"(Setelah itu, aku dibawa olehnya ke rumahnya yang dulu. Rumah besar yang berdiri megah di pinggir kota. Bangunan itu tampak elegan, dengan dinding putih bersih dan taman yang luas, dihiasi pepohonan rindang serta bunga-bunga yang bermekaran. Tempat ini adalah saksi bisu kebahagiaan kami dulu, sebelum segalanya berubah karena Lily... Karena kondisiku, aku membutuhkan banyak waktu untuk segera sembuh. Semua ini terasa seperti perjalanan panjang yang melelahkan...)" pikir Hikari yang duduk di sofa empuk berwarna abu-abu muda. Pandangannya tertuju pada layar televisi yang menyala, meski pikirannya mengembara jauh.
Suara langkah kaki Kage yang mendekat membuatnya tersadar. Pria itu duduk di sampingnya, melepaskan embusan napas panjang seolah mengusir lelah dari tubuhnya.
"Kamu sudah memindahkan barang?" tanya Hikari, memutar pandangannya ke arah Kage. Matanya sedikit berkilau, mencerminkan rasa terima kasih yang tulus.
"Yeah, sudah," jawab Kage singkat, suaranya tetap tenang dan lembut.
"Terima kasih... Maaf merepotkanmu, Mas Kage. Barang-barang yang kupakai di rumah sakit pasti sangat banyak..." ucap Hikari sambil menundukkan kepala. Wajahnya memerah malu karena merasa merepotkan.
"Tidak apa-apa," balas Kage dengan senyum kecil yang penuh ketulusan. Ia mengulurkan tangan untuk membelai kepala Hikari, membuat gadis itu merasa lebih nyaman dan tenang.
Hikari menunduk lagi, berpikir dalam hati. "(Aku senang bisa ada di dekatnya,)" Kemudian, ia mengangkat wajahnya dan tersenyum kecil sebelum melanjutkan, "Oh iya, ngomong-ngomong, ketika aku masuk ke rumah ini lagi... Rasanya aku ingat saat aku membawakan bunga itu, yang layu di depanmu. Itu seperti sebuah tanda yang aneh," katanya, mencoba menghidupkan suasana dengan nostalgia.
Kage terdiam, matanya sedikit memburam seolah mengingat memori lama. Adegan itu kembali terputar di kepalanya—saat Hikari meninggalkan rumah, meninggalkan bunga yang layu. Semua itu terjadi karena Lily, yang datang mengacaukan hubungan mereka. Luka itu masih terasa, meski kini ia lebih memilih untuk menatap masa depan.
"Maaf, Hikari. Aku akan mencarikan rumah baru. Rumah yang membuatmu tenang, tanpa mengingat masa lalu," kata Kage akhirnya, suaranya terdengar tulus dan penuh harap.
Hikari tersenyum kecil mendengar itu, mencoba menenangkan hati Kage. "Hehe, apa yang Mas Kage katakan? Masa laluku di sini sebagian juga sangat menyenangkan," balasnya dengan nada lembut.
Wajah Kage melunak, dan ia kembali mengingat saat-saat pertama kali Hikari datang ke rumah ini. Kenangan itu terasa hangat—hari-hari penuh tawa dan canda yang ingin ia ulangi lagi. "Ya, aku ingin itu terulang kembali," ujarnya dengan nada penuh keyakinan.
"Kita bisa mengulanginya lagi, Mas Kage. Aku akan selalu cinta padamu," jawab Hikari sambil menatap pria itu dengan senyum yang tulus.
"Ya, aku juga," jawab Kage, senyumnya merekah. Hatinya terasa hangat saat menatap Hikari, gadis yang telah melalui begitu banyak hal bersamanya.
Namun, kebahagiaan itu terusik saat ponsel Kage berbunyi tiba-tiba. Suara itu memecah keheningan, membuat ekspresi Kage berubah. Ia menatap layar ponsel dengan raut wajah yang sedikit kesal.
Hikari yang memperhatikan perubahan itu langsung terdiam, khawatir. "Mas Kage... apakah itu pekerjaan?" tanyanya hati-hati.
"Iya, tapi aku tak bisa meninggalkanmu sendirian..." Kage menatap Hikari, suaranya terdengar penuh kebimbangan.
Hikari tersenyum tipis, mencoba memberi keyakinan. "Tidak apa-apa, aku bisa menjaga diriku. Aku bahkan sudah mulai bisa berdiri perlahan," ujarnya, meski dalam hatinya ia merasa tak ingin ditinggal.
Kage menatapnya dalam, mencoba memastikan. "Baiklah, sampai jumpa," katanya akhirnya. Ia mendekat, mengecup kening Hikari dengan lembut, lalu mengecup bibirnya singkat sebelum berdiri dan melangkah pergi.
Sementara itu, di kantor, Kage tampak sibuk menyelesaikan pekerjaannya. Ruangan itu besar dan rapi, dengan meja kerja kayu mahoni yang dihiasi beberapa dokumen dan komputer. Chen, asistennya, masuk dengan membawa sebuah file.
"Kage..." panggil Chen, membuat Kage mengalihkan pandangannya.
"Ada apa?" tanya Kage.
"Kulihat ada beberapa jadwal penerbangan yang harus kau lakukan. Mungkin akan memakan banyak waktu..." kata Chen sambil menyerahkan file itu.
Kage mengernyit, menatap file itu dengan tidak senang. "Apa maksudmu? Jika aku terus melakukannya, kapan aku akan menikahi Hikari?" jawabnya dengan nada kesal.
"Eh... mungkin di sela-sela kau pergi?" saran Chen, sedikit gugup.
Kage menghela napas panjang, jelas merasa frustrasi. "Baiklah. Atur itu, tapi jangan terlalu cepat. Hikari masih butuh waktu untuk beradaptasi sebelum menikah," katanya, suaranya lebih tenang.
"Baik, akan ku laksanakan," balas Chen dengan semangat, sebelum bergegas pergi.
Malam harinya, Kage kembali ke rumah. Udara dingin malam itu seakan menyambutnya di depan pintu rumah besar itu. Ia melangkah masuk, melepaskan jasnya, lalu berjalan menuju dapur.
Hikari sudah menunggu di sana, duduk di meja makan dengan makanan yang telah tersaji rapi. Aroma harum masakan memenuhi ruangan, memberikan kesan hangat dan nyaman.
"Selamat datang, calon suamiku," sapa Hikari dengan nada lembut. Matanya berbinar, senyum manis terlukis di wajahnya.
Kage tersenyum kecil, melepaskan dasinya, lalu duduk di hadapan Hikari. "Kau memanggilku apa tadi? Kupikir kau akan memanggilku darling~" godanya dengan nada bercanda.
"Haha, aku akan melakukannya kalau aku sudah terbiasa," jawab Hikari sambil tertawa kecil, suaranya terdengar seperti musik di telinga Kage.
"Kau memasak semua ini sendiri, Hikari? Bukankah kondisimu masih belum pulih? Kau bahkan memasak dengan kaki yang sakit," tanya Kage, matanya memandang makanan di meja dengan kagum.
"Iya, aku membuatnya dengan cinta. Jangan khawatir, aku sudah baik-baik saja," jawab Hikari.
"Kau benar-benar gadis yang keras kepala. Tapi kau yakin? Bagaimana jika kakimu sakit?" Kage terlihat khawatir, nada suaranya sedikit menegur.
"Tenanglah... Aku sudah baik-baik saja. Tapi mungkin akan terasa sakit kalau berlari atau berdiri terlalu lama," ujar Hikari, mencoba meyakinkannya.
"Lalu, bagaimana kau memasak kalau begitu?" tanya Kage.
"Um... Aku melakukannya pelan-pelan. Saat merasa lama, aku duduk sebentar, lalu berdiri lagi," jawab Hikari dengan senyum kecil.
Kage menatapnya dalam, lalu tersenyum kecil. "Hikari, kau benar-benar gadis yang baik. Aku tahu kau bekerja keras. Aku harus membalasnya," ujar Kage sambil mengambil sumpit dan menyuapkan telur ke mulut Hikari.
"Eh? Apa maksud Mas Kage?" tanya Hikari bingung, wajahnya memerah karena malu.
Kage hanya tersenyum tulus, membuat Hikari merasa nyaman.
Dua hari selanjutnya, Kage terbangun dengan perlahan dari tidurnya, merasakan sensasi hangat yang menyelimuti tubuhnya. Ia membuka mata, disambut oleh cahaya matahari pagi yang masuk melalui jendela kamar, menciptakan bayangan lembut di dinding. Ia merasa ada sesuatu yang aneh di tubuhnya. Setelah beberapa saat, ia sadar bahwa tangannya memeluk tubuh seseorang. Lalu, ia menoleh dan melihat Hikari tertidur di sampingnya, menghadap ke samping dengan wajah damai. Hikari tampak begitu tenang, seolah-olah dunia luar tak ada artinya bagi mereka saat ini.
Kage tersenyum lembut, merasakan kehangatan yang begitu berbeda dari apa yang ia alami sebelumnya. Ada sesuatu yang membuatnya merasa utuh, sesuatu yang selama ini ia cari tanpa ia sadari. Ia memeluk Hikari lebih erat, merasakan degup jantungnya yang tenang, seakan dunia hanya milik mereka berdua. "(Semenjak kau pergi... Sebelum aku bertemu denganmu, aku tak pernah merasakan hal ini. Setiap hari tidur dan bangun sendiri, tidak pernah sarapan, dan tidak pernah makan malam. Hanya ada pekerjaan yang selalu menyelimuti lelahku. Ketika aku belum mengenalmu, semuanya terasa hampa. Namun, setelah mengenalmu dan kau meninggalkanku, rasanya bukan pekerjaan yang melelahkan, melainkan jarak darimu yang selalu terasa berat. Tapi sekarang, aku percaya kau akan selalu ada di sisiku. Tidur dan bangun bersama dalam pelukan hangat, sarapan dan makan malam penuh cinta darimu. Hanya kau yang menemani lelahku.)" pikir Kage dalam hatinya, suaranya hampir tak terdengar oleh dirinya sendiri, namun terasa dalam.
Tiba-tiba, Hikari bergerak sedikit dan perlahan membuka matanya. Ia mengerjap-ngerjap, kebingungannya terlihat sejenak, sebelum akhirnya ia tersenyum tipis. "Uhm... Mas Kage... Kau sudah bangun." Ia mengangkat sedikit kepalanya dan menatap Kage dengan mata yang masih berat, tapi penuh kehangatan.
"Selamat pagi, Hikari. Bagaimana dengan tidurmu?" tanya Kage, suaranya lembut namun penuh perhatian. Ia melihat Hikari dengan penuh kasih sayang, seakan segala sesuatu di dunia ini tidak ada artinya selain dirinya.
"Aku sangat nyenyak, dan aku yakin Mas Kage juga begitu," balas Hikari dengan senyum malu-malu. Keduanya saling bertukar pandang, senyuman yang penuh kebahagiaan tanpa kata-kata lebih lanjut. Lalu, mereka tertawa bersama, suara tawa itu menyatu dengan kebahagiaan yang mereka rasakan saat itu.
"(Mas Kage terlihat sangat lembut sekarang. Akhirnya aku bisa memberinya cahaya dariku. Mas Kage bukan lagi pria gelap yang mengerikan. Dia sekarang seorang pria yang baik dan nyaman,)" batin Hikari, sambil memegang pipi Kage dengan lembut. Sentuhan itu begitu natural, seolah sudah menjadi bagian dari dirinya yang tak terpisahkan.
Hikari kemudian menatap Kage dengan penuh cinta, wajahnya bersinar meski tampak malu. Ia menggerakkan bibirnya perlahan, membentuk kalimat yang hanya bisa dipahami oleh Kage. "Aku cinta padamu." Kata-kata itu keluar begitu tulus, mengalir dengan begitu alami dari hati yang sudah lama diselimuti perasaan ini.
"Yah, aku juga," balas Kage dengan senyum hangat, memegang tangan Hikari dan mencium tangan itu dengan lembut. Sentuhan itu terasa seperti sebuah janji, janji bahwa mereka akan terus bersama, melalui segala rintangan yang akan datang.
Beberapa minggu setelah mereka benar-benar bersama, kehidupan mereka tampak berubah secara perlahan namun pasti. Chichi dan Haku, yang sebelumnya cenderung keras dan dingin, kini mulai menyambut Hikari dengan hangat. Keakraban yang terbentuk di antara mereka semakin mempererat hubungan, dan sikap kasar yang dulu ada perlahan menghilang. Semua perubahan itu terasa sangat berarti bagi Hikari, yang sebelumnya merasa ragu, namun kini merasa diterima sepenuhnya.
Termasuk saat ini, ketika Hikari membawa tas bekal makan siang untuk Kage yang sedang sibuk bekerja di kantornya. Ia merasa senang bisa melakukan sesuatu untuk Kage, sesuatu yang sederhana namun penuh makna.
"(Aku tak sabar memberikan makan siang pertama yang aku antar untuk Mas Kage, hehe...)" pikir Hikari dengan senyum ceria, hatinya berbunga-bunga. Ia merasa hidupnya kini lebih penuh, lebih berarti, dan lebih cerah sejak berada di sisi Kage.
Lalu, tanpa diduga, ia bertemu dengan Chichi di lorong kantor. Chichi menatapnya dengan senyum yang lebih lembut dari biasanya, membuat Hikari merasa sedikit canggung.
"Hikari," panggil Chichi dengan suara yang agak keras, namun ada kehangatan dalam nada suaranya.
"Ah, Chichi, selamat siang," balas Hikari, sedikit terkejut namun tetap menjawab dengan ramah. Senyumnya lebar, meski ada rasa gugup dalam hati.