Beberapa saat kemudian, mereka tiba di rumah sakit. Suasana ruang periksa terasa steril, dengan aroma antiseptik yang khas. Dokter wanita berusia sekitar 40-an dengan wajah ramah duduk di hadapan mereka, membaca hasil pemeriksaan dengan teliti.
"Selamat... Kamu mengandung..." kata dokter itu sambil tersenyum hangat, menatap Hikari dengan penuh kebahagiaan.
Kata-kata itu seperti bom yang meledak di kepala mereka. Hikari menatap dokter dengan mata membelalak, tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. "Bayi?!" serunya, tangannya spontan memegang perutnya yang masih rata, seolah ingin memastikan kebenaran kabar itu.
Kage, di sisi lain, terdiam sejenak, mencoba mencerna apa yang terjadi. Setelah beberapa detik, ia akhirnya membuka mulut. "Tapi kami baru melakukannya sekali tadi malam. Kenapa langsung bereaksi?" tanyanya dengan nada skeptis, alisnya sedikit mengerut.
Dokter tertawa kecil mendengar pertanyaan itu. "Ah, sperma seorang pria seperti Anda sangat kuat. Ini wajar saja. Bayi itu pasti akan tumbuh dengan baik," jelasnya dengan nada profesional, mencoba menenangkan kekhawatiran Kage.
Hikari yang masih memegang perutnya akhirnya tersenyum lega. "Meskipun terdengar tidak masuk akal, tapi ini memang terjadi," katanya dengan suara lirih, matanya berbinar penuh kebahagiaan.
Kage menatap Hikari dengan lembut, perasaan campur aduk terlihat di wajahnya. Ia mendekat, meraih tangan Hikari, lalu mencium pipinya. "Terima kasih, Hikari," ucapnya pelan, tetapi penuh makna.
Hikari tersenyum malu. "Haruskah kita memberitahu Chichi dan yang lainnya?" tanyanya dengan nada ragu.
"Sebaiknya, biarkan menjadi kejutan," jawab Kage sambil tersenyum tipis, menunjukkan bahwa ia juga merasakan kegembiraan yang sama.
---
Di rumah, suasana berubah menjadi lebih tenang, tetapi kesibukan Kage tampak kembali muncul. Ia duduk di ruang tamu dengan ponsel di tangannya, terlihat serius membaca pesan-pesan yang masuk.
Hikari, yang sedang bersantai di sofa sambil memegangi perutnya, menatap Kage dengan raut wajah khawatir. "Mas Kage, apa kau akan sibuk lagi?" tanyanya dengan nada pelan.
Kage menatap Hikari sejenak sebelum menjawab. "Ya, aku... Aku harus pergi. Chen bilang aku harus ke luar kota. Tapi jika tidak jadi, aku akan pulang besok," katanya sambil mendekat. Ia duduk di samping Hikari, meraih tangannya, lalu mencium keningnya dengan lembut. "Kau bisa menjaga dirimu?"
Hikari tersenyum tipis, meski ada sedikit rasa sedih di matanya. "Ya... Aku bisa. Hati-hati, ya," katanya dengan suara lembut.
"Ya..." Kage membelai perut Hikari dengan perlahan, seolah ingin memastikan bayi mereka baik-baik saja. Setelah itu, ia bangkit dan meninggalkan rumah dengan langkah mantap. Suara pintu yang tertutup pelan mengiringi kepergiannya, meninggalkan Hikari yang kini termenung sendirian di ruang tamu.
Berikut adalah pengembangan deskripsi cerita dengan tetap mempertahankan alur dan dialognya:
---
Setelah itu, Hikari memegang perutnya lagi dengan perasaan campur aduk. Rasanya tak percaya, ada kehidupan baru yang tumbuh di sana. "Hm... Aku tidak percaya ada bayi di sini. Perutku saja masih tipis..." gumamnya sambil mengelus perutnya perlahan. Wajahnya tampak memancarkan kebahagiaan bercampur rasa penasaran, seolah membayangkan perubahan besar yang akan datang. "Hm... Apakah nantinya perutku akan besar?" gumamnya lagi dengan senyuman kecil, seakan berbicara langsung pada bayi yang sedang dikandungnya.
Rumah besar itu terasa sangat sepi hari ini. Hikari sendirian. Meskipun mansion Kage selalu megah dan nyaman, keheningannya membuat Hikari merasa bosan. Ia memandangi jendela, di mana cahaya matahari memantul di kaca, memperlihatkan pemandangan indah kota di kejauhan. Pandangan itu membuat pikirannya melayang. *"Aku ingin jalan-jalan..."* pikirnya sambil menatap keluar jendela dengan penuh harap.
Akhirnya, dia memutuskan untuk keluar dari mansion Kage yang besar dan penuh penjagaan ketat. Suara langkah kakinya menggema di lorong-lorong luas sebelum ia mencapai pintu utama. Namun, baru saja keluar, seorang penjaga yang berdiri di depan langsung menghentikan langkahnya.
"Nona, ke mana Anda akan pergi? Jika Anda ingin membeli sesuatu, berikan perintahnya pada kami," tanya penjaga itu dengan nada sopan namun tegas.
Hikari menoleh dengan sedikit canggung. "Ah... Tidak, aku hanya ingin jalan-jalan sebentar di kota," jawabnya sambil tersenyum kecil, mencoba terlihat santai.
Namun, penjaga itu tetap waspada. "Biarkan kami menemani. Di luar bisa saja ada bahaya," ujarnya dengan nada penuh kekhawatiran.
Hikari menggeleng pelan. "Ah, tidak perlu. Aku hanya sebentar kok," katanya sambil berjalan melewati penjaga itu. Langkahnya ringan, tapi terasa ada tatapan khawatir yang mengawalnya dari belakang.
"Yakin?" gumam penjaga itu, hampir tak terdengar.
Hikari berjalan keluar dengan wajah cerah. Udara segar dan hangatnya sinar matahari pagi menyambutnya. Dia tampak terus memasang wajah bahagia. Langkah-langkahnya ringan, hampir seperti menari kecil di atas jalan berbatu. Tangannya sesekali mengelus perutnya, seolah berbicara dengan bayi yang belum lahir. "(Aku tidak menyangka akan ada hal yang datang secepat ini...)" pikirnya sambil tersenyum.
Saat melewati sebuah jembatan besar, Hikari tiba-tiba terdiam. Jembatan itu terbentang kokoh di atas danau yang dalam dan tenang. Permukaan air memantulkan bayangan langit biru dengan awan yang berarak pelan. Pemandangan itu indah, tapi menyentuh sebuah kenangan dalam dirinya. Hikari memandang jauh ke bawah, ke permukaan air yang memantulkan cahaya matahari. Ada sesuatu yang menarik pikirannya kembali ke masa lalu. Wajah seseorang muncul dalam benaknya. "Ini sudah beberapa bulan lamanya..." gumamnya pelan, nyaris seperti bisikan. Perasaan rindu yang bercampur dengan kegelisahan menghampiri hatinya. Dia memikirkan Nian, seseorang yang pernah sangat berarti dalam hidupnya.
Namun, di tengah lamunannya, suara nyaring memecah keheningan. "Ibu!!!"
Teriakan anak kecil itu membuat Hikari tersentak dan menoleh cepat. Dari kejauhan, seorang anak lelaki kecil berlari ke arahnya dengan langkah-langkah cepat yang penuh semangat. Angin meniup rambut anak itu, menambah kesan lincah dan ceria pada dirinya. Hikari berdiri membeku, tidak tahu apa yang sedang terjadi. Dalam hitungan detik, anak kecil itu sampai di hadapannya dan langsung memeluk erat kakinya.
"Heh, tunggu... siapa?!" Hikari bertanya dengan nada bingung, namun tubuhnya tetap diam di tempat. Dia menatap ke bawah, ke arah wajah anak itu yang perlahan menengadah untuk menatapnya.
Mata Hikari membelalak lebar. Nafasnya hampir tertahan. "Nian?!?!" Seruannya penuh kejutan dan emosi.
Nian berdiri di hadapannya, mengenakan pakaian yang tampak rapi dan bersih—celana hitam kecil serta kemeja putih mungil yang terlihat mahal. Penampilannya seperti seorang anak kecil yang terbiasa berada di tengah lingkungan orang-orang penting. Namun, kali ini, dia berlari penuh emosi dan langsung memeluk Hikari.
"Ibu... hiks.... Huhuhuhu... ibu..." Suara Nian terdengar bergetar. Dia menangis, memeluk erat Hikari seakan takut kehilangan lagi.
Hikari perlahan berlutut, menyesuaikan tingginya dengan Nian. Ia tersenyum lembut, meski matanya berkaca-kaca. Tangannya mengusap kepala anak itu dengan kasih sayang. "Nian... Kau sudah besar ya," ujarnya pelan, penuh kehangatan.
Namun, Nian malah semakin merengek dan memeluk Hikari lebih erat. Air matanya membasahi bahu Hikari, mengungkapkan kerinduannya yang mendalam.
Tiba-tiba, suara keras terdengar di kejauhan. "Tuan muda!!"
Hikari mendongak, terkejut. Beberapa pria dengan penampilan seperti penjaga profesional mendekat dengan langkah cepat. Penampilan mereka mencolok—jas hitam rapi dengan aura yang tegas, tapi ada kesan seperti blasteran yakuza dalam sikap mereka. Hikari segera memeluk Nian erat, melindunginya dengan tubuhnya.
"Tuan muda, mari kembali," salah satu dari mereka berbicara, suaranya tenang namun penuh otoritas.
Hikari menatap mereka dengan bingung. Kata-kata mereka membuatnya terkejut. "Tuan muda?" gumamnya.
Namun, Nian tidak mau menurut. "Aku tidak mau!!!" teriaknya, suaranya memantul di sekitar jembatan. "Ini ibuku!! Aku ingin bersama ibu!!!" serunya dengan penuh semangat, tanpa ragu.
Hikari hanya bisa memandang, bingung sekaligus tersentuh oleh panggilan itu. Tangannya tak sadar mengelus kepala Nian untuk menenangkannya, meskipun hatinya bergejolak.
Mereka yang mendengar teriakan Nian menjadi terdiam. Ada keheningan canggung yang terasa berat di udara. Pandangan mereka saling bertemu, seolah berusaha mencari cara untuk menangani situasi ini. Mereka mencoba membujuk dengan cara yang kaku dan tampak tidak terbiasa menghadapi anak kecil. Salah seorang dari mereka, seorang pria berperawakan tinggi dengan wajah tegas, mencoba berbicara dengan nada yang dibuat lembut.
"Tuan muda, ibumu ada di rumah. Dia menunggumu," katanya, meskipun jelas bahwa kata-katanya tidak sepenuh hati.
Namun, Nian tetap bersikeras. Suaranya meninggi, dipenuhi dengan emosi yang menggebu. "Tidak!!" teriaknya sambil memeluk Hikari lebih erat, seolah takut ia akan direbut. Matanya mulai memerah, air mata mengalir di pipinya. "Dia bukan ibuku!! Semua bukan ibuku!!! Aku hanya ingin bersama ibu!!!" Teriakan itu menggema di sekeliling mereka, memecah ketegangan dan membuat suasana semakin tidak nyaman.
Mereka menoleh ke arah Hikari. Tatapan tajam dan penuh penilaian terarah padanya, seolah-olah dia adalah penyebab kekacauan ini. Salah satu dari mereka maju selangkah, menundukkan sedikit kepalanya dengan sikap setengah sopan, namun jelas meminta Hikari untuk menyerah. "Nona, kami mohon bantuanmu untuk pergi dan biarkan dia kami bawa pulang..." katanya dengan nada mendesak.
Hikari tampak bingung. Perasaannya bercampur aduk antara ingin menjelaskan kebenaran dan takut memperkeruh keadaan. "Tapi..." Hikari mulai berbicara, suaranya pelan dan ragu. Ia ingin mengatakan bahwa yang dikatakan Nian benar—bahwa dia memang pernah merawat anak ini. Namun, sebelum kata-katanya selesai, suara berat dan penuh otoritas memotong pembicaraannya.
"Singkirkan saja dia."
Suara itu membuat semua orang menoleh. Dari tengah-tengah kerumunan yakuza, seorang pria melangkah maju. Langkahnya pelan tapi penuh keyakinan, setiap gerakannya mencerminkan dominasi dan kuasa. Pria itu, Akamura, tampak seperti pemimpin dari kelompok ini. Pakaiannya rapi, namun ada aura gelap yang melingkupinya—sikap dingin dan tajam layaknya seorang ketua yakuza yang disegani.
Mereka yang berada di sekitarnya langsung memberi jalan, menunjukkan rasa hormat. Hikari, yang sebelumnya tidak tahu apa-apa tentang pria ini, hanya bisa menatapnya dengan perasaan waspada dan bingung. Dia tidak mengenalnya, tapi ada sesuatu yang familiar dalam caranya menatap Hikari dan Nian.
"(Siapa dia.... Kenapa bisa muncul begitu saja dan situasi apa ini sebenarnya.... Apa yang harus kulakukan, aku tak mau masalah...)" pikir Hikari dengan khawatir. Sekarang dia benar benar akan mengalami sesuatu bersama Akamura.