Namun, sebelum mereka sempat pergi, sebuah suara memanggil mereka dari kejauhan. "Halo," suara itu terdengar ceria.
Kage dan Hikari menoleh. Di sana, berdiri Haku dengan sebuket bunga mawar putih di tangannya. Pria itu berjalan mendekat dengan senyum ramah di wajahnya.
"Hikari, bagaimana perasaanmu?" tanyanya sambil menyodorkan bunga itu.
"Aku baik-baik saja. Terima kasih atas bunganya," jawab Hikari sambil menerima bunga tersebut. Senyumnya begitu manis, mencerminkan kehangatan yang ia rasakan.
"Syukurlah. Kau benar-benar gadis yang kuat, ya. Kage beruntung memilikimu," kata Haku sambil tertawa kecil.
Kage yang berdiri di samping hanya menatapnya dengan ekspresi datar, namun ada kilatan tajam di matanya. "Bisa kita bicara?" tanyanya singkat pada Haku.
Haku mengangguk, menyadari nada serius dalam suara Kage. Mereka berjalan menjauh sedikit, berbicara di pojok area parkir.
Dari dalam mobil, Hikari memperhatikan mereka dengan rasa ingin tahu. Ia melihat Haku yang merokok dengan santai, bersandar pada dinding, sementara Kage berdiri tegak sambil memegang ponselnya.
"(Aku benar-benar penasaran, apa yang mereka bicarakan ketika bertemu seperti ini?)" pikir Hikari, mencoba menebak percakapan yang berlangsung di antara keduanya.
---
Di sudut ruangan yang hanya diterangi lampu redup, Haku bersandar pada dinding sebuah parkiran rumah sakit sambil menatap Kage dengan pandangan yang sulit ditebak. Matanya yang tajam memancarkan rasa ingin tahu sekaligus kekaguman. Ia berbicara perlahan, suaranya terdengar serak seperti menahan beban yang berat. "Aku kagum pada gadis itu. Dia memiliki luka yang sangat dalam di pahanya, darahnya habis sangat banyak, tapi dia masih tetap bertahan sampai kau membawanya ke rumah sakit. Apa dia semacam malaikat yang menunggu pertolongan iblis sepertimu?"
Kage, yang bersender di salah satu mobil, hanya terdiam. Sinar matahari yang menyelinap masuk membingkai siluetnya, menambah kesan dingin dan misterius pada dirinya. Tanpa menoleh, ia melihat ke arah kanan, menghela napas panjang, seolah memikirkan sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar percakapan ini. "Dari awal aku sudah yakin. Yang bisa memilih cahayaku adalah aku sendiri. Aku tak mungkin salah dalam memilih gadis sepertinya. Hikari akan aku lindungi, apa pun yang terjadi padanya nanti," balasnya dengan nada yang tegas namun tenang.
Haku mengangguk kecil sambil menyilangkan tangan di dada, matanya masih tidak lepas dari Kage. Ia menarik napas perlahan, mencoba menyelami isi pikiran pria di depannya. "Yah, aku kagum akan hal itu juga," katanya, sebelum beralih ke topik lain yang tampak menggantung dalam pikirannya. "Ngomong-ngomong, bagaimana soal wanita itu?(Lily)"
Kage membalikkan badan sedikit, menatap Haku dengan pandangan datar yang nyaris dingin. "Aku sudah membunuhnya. Hikari terluka dan koma selama empat hari. Dia pantas mati untuk lepas dari gangguan," katanya tanpa ragu.
Haku menyipitkan mata, merasa sedikit terganggu dengan nada Kage yang terlalu lugas. "Hei... hukum tetaplah hukum. Hikari tidak mati, dia pun juga tidak mati. Tapi jika Hikari mati, apa yang akan terjadi padamu nantinya?" tanyanya, mencoba mencari celah dalam keyakinan Kage.
Namun, Kage kembali terdiam, membiarkan suasana ruangan dipenuhi oleh keheningan yang berat. Di luar, suara angin berdesir lembut melalui pepohonan, menciptakan latar belakang yang kontras dengan ketegangan di antara mereka.
"Oh, benar. Rencana membangun pernikahannya kapan lagi? Kau tidak mau melewatkan Hikari bersedia, bukan?" tanya Haku dengan nada menggoda, mencoba mencairkan suasana yang semakin menekan.
Kage mengangkat alis, sedikit tersenyum sinis. "Aku akan menunggu kaki Hikari sembuh. Bagaimana dengan Chichi?" tanyanya balik, kali ini menatap Haku dengan penuh arti.
Haku mengangkat bahu, berusaha santai meskipun jelas ia merasa risih. "Yah, seperti biasanya. Chichi yang kini mengkhawatirkanmu malah jadi pindah padaku," jawabnya, nada suara sedikit lebih ringan.
Kage menyipitkan mata, merasa ada sesuatu yang tidak beres. "Huh, apa maksudmu? Pindah padamu?" tanyanya, kali ini suaranya terdengar lebih tajam.
Haku mendengus sambil memalingkan wajah. "Cih, dia mencarikan aku wanita," jawabnya dengan kesal, sambil menyandarkan kepala ke dinding. Di saat itu juga, Kage tertawa kecil, suara tawa yang singkat namun penuh ejekan.
"Sialan, kau baru saja tertawa, huh? Kau pikir aku tidak mau dengan wanita yang dipilihkan Chichi? Tentu saja aku mau, karena aku sudah lihat wajahnya yang cantik," balas Haku, berusaha menutupi rasa malunya dengan nada percaya diri.
Kage menegakkan tubuhnya, menyusun kembali wajah datarnya. "Cukup bicara omong kosongnya. Aku akan pergi," katanya dingin sebelum berbalik dan berjalan menjauh.
Haku, yang ditinggalkan sendirian di tempat itu, menghela napas panjang sekali lagi. Suasana seketika terasa lebih sunyi, seolah kepergian Kage membawa semua energi yang ada di ruangan itu.
---
Di penjara tempat narapidana laki-laki. Tampak di salah satu sel, ada seorang penjahat yang duduk sendirian sambil menatap ke bawah. Tak lain adalah Ray.
Lelaki yang pura-pura baik pada Hikari, tapi memiliki cinta gila pada Lily hingga akhirnya ia harus ikut campur dalam masalah drama itu.
"(Ini sudah hari ke-158, masih ada banyak hari lagi sampai aku dibebaskan... Aku sangat membenci hal ini. Aku harus dijebloskan ke penjara hanya karena kasus melecehkan Lily... Memangnya apa salahku? Dia juga menikmatinya. Aku hanya menerima jatahku... Tapi...)" Di balik rasa kesalnya pada Lily, ia juga merasa menyesal pada Hikari.
"(Pertama kali aku melihat Hikari, aku pikir aku sedang tertarik padanya dan siap memberikan cintaku padanya... Aku tidak akan berpura-pura mencintainya. Jika aku menyukainya, jika aku berbaik hati, aku akan selalu menyukainya dan menerima apa adanya. Karena ada perbedaan... Dia sangat baik, hangat, dan juga sangat penyayang. Dari luar saja, aku sudah melihat dia sangat penyayang pada anak-anak. Mungkin memiliki pasangan sepertinya akan sangat menguntungkan. Hikari cantik untuk menjadi istri dan punya kewajiban untuk menjadi ibu. Tapi aku tidak yakin orang cukup menyadari seberapa besar kemampuannya, yang dibutuhkan untuk keluar dari depresi, jauh dari panik yang berlebihan. Jadi jika aku tidak melakukannya hari ini ataupun lain waktu, aku akan tenang dari ini semua. Dan juga... Salah satu pelajaran penting yang aku pelajari adalah bahwa waktu jauh lebih penting daripada mengejar hal yang tidak perlu, termasuk cinta gila pada seorang wanita yang juga gila... Aku menyesal mengejar Lily, membantunya, dan menjadi brengsek hanya karena dia... Aku bahkan mencoba berpikir kembali kenapa aku suka padanya sampai tergila-gila, padahal aku lebih suka pada Hikari.)" Ray menatap kosong ke bawah.
Lalu seorang pria datang menggunakan pakaian petugas penjara. "Tahanan nomor 124... Kau dibebaskan," katanya.
Seketika Ray yang mendengar itu menjadi terkejut, tak percaya, sambil menatapnya. "(Apa... Apa yang aku dengar ini?) Kau... Kau tadi bilang apa?" Ia bertanya, mencoba memastikan.
"Kau tidak dengar? Kau dibebaskan."
"Tapi kenapa? Bukankah waktuku masih lama?"
"Memang, tapi ada kasus baru, yakni selebriti Lily telah dicatat sebagai kriminal. Atas hal itu, masa tahananmu jelas dibebaskan karena kau tidak sepenuhnya salah. Itu sudah sesuai hukum karena sudah jelas dia yang salah, tapi yang masuk penjara kau. Sekarang kau bisa keluar dari sel besi besar ini," tambah pria penjaga itu, lalu berjalan pergi.
Seketika Ray tersenyum senang. "(Aku benar-benar tak percaya ini... Rasanya sangat aneh.)" Ia langsung kegirangan. "(Jika seekor singa adalah raja hutan, bagaimana dia bisa menjadi raja hutan? Dia bukanlah yang terbesar—gajah yang terbesar. Dia bukan yang tercepat karena macan tutul yang paling cepat. Dia juga tidak paling pintar. Jadi dia itu bukan yang terbesar, tercepat, atau terpintar. Jadi bagaimana seekor singa dapat menjadi raja hutan? Itu adalah mentalitasnya... Itulah yang membedakan gajah dan singa. Ketika seekor singa melihat gajah, mereka memikirkan makan siang, tetapi gajah berpikir cara untuk kabur... Entah aku yang mana, tapi aku tidak akan menjadi singa... Rasanya aku sudah menjadi singa di kehidupan ini.)" pikir Ray sambil mengemasi barangnya. Rupanya pria ini telah belajar banyak dari kesalahannya, terutama menyakiti seseorang.
"(Baiklah, untuk kehidupanku selanjutnya, apa aku bisa mendapat pekerjaan yang layak?)" pikir Ray.
Di hari tertentu, Ray ada di kafe, menatap ponselnya.
Lalu tak lama kemudian, ada seorang pria sebaya datang menyapa. "Yo, Ray, ada apa memanggilku di ponsel? Oh iya, bagaimana dengan tuduhanmu di penjara itu? Akhirnya publik sudah berbicara bahwa kau tidak sepenuhnya salah," kata pria itu, yang duduk di hadapannya.
"Yah, begitulah. Publik akhirnya tidak buta bahwa Lily jelas-jelas menikmatinya, dan itu mengarah dia menyuruhku melakukannya. Perempuan perayu itu memang pantas mendapatkannya."
"Yah, sebaiknya kau jangan berlebihan. Jadi ada apa memanggilku?"
"Aku butuh pekerjaan kantor."
"Oh... Kau lulusan tingkat tinggi, pastinya bisa diterima banyak kantor."
"Tapi bagaimana jika banyak kantor telah menolak aku karena kasus itu?"
"... Bagaimana dengan perusahaan Haku? Tuan Haku sendiri pemiliknya. Kau langsung bisa jadi asisten dengan surat kelulusanmu yang tinggi. Kau itu pintar dalam sekolah," kata rekannya itu. Lalu Ray berpikir diam-diam. Mungkin sebaiknya dia melamar pada Haku dan bersikap sopan padanya. Tapi sopan bukan berarti mengemis.
Hari selanjutnya, di kantor Haku, ia tengah membuat laporan di mejanya. Tampak serius mengerjakannya.
Tak lama kemudian, seorang wanita berpakaian asisten mendekat. "Tuan Haku, asisten yang terpilih sudah ada di sini," tambahnya.
"Suruh masuk saja," Haku membalas, lalu seorang pria masuk dengan sikap pertamanya. Rupanya itu adalah Ray. Dan Haku yang tengah menulis menjadi terkejut melihatnya.
"Huh? Bukankah kau yang..."
"Salam kenal... Aku Ray, asisten di sini. Mohon bantuannya," Ray menundukkan badan.
Lalu Haku berdiri dan mendekat. "Kau masih berani kemari setelah melakukan hal buruk pada adik iparku? Kau ini lelaki apa?" tatap Haku dengan lirikan tajam.
"Tuan Haku, izinkan aku menjadi asistenmu. Aku telah menebus kesalahanku dan mencoba menjadi baik mulai sekarang."
"… (Penjahat ini benar-benar sudah insaf. Kenapa begitu cepat?)" pikir Haku yang teringat sesuatu. Ia ingat saat bicara pada Hikari, dan Hikari mengatakan sesuatu padanya.
("Hikari, kenapa kau tidak memilih menuntun pria itu (Ray)?"
"Aku tidak akan melakukannya, karena aku tahu Mas Ray itu baik dan cepat menyesali perbuatannya.")
"(Sepertinya perkataan Hikari memang ada benarnya juga.) Kau terpilih menjadi asisten di perusahaanku ini. Itu artinya hebat, kan? Kau terlihat seperti sudah insaf juga. Lagipula aku tertarik dengan plot hidupmu," kata Haku yang menerima Ray karena yakin Ray sudah sepenuhnya berubah.
"Jadi, Tuan Haku... Mohon terima saya dengan sabar," Ray kembali menunduk.
"Jangan khawatir. Mulailah bekerja hari ini. Tapi, ngomong-ngomong, soal Kage dan Hikari... Jika mereka melihatmu, bagaimana? Mereka malah akan melirikku nantinya," tatap Haku.
"Aku akan beruntung jika bertemu mereka karena aku ingin minta maaf sepenuhnya," balas Ray.
"Oh baiklah... (Aku harap kau tidak akan berpura-pura soal ini, Ray.)" liriknya.