Percakapan antara Hikari dan Deana pun terus berlanjut, meski suasana di antara mereka terasa sedikit janggal.
"Kenapa Hikari ada di sini?" tanya Deana, tampaknya penasaran. Nada suaranya terdengar ramah, namun sorot matanya memancarkan rasa ingin tahu yang lebih mendalam, seolah sedang mencoba mencari tahu sesuatu yang lebih dari sekadar jawaban sederhana.
Hikari mengangkat bahu dengan ekspresi sedikit gugup. "Ah, um... ceritanya panjang. Nian tak sengaja memanggilku 'Ibu' di depan Tuan Akamura, jadi dia bilang aku harus menjadi ibu untuk Nian sementara..." kata Hikari dengan ragu. Ia menatap ke arah lantai, mencoba menyusun kata-kata, seolah takut membuat kesalahan dalam menjelaskan situasi yang terasa rumit dan tidak biasa.
"Apa?!?!" Deana terkejut, hampir tidak bisa menyembunyikan ekspresinya. Matanya terbuka lebar, bibirnya sedikit gemetar, dan nada suaranya meningkat beberapa oktaf. Ekspresi wajahnya menunjukkan bahwa apa yang baru saja didengarnya adalah sesuatu yang sama sekali tidak ia duga.
"Eh, kenapa terkejut?" Hikari menatap bingung pada Deana, yang tiba-tiba tampak begitu gelisah. Pandangan Hikari sedikit melembut, namun ia mulai merasa ada sesuatu yang aneh dalam reaksi Deana. Meski ia tidak ingin terlalu banyak berprasangka, nalurinya mengatakan ada sesuatu yang disembunyikan oleh wanita itu.
Deana segera menggelengkan kepala, berusaha menyembunyikan emosinya. "Ah, tak apa, tak apa... Em... Aku di sini sebagai pengajar Nian. Aku selalu bekerja keras untuk menjalin hubungan akrab dengan Nian..." katanya, tersenyum dengan paksa. Senyum itu terlihat rapuh, seolah sedang menutupi sesuatu yang besar.
"Wah, itu hebat sekali. Aku benar-benar salut padamu..." Hikari menanggapi dengan tulus. Namun, dalam hatinya, ia mulai merasakan sesuatu yang ganjil. Meskipun ia berusaha tetap tenang dan bersikap ramah, pikiran-pikirannya dipenuhi dengan rasa penasaran.
Di dalam hati Deana, berbagai perasaan yang lebih gelap berkecamuk. "(Sialan... Sialan... Kenapa ini harus terjadi? Dulu aku mencoba merayu Tuan Kage dari gadis ini. Karena aku gagal merayunya, aku mencoba mencari perhatian Tuan Akamura yang sama berkuasanya. Aku rela mengajar seorang lelaki kecil yang sangat menjengkelkan demi bertemu dan mencari perhatian Tuan Akamura. Kupikir rencanaku sudah sempurna, tapi siapa yang menyangka gadis ini datang lagi dan hampir menghancurkan rencanaku untuk merayu Tuan Akamura? Sialan sekali...)" pikir Deana dalam hati. Tangannya mengepal erat di balik punggungnya, sementara senyum palsunya tetap terukir di wajah.
"Mbak Deana?" Hikari menatap bingung pada Deana yang tiba-tiba terdiam dan tampak melamun. Matanya menyipit sedikit, merasa curiga melihat perubahan ekspresi Deana yang begitu kentara.
Deana tersadar, wajahnya tampak sedikit panik, namun ia berusaha menutupi perasaannya. "Ah, maafkan aku, ya, hehe... Aku hanya tak sabar bertemu Nian..." katanya dengan cepat. Senyum lebar kembali dipaksakan, namun suaranya sedikit gemetar.
"Ah begitu... Dia sedang tertidur..." Hikari menjawab dengan santai, meskipun ada rasa waspada yang mulai muncul dalam dirinya.
Namun, tepat pada saat itu, suara tangisan Nian terdengar dari dalam kamar.
"Huhuhu... Ibu!!!"
Tangisan itu memecah keheningan, suaranya melengking, penuh dengan rasa panik dan kesedihan. Wajah Hikari berubah drastis, naluri keibuannya langsung mengambil alih. Ia tidak berpikir dua kali dan segera berlari menuju kamar Nian.
"Nian..." Hikari memasuki kamar dengan langkah cepat. Pandangannya langsung tertuju pada sosok kecil Nian yang sedang merengek di tempat tidurnya. Matanya basah oleh air mata, dan tangan kecilnya terulur lemah, memohon Hikari untuk segera mendekat.
Dengan penuh kasih sayang, Hikari mendekat dan merangkul Nian. Tangannya yang lembut membelai kepala anak itu, berusaha menenangkan tangisannya. Dalam pelukan Hikari, Nian perlahan mulai berhenti menangis, meskipun isakannya masih terdengar samar.
Namun, di luar, Deana yang melihat kejadian itu dari celah pintu tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya. Matanya menyipit tajam, bibirnya mengerucut, dan ekspresi wajahnya menunjukkan campuran frustrasi dan kemarahan. Rencana-rencananya yang selama ini ia bangun dengan susah payah terasa semakin jauh dari jangkauan. Kehadiran Hikari di sisi Nian adalah ancaman besar bagi ambisi pribadinya.
"Selamat pagi, Tuan Muda!" Deana mencoba menyapanya dengan ramah, melangkah masuk ke kamar dengan senyum ceria. Suaranya terdengar ceria, namun ada nada manipulatif di dalamnya.
Tapi Nian masih memeluk Hikari erat-erat, seolah-olah ia tidak ingin melepaskannya.
Sekejap, Deana menatap terkejut. "(Apa?! Sebenarnya ada hubungan apa di antara mereka? Ini sangat aneh... Cih, aku tak boleh kalah dengan Hikari. Aku harus membuat Nian percaya padaku agar Tuan Akamura semakin melirikku!)" pikir Deana dengan tekad yang kuat.
"Tuan Muda, mari belajar dan ke ruangan kita!" katanya dengan nada yang dibuat seceria mungkin, mencoba mengalihkan perhatian.
Hikari terkesan dengan cara menyenangkan Deana saat mengajak Nian, meskipun ia tetap merasa ada sesuatu yang tidak beres. Tapi, Nian menatapnya dengan tatapan polos. "Ibu, aku ingin Ibu ikut..." katanya dengan suara kecil, namun penuh dengan ketegasan seorang anak kecil.
"Eh?" Hikari terkejut, merasa tidak siap dengan permintaan mendadak itu.
"Apa Ibu tak mau menemaniku? Ibu mau meninggalkanku lagi?" Nian menatapnya dengan wajah yang penuh kesedihan.
"Ti-tidak, bukan seperti itu. Baiklah, baiklah, ayo ke ruangan belajarmu," Hikari akhirnya menyerah pada permintaan Nian, meskipun ia merasa canggung dengan situasi ini.
Kemudian mereka menuju sebuah ruangan yang sangat mungil, namun dihias dengan begitu cantik. Ruangan itu dipenuhi dengan dekorasi warna-warni yang menarik perhatian anak-anak, seperti poster edukatif, mainan kecil, dan meja serta kursi berukuran mini. Suasana ruangan itu terasa ceria dan menyenangkan.
Nian duduk di kursi kecilnya dengan sikap yang sangat imut. Ukuran kursi itu membuatnya terlihat semakin kecil, namun tingkahnya yang percaya diri membuat Hikari tersenyum lembut.
"Imut sekali..." Hikari tidak bisa menahan diri untuk memuji, meskipun kata-kata itu hanya keluar dalam bisikan kecil.
"Ibu, duduklah di sini..." Nian menunjuk karpet lembut di sampingnya. Tatapan matanya begitu tulus dan penuh harapan, membuat Hikari terdiam sejenak.
Deana, yang memperhatikan situasi itu, mengambil langkah cepat untuk memecah keraguan Hikari. Ia mendorong Hikari pelan sambil tersenyum.
"Ayolah, mari belajar bersama. Lihat bagaimana cara hebatku membuat belajar Nian menjadi menyenangkan..." kata Deana dengan nada percaya diri. Ia segera mengambil posisi untuk memulai sesi belajar, memperlihatkan metode yang tampaknya ia kuasai dengan baik.
Hikari hanya bisa duduk dan memperhatikan, penasaran melihat bagaimana Deana mencoba mengambil hati Nian dengan cara yang ceria dan terstruktur.
Hingga ketika selesai, Deana berjalan keluar dari ruangan itu dan bertemu Esten. Ia sempat mengobrol. "Aku akan pergi... Aku sudah selesai..." ucapnya sambil menatap Esten.
Namun, Esten bertanya sesuatu. "Tunggu, bisakah aku bertanya sesuatu? Soal gadis itu. Kenapa kau jadi berbicara soal Tuan Kage?"
"Oh..." Deana menatapnya datar, lalu menjawab, "Dia itu punya hubungan dekat dengan Tuan Kage. Aku tidak tahu dia sedang apa saat ini, dan apa yang mereka lakukan juga aku tidak tahu. Tapi rumor mengatakan Tuan Kage sudah menikah, mungkin dengannya..." kata Deana.
Seketika, Esten terkejut. "Jadi... Yang dimaksud dia sudah menikah, itu berarti dia menikah dengan Tuan Kage?" tanyanya dengan tatapan penuh kebingungan.
"Ya, mungkin... Aku pergi dulu," jawab Deana sambil berjalan melewatinya.
Esten menjadi semakin khawatir. "(Jika Tuan Kage tahu bahwa kita memperlakukan istrinya seperti itu, apakah dia akan murka? Dia mungkin akan membatalkan kontrak besarnya. Aku harus memberitahu Tuan Akamura ketika dia kembali nanti...)" pikirnya.
Sementara itu, Hikari masih berada di ruangan bersama Nian. Di sana, dia duduk melihat sekeliling ruangan itu, sementara Nian terlihat menggambar di lantai. Dia menggambar dengan sangat cepat lalu menatap Hikari yang kebetulan sedang menoleh padanya.
"Ah, Nian, apa yang sedang kamu gambar?" tanyanya.
Nian lalu menunjukkan kertasnya dengan senang. "Lihat!" Itu adalah gambar krayon seorang pria yang memakai baju hitam. Semuanya hitam, membuat Hikari terdiam bingung, tetapi ia mencoba memuji terlebih dahulu. "Wah, itu bagus sekali. Apakah itu ayahmu?"
Nian mengangguk, tetapi Hikari menatap dengan khawatir. "Ini... benar-benar sangat aneh..." Dia melihat banyak warna krayon yang masih warna-warni, tapi kenapa Nian tidak memakai warna lainnya?
Ia berpikir lebih dalam. "(Seharusnya bayi sekecil itu menggunakan warna yang lebih cerah. Bukankah aku sering menggambar dengan krayon bersama Nian? Tapi kenapa ini sangat aneh...)" Ia terus berpikir hingga mendadak menyadari sesuatu yang membuatnya langsung berdiri, membuat Nian terdiam dan menatap.
"Ibu?" Dia mengikuti Hikari yang keluar dari ruangan itu. Rupanya Hikari masuk ke dalam kamar dan membuka lemari baju milik Nian. "(Jika itu terjadi, mungkin penyebabnya adalah baju yang dipakainya...)" pikirnya. Dan benar saja, di dalam sana hanya ada baju Nian yang warnanya sama—hanya ada warna hitam, putih, dan abu-abu. Bahkan tidak ada warna cerah sama sekali.
"(Sudah kuduga...)" pikirnya dengan khawatir. "(Seharusnya aku tidak terlalu heran, karena ini lingkungan yakuza, lingkungan orang penting yang selalu memakai pakaian hitam dan putih. Itu bisa berpengaruh pada bayi seperti Nian...)" pikirnya lagi sambil menatap Nian yang juga menatapnya polos.
"Nian..." Dia mendekat dengan wajah cemas sambil membawa beberapa baju Nian dan melemparkannya ke lantai. "Kenapa kau hanya memakai baju ini?"
Namun, tiba-tiba ada seseorang yang masuk ke kamar Nian. Siapa sangka, itu adalah Akamura sendiri, membuat mereka menoleh. Akamura, yang melihat baju Nian berceceran di lantai, menatap serius. "Apa yang terjadi?" tanyanya sambil mendekat dengan wajah serius.
Namun, wajah Hikari lebih serius dan kesal. "Hei, apa kau tahu cara mengajarkan warna pada balita? Nian tidak boleh terlalu banyak melihat warna gelap. Lihat saja, dia menggambar hanya dengan warna gelap saja! Kenapa kau tidak memberikan warna yang cerah dan warna-warni? Apa kau tahu itu bisa berpengaruh pada pikirannya?" Hikari menatap tajam.
Mendengar itu, Akamura mengangkat satu alisnya. "Apa yang bisa aku lakukan untuk membuat Nian memakai warna-warni?"
"Itu dimulai dari baju. Apakah Nian tidak memiliki warna baju lain?" Hikari menatap.
Akamura menggeleng, tetapi ia kemudian merogoh sesuatu dari kantongnya.
Hikari mendadak menjadi terkejut melihatnya. "(Oh tidak! Apakah dia akan menodongkan senjata padaku?!)" pikirnya dengan ketakutan.