Chereads / Romantika Gadis Kontrak / Chapter 61 - Chapter 61 Tamu Baru

Chapter 61 - Chapter 61 Tamu Baru

"Akhirnya kalian menikah, ya..." kata Haku dengan nada santai, memecah keheningan di antara mereka. Ia duduk di sebuah kafe mewah yang dipenuhi suasana elegan dan aroma kopi premium yang khas. Sinar matahari sore yang lembut menembus kaca besar kafe itu, menerangi meja tempat mereka duduk. Di hadapannya, pasangan baru, Kage dan Hikari, duduk berdampingan.

Hikari tampak anggun dengan gaun sederhana berwarna pastel yang memancarkan kelembutannya. Ia tersenyum sopan, berusaha ramah, dan berbicara dengan nada lembut kepada Haku. Senyumnya membuat wajahnya semakin manis, sementara tangan mungilnya sibuk merapikan helai rambut yang tertiup angin dari ventilasi kafe.

Di sisi lain, Kage terlihat kontras. Ia mengenakan kemeja hitam yang terkesan formal namun dingin, dengan kedua lengannya bersandar di meja. Tatapannya datar, tidak tertarik dengan pembicaraan yang berlangsung. Ia hanya menatap kopinya yang mengepul, sesekali menyesap tanpa berkata apa pun. Sikapnya jelas menunjukkan ketidaksenangan atas keberadaan Haku, meski ia tidak mengatakan secara langsung.

"Setelah berbulan-bulan Kage sibuk, akhirnya dia bisa menikahimu. Tapi aku yakin dia akan kembali sibuk," lanjut Haku sambil menatap Kage. Senyum tipisnya menunjukkan bahwa ia sengaja melontarkan sindiran.

Hikari tersentak mendengar itu, alisnya terangkat sedikit, menunjukkan ekspresi kaget. "Ah, em... Begitu ya... Tapi bukankah Mas Kage sudah bilang akan menyelesaikan pekerjaannya dulu baru menikah?" tanyanya dengan nada ragu. Tatapannya beralih ke Kage, yang tampak tidak peduli dengan percakapan itu. Meski begitu, mata Hikari menunjukkan niat untuk memojokkan Kage agar memberikan penjelasan.

"Apa? Bukan salahku jika aku ingin menikah cepat juga," jawabnya singkat, seolah menolak terlibat dalam diskusi lebih jauh.

Haku tertawa kecil, menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan posisi santai. Ia menatap Hikari dengan tatapan yang penuh arti, seperti menyimpan rahasia yang sengaja ia ungkapkan. "Chichi sudah tidak sabar menantikan cucu. Jadi dia memaksa Kage untuk membangun pernikahan di sela-sela dia masih sibuk," katanya dengan nada menggoda, mempertegas kesan bahwa pernikahan ini terburu-buru bukan atas kehendak Kage semata.

Pernyataan itu membuat Kage berhenti menyesap kopinya. Ekspresi tenangnya seketika berubah. Ia terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang.

"Haiz... Benar-benar deh... Padahal baru kemarin menikah. Tapi Mas Kage tidak melakukan apa-apa malam tadi..." kata Hikari.

"Eh, apa? Kage tidak menyentuhmu?" tatap Haku langsung, membuat wajah Hikari memerah seketika.

Hikari menunduk malu, tangannya yang semula diletakkan di atas meja kini sibuk meremas rok yang ia kenakan. "Em, jika ditanya begitu, aku mungkin akan menjawab dia hanya menciumku beberapa kali di ranjang..." jawabnya pelan, suaranya nyaris seperti bisikan.

"Hei, Hikari..." sela Kage dengan nada tajam, menoleh ke arah nya. "Jangan seolah-olah dia bertanya pada dirimu yang polos," ujarnya dingin.

"Pft... Aku mengerti itu, Kage. Kau benar-benar tak berani melakukannya?" balas Haku sambil menatap Kage dengan senyum meremehkan. Sikapnya jelas memperlihatkan bahwa ia menikmati situasi ini.

"Aku melakukannya! Aku akan melakukannya saat aku menyukainya secara berlebihan. Aku tidak mau membawa hasrat yang terlalu dalam di sini. Jadi jangan bertanya apa-apa lagi!" kata Kage tegas, mencoba menghentikan percakapan yang semakin membuatnya tidak nyaman.

Haku tersenyum licik, tetapi memilih tidak membalas lagi. Sementara itu, Hikari hanya menunduk, menggigit bibir bawahnya dengan pipi yang memerah. Suasana di meja kembali hening, hanya diiringi suara pelayan kafe yang lewat dan dentingan halus cangkir-cangkir kopi di meja sekitar.

Sementara Hikari hanya terdiam berpikir. "(Kehidupan pernikahan memang yang aku inginkan, apalagi bersama dengan seseorang yang aku cintai... Dan dia juga mencintaiku. Aku sangat senang dengan sikapnya yang begitu baik dan sangat dewasa. Mas Kage bahkan tidak mau memaksaku untuk melakukan hubungan semalam. Aku hanya belum siap... Tapi malam ini, apakah aku harus melakukannya dengannya... Aku memang harus mempersiapkan diri. Jika tidak, Mas Kage akan kecewa padaku... Aku akan melakukannya dengannya nanti malam... Pasti...)" Hikari menatap penuh tekad.

Tapi Kage memanggil. "Hikari..." Tatapannya membuat Hikari menoleh.

"Maafkan aku jika kau kecewa... Apa aku termasuk tidak berani jika tidak mengajakmu berhubungan?" tanya Kage dengan khawatir.

"Eh, kenapa? Apa Mas Kage takut sesuatu?"

Seketika Haku membalas. "Dia tidak ingin kejadiannya berlangsung cepat," kata Haku.

Seketika Kage menatap tajam, tapi Hikari terdiam bingung. "Apa maksudnya? Jadi Mas Kage takut bayi akan datang secara cepat?"

"Ya..." Haku mengangguk dengan lembut, membuat Kage semakin menyimpan dendam padanya.

"Tapi, setahuku, setelah berhubungan, bayi tidak akan langsung terbentuk. Bayi membutuhkan waktu... Benar kan, Mas Kage?" tanya Hikari dengan polos, membuat Kage menghela napas panjang. "(Bukan itu alasannya...)

---

Malam harinya, suasana di rumah mereka terasa jauh lebih tenang. Lampu redup di ruang tengah memberikan suasana hangat, ditemani suara lembut kipas angin yang berputar pelan di langit-langit. Hikari duduk di sofa dengan gaun tidur sutra berwarna pastel, rambut panjangnya tergerai rapi, meski ada sedikit tanda-tanda kelelahan di wajahnya. Ia menggenggam secangkir teh hangat di tangannya, sesekali menyeruputnya dengan perlahan.

Kage duduk di sampingnya, mengenakan piyama sederhana. Ia tampak sibuk membaca sesuatu di ponselnya, meski matanya sesekali melirik ke arah Hikari. Namun, sikapnya tetap tenang dan dingin seperti biasa, seolah menunggu sesuatu terjadi.

Hikari akhirnya memecah keheningan dengan suara pelan. "Mas Kage, apakah kamu benar-benar tidak mau melakukannya?" tanyanya tiba-tiba, suaranya terdengar lembut tetapi ada rasa ragu yang jelas di dalamnya. Ia menoleh, menatap Kage dengan mata yang penuh harapan.

Kage berhenti membaca ponselnya, lalu menoleh perlahan. Tatapan tajamnya membuat Hikari sedikit tersentak. Tetapi kali ini, bukan hanya tatapan biasa; ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang sulit ditebak. Setelah beberapa detik, Kage menghela napas panjang, mengalihkan pandangannya ke lantai. "Aku ingin!" jawabnya tiba-tiba, suaranya terdengar tegas, membuat Hikari terkejut.

Tanpa disangka, Kage mendekat, mencengkeram bahu Hikari dengan kuat, tetapi tidak menyakitinya. Hikari membeku di tempatnya, wajahnya berubah merah padam saat merasakan genggaman suaminya yang begitu kuat. "Tapi aku takut menyakitimu..." lanjut Kage dengan suara rendah, kali ini ada nada kecewa di dalamnya.

Hikari menelan ludah, menenangkan diri dari rasa gugupnya. "A-aku... Aku bisa mengendalikanmu... Ini baik-baik saja... kan?" jawabnya dengan suara lirih, sambil mengulurkan tangan, menyentuh pipi Kage. Sentuhan itu lembut, tetapi cukup untuk membuat Kage menunduk sedikit.

Tatapan mereka bertemu, dan tanpa sadar, jarak di antara mereka semakin dekat. Kage perlahan mencondongkan tubuhnya, sementara Hikari menutup matanya. Dalam sekejap, bibir mereka bertemu dalam ciuman lembut yang perlahan berubah menjadi penuh gairah, seolah semua keraguan yang ada sebelumnya menghilang begitu saja.

Keesokan harinya, sinar matahari pagi yang hangat menerobos jendela kamar, menyelimuti ruangan dengan cahaya lembut. Tirai tipis berwarna krem bergerak perlahan ditiup angin dari celah jendela yang sedikit terbuka. Di ranjang besar dengan sprei berwarna putih, Hikari dan Kage terlihat tertidur bersama.

Hikari, yang terbaring di sisi ranjang, mulai terbangun. Matanya perlahan terbuka, masih terlihat lelah setelah malam yang sangat panjang. Ia mengucek matanya dengan jari-jari mungilnya, mencoba mengusir rasa kantuk. Tubuhnya terasa kaku, seperti tidak ingin diajak bangkit. Namun, saat ia menggeliat kecil dan merasakan kulitnya bersentuhan langsung dengan udara pagi, ia terkejut.

"Hah! Semalam!!" serunya pelan. Wajahnya memerah seketika, jantungnya berdebar kencang saat ia menyadari dirinya tidak mengenakan apa pun. Pikirannya langsung melayang ke kejadian malam sebelumnya.

Hikari mencoba duduk, tetapi rasa nyeri di punggungnya membuatnya mengerutkan dahi. "Astaga, berapa lama Mas Kage melakukannya..." pikirnya, kedua tangannya memegangi punggungnya yang terasa pegal. "(Malam tadi benar-benar malam yang sangat panjang...)" batinnya, wajahnya menunjukkan campuran rasa malu dan panik.

Ia mencoba bangkit, tetapi kakinya terasa lemas seperti tidak memiliki tenaga. Ketika mencoba melangkah, tubuhnya kehilangan keseimbangan dan ia jatuh dari ranjang. "Akh!" serunya. Tubuhnya mendarat dengan suara keras di lantai kayu yang dingin.

Kage, yang sebelumnya masih tertidur lelap, langsung terbangun mendengar suara itu. Matanya yang masih setengah terbuka segera menyapu sekitar ranjang. Ia meraba sisi ranjang, tetapi tidak menemukan Hikari di sana. "Hikari?" panggilnya dengan suara parau, mencoba mencari keberadaan istrinya.

Pandangan Kage terhenti pada sprei di sisi ranjang yang terlihat ada bercak merah. Matanya menyipit, ekspresinya berubah serius. "Ini... Keperawanannya?" gumamnya pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri.

Tidak jauh dari sana, Hikari terlihat berusaha duduk di lantai, tubuhnya terbungkus selimut yang ia tarik dari ranjang. Wajahnya terlihat malu dan bingung. Ia memeluk selimut erat-erat untuk menutupi tubuhnya yang telanjang. "Aku... Aku..." katanya gugup, suaranya terdengar gemetar. Ia tidak tahu harus mengatakan apa.

Namun, sebelum Kage sempat bertanya lebih lanjut, Hikari tiba-tiba merasakan sesuatu yang aneh. "(Apa yang terjadi... Perutku...)" pikirnya sambil memegang perutnya yang mulai terasa tidak nyaman. Tangan satunya buru-buru menutup mulutnya.

"Hikari?" tanya Kage lagi, kini dengan nada lebih khawatir. Ia bangkit dari ranjang dan berjalan menghampiri Hikari.

Hikari tiba-tiba berdiri dengan tergesa-gesa, wajahnya pucat. Tanpa mengatakan apa pun, ia langsung berlari ke kamar mandi yang berada di sisi kamar. "Hikari!" panggil Kage sambil mengejarnya.

Di kamar mandi, Hikari bersandar di wastafel, tubuhnya terlihat lemah. "Huk... Gough... Ugh..." Suara mual terdengar jelas, membuat Kage semakin khawatir. Ia segera meraih tubuh Hikari yang hampir jatuh.

"Hikari! Kau baik-baik saja?" tanya Kage sambil menopang tubuhnya. Tangannya yang kuat memegang bahu Hikari dengan hati-hati, berusaha menenangkan istrinya.

"Entahlah... Aku merasa pusing. Sebelumnya tidak seperti ini," jawab Hikari lemas, tangannya memegang perutnya dengan ekspresi bingung.

Melihat wajah Hikari yang semakin pucat, Kage memutuskan tidak ingin mengambil risiko. Tanpa ragu, ia menggendong Hikari dalam pelukannya. "Kita ke rumah sakit sekarang," katanya tegas.

Hikari terkejut, wajahnya memerah. "Mas Kage, sungguh! Aku baik-baik saja. Mungkin hanya masuk angin," ujarnya mencoba menenangkan suaminya, meski suaranya terdengar lemah.

"Sejak kapan kau mual di pagi hari? Kau bahkan tidak sadar apa yang ada di dalam perutmu," balas Kage serius, tatapannya tajam. Pernyataannya membuat Hikari terdiam, tidak bisa membalas.