidak melukaimu!!" tatap Lily, suaranya penuh kebingungan, seolah tidak mengerti mengapa Hikari tetap diam. Ia berharap, atau bahkan menginginkan, reaksi lain dari Hikari.
Lalu Hikari membalas dengan nada masih berani. "Aku masih punya harga diri." Kalimat itu keluar begitu tegas, meski darah terus mengalir dari luka di pahanya. Setiap kata yang diucapkannya bagaikan duri yang menancap lebih dalam di hati Lily.
"Sial!! Kau mau aku bunuh beneran? Lihat darahmu mengalir dengan cepat!" Lily menodongkan pisau penuh darah itu tepat di hadapan Hikari, wajahnya dipenuhi kebingungan dan amarah yang bercampur aduk. "Kau tidak takut?!"
Lily melangkah mundur sejenak, tubuhnya yang semula bergejolak kini merasa kosong. Ia terdiam, terhenti oleh kata-kata Hikari yang begitu tajam. Hikari memandangnya tanpa rasa gentar, bahkan meskipun ia tahu bahwa luka di pahanya cukup dalam dan rasa sakit itu hampir tak tertahankan.
Lily kembali membuka mulutnya, seolah mencoba mengungkapkan perasaan yang selama ini ia pendam. "Padahal aku sudah berusaha memohon pada keluarga Chichi untuk menerima ku, tapi kenapa dengan mudah diambil olehmu, huh?! Bagaimana bisa, bagaimana bisa?!"
Hikari menatapnya dengan tatapan tajam. "Ingatlah sesuatu... Kau tidak punya harga diri, Lily," kata Hikari, suaranya tenang namun penuh penekanan. Saat itu, seketika Lily terdiam. Tidak ada lagi kata-kata yang keluar dari mulutnya. Semua kebingungannya tercurah dalam satu kata yang tak terucap.
"Harga diri tidak lah di bawa sejak lahir, tetapi di dapat dari proses yang dibentuk sejak lahir. Dengan kata lain, harga diri di pengaruhi oleh banyak hal sepanjang hidup seperti kasih sayang, cinta, lingkungan dan pengalaman yang telah di lewati. Sebuah anugrah terindah yang kau miliki, harga diri di pengaruhi oleh hati yang tenang, tentram dan bahagia. Harga diri juga akan mendorong kita mengenali kelebihan dan kekurangan yang kita miliki, sehingga dapat meningkatkan potensi diri. Tapi kau... Menyia nyiakan anugrah yang di berikan harga diri, dengan kata lain... Kau sudah tak punya harga diri, mulai dari meminta, merayu dan apapun yang kau lakukan dengan tubuh mu yang tak akan di pikir bahwa kau nanti malu atau tidak," kata Hikari.