Tapi siapa yang menyangka, rupanya Akamura, dengan sikap yang biasanya dingin dan penuh perhitungan, mengeluarkan ponsel dari sakunya. Tangannya yang tegas mengangkat perangkat itu, lalu tanpa ragu, dia memberikannya kepada Hikari yang hanya bisa terdiam. Kejadian itu terasa mendadak, seperti kilatan petir di siang bolong, membuat suasana di antara mereka berubah dalam sekejap.
Akamura menatap lurus ke arah Hikari, matanya yang biasanya menyiratkan otoritas kini memancarkan keseriusan yang tak tergoyahkan. Dia membuka mulut dan berkata dengan nada yang tegas namun pelan, "Belilah sesukamu, asalkan itu bisa membuktikan..." Kalimatnya menggantung di udara, seolah memberikan ruang bagi Hikari untuk memproses maksud tersembunyi di balik kata-katanya.
Hikari, meskipun sempat ragu, perlahan tersenyum. Senyumnya merekah seperti bunga yang mulai mekar di musim semi. Ada kegembiraan dalam ekspresinya, namun juga sedikit rasa khawatir yang terselip di matanya. Dia mengambil ponsel itu dengan hati-hati, seperti memegang sesuatu yang sangat berharga. "Tentu saja, aku akan membeli hal yang baik untuk Nian... Jangan sampai aku menguras rekeningmu..." katanya, nada suaranya penuh dengan canda, mencoba meringankan suasana yang tiba-tiba menjadi intens.
"Lakukan saja..." balas Akamura. Namun, nada tak acuh dalam suaranya tidak dapat menyembunyikan fakta bahwa dia sebenarnya sangat memperhatikan apa yang terjadi. Setelah berkata demikian, dia berbalik, langkahnya mantap, seolah ingin segera meninggalkan percakapan itu. Tapi langkahnya terhenti ketika Hikari, yang sepertinya baru menyadari sesuatu, memanggilnya. "Hei..." suara Hikari terdengar cukup lantang, memaksa Akamura untuk menoleh dengan ekspresi penuh rasa kesal. "Apa lagi?"
Hikari menghela napas, mencoba mengumpulkan keberanian untuk menyampaikan apa yang ada di pikirannya. Dia menatap Akamura dengan sorot mata yang tidak biasa—serius, penuh perhatian, dan sedikit menghakimi. "Apa kau sadar dengan sikapmu?" tanyanya, nada suaranya tegas, nyaris seperti orang tua yang menegur anaknya.
Tatapan Akamura berubah, dari penuh kesal menjadi bingung. Dia menatap Hikari seperti seseorang yang mencoba memahami teka-teki yang rumit. "Apa yang kau maksud? Aku melakukan semua ini demi putraku. Aku akan melakukan apa pun--"
"Dengan menyerahkannya pada orang lain?" potong Hikari tajam. Ucapannya seperti anak panah yang melesat tepat ke sasaran, membuat Akamura terdiam.
Hening sesaat. Udara di antara mereka terasa berat, seperti ada sesuatu yang tidak terucapkan namun sangat jelas dirasakan.
"Dengar, apakah kamu sadar?" Hikari melanjutkan, suaranya kini lebih lembut namun penuh penekanan. "Meskipun aku tidak melahirkan Nian, dia memanggilku ibu karena dia berpikir bahwa seorang ibu adalah seseorang yang merawatnya sejak kecil, bukan hanya melahirkannya. Karena lingkunganlah, Nian belajar memanggilku ibu... Begitu juga kamu. Jika kamu tidak banyak hadir dalam kehidupan Nian, di pikirannya kamu hanya menjadi figur ayah yang tak peduli."
Akamura mengerutkan alis, tatapannya semakin tajam, seperti mencoba melawan argumen Hikari dengan pandangan saja. Namun, dia tetap mendengarkan.
"Orang lain bisa melakukannya untukku, selama aku bisa menyelesaikan pekerjaanku," balasnya akhirnya, mencoba mempertahankan posisinya.
"Apa maksudmu? Memangnya kau pernah sekali saja menjaga Nian?" Hikari menatapnya dengan tatapan penuh emosi, seperti ingin menusuk pertahanan Akamura hingga ke dalam. "Dia masih kecil dan butuh kasih sayang yang banyak dari orang tuanya. Kau malah menyederhanakan masalah putramu sendiri hanya untuk mengangkatku sebagai ibu kontrak. Kau seharusnya tahu bahwa ibu adalah peran penting bagi Nian. Yang kau inginkan hanyalah membayar orang lain untuk menjadi ibu Nian, sementara kau hanya menunggu hasil. Tapi itu percuma, karena kau tidak melakukannya dengan sepenuh hati."
Setiap kata yang keluar dari mulut Hikari terasa seperti palu yang menghantam tembok kokoh yang dibangun Akamura. Pria itu mendengus pelan, tatapannya tetap penuh ketegasan, namun ada keraguan kecil yang mulai terlihat di matanya.
"Apa maksudmu? Jadi kau berpikir aku tidak peduli pada Nian?" katanya dengan nada lebih keras, seperti mencoba menutupi kegelisahannya. "Aku tentu saja peduli karena Nian akan menjadi penerusku. Aku tidak peduli berapa banyak uang yang keluar untuk membayar orang-orang yang merawat Nian. Jika kau tak mau merawatnya, maka pergilah dan batalkan kontraknya daripada kau banyak bicara," tambahnya, suaranya semakin tegas.
Namun, Hikari tidak menyerah. Dia tetap berdiri tegak, matanya menatap Akamura dengan sorot penuh tekad. "Begitukah caramu? Begitukah caramu merawat seorang putra?" katanya, nadanya semakin rendah namun terasa lebih menusuk. "Kau seharusnya melihat sesuatu terlebih dahulu... Dengan usia Nian yang masih kecil, dia bukan seorang penerus. Dia adalah anak kecil yang ingin waktumu untuk menemaninya, membangun hatinya, dan kau akan paham apa yang diinginkan Nian," tambahnya, suaranya mengalir dengan kelembutan namun penuh dengan makna.
Akamura tidak menjawab. Kata-kata Hikari seperti membawa beban yang terlalu berat untuk segera direspons. Dia terdiam, membiarkan kesunyian mengambil alih sementara pikirannya berputar mencari jawaban.
Namun, keheningan itu tidak berlangsung lama, karena suara langkah cepat mendekati mereka. Seorang pria dengan seragam rapi datang dan memanggil. "Tuan..." panggilnya. Itu adalah Esten, asisten pribadi Akamura yang setia.
"Tuan, bolehkah aku memberitahu sesuatu?" suara Esten terdengar sopan namun penuh keraguan. Dia berdiri dengan postur tegap, namun tatapan matanya menyiratkan sesuatu yang mendesak, seolah apa yang hendak disampaikan adalah rahasia besar.
"Katakan..." balas Akamura singkat, namun nada suaranya penuh otoritas, membuat siapa pun yang mendengarnya tak berani menunda-nunda. Tatapannya tetap tajam, seperti mencoba menembus pikiran Esten untuk mengetahui isi kabar sebelum Esten sempat mengucapkannya.
Esten melangkah lebih dekat, hingga jarak antara mereka hanya beberapa langkah. Dia menunduk sedikit, lalu perlahan berbisik ke telinga Akamura. Sementara itu, Hikari berdiri di tempatnya, memandang kedua pria itu dengan penuh kebingungan. Meskipun dia tidak bisa mendengar apa yang dibisikkan Esten, ekspresi serius Akamura dan sikap hati-hati Esten membuat rasa ingin tahunya semakin memuncak.
Beberapa detik kemudian, setelah mendengar bisikan Esten, Akamura tersentak mundur. Matanya membelalak, menatap Esten dengan keterkejutan yang sulit disembunyikan. "Apa?!" serunya, suaranya sedikit lebih keras dari biasanya. Wajahnya yang biasanya tenang kini berubah, seolah dihantam badai tak terduga.
Esten mengangguk cepat, wajahnya tetap serius, seperti mengonfirmasi bahwa informasi yang disampaikan barusan benar adanya.
Hikari, yang sejak tadi menyaksikan interaksi mereka, hanya bisa berdiri dengan ekspresi bingung. Tatapannya berpindah-pindah dari Akamura ke Esten, mencoba mencari petunjuk apa yang sebenarnya terjadi. Namun, tak ada jawaban dari ekspresi mereka yang kaku.
Setelah beberapa saat, Akamura memalingkan wajahnya ke arah Hikari. Tatapannya tajam, namun kini ada sedikit keraguan yang terselip. "Kau... Sudah menikah?" tanyanya tiba-tiba, nadanya tegas namun juga mengandung rasa penasaran yang mendalam.
"Eh, bukankah aku sudah menyebutkannya?" balas Hikari, suaranya sedikit gemetar karena kaget. Dia tidak mengira pertanyaan itu akan muncul, apalagi dengan cara yang begitu langsung.
"Siapa nama pasanganmu?" Akamura kembali bertanya, tatapannya menembus seperti mencoba membaca pikiran Hikari.
"Eh?" Hikari terkejut mendengar pertanyaan itu. Di dalam kepalanya, berbagai pikiran berkecamuk. "(Jika aku memberitahu nama Mas Kage, apakah dia akan menghabisinya?!)" pikirnya panik. Rasa takut menyelimuti dirinya, membuat dia terdiam tanpa mampu menjawab.
"Hei, aku bicara padamu," desak Akamura dengan nada lebih keras. Matanya menatap tajam, seperti elang yang mengincar mangsanya.
Namun, tepat di saat itu juga, suara ceria seorang anak memecah ketegangan. "Gege!" teriak Nian yang tiba-tiba muncul dari arah belakang.
"Gege?" Akamura mengerutkan alis, kebingungan menyelimuti wajahnya.
Sementara itu, Hikari terkejut. Dia menoleh cepat ke arah Nian, wajahnya dipenuhi kepanikan. "Nian, apa yang kau katakan? Jangan..." ujarnya sambil menggeleng, mencoba menghentikan anak itu.
Namun, Esten, yang sedari tadi berdiri di sisi Akamura, tampak merenung. Bibirnya bergerak pelan, seperti melafalkan sesuatu. "Gege? Kage!?" tebaknya dengan nada pelan, namun cukup untuk didengar oleh Akamura.
Mendengar itu, Akamura kembali terkejut. Dia memutar tubuhnya dengan cepat, menarik Hikari dengan kedua tangannya dan menggenggam lengannya erat. Wajahnya yang biasanya dingin kini dipenuhi oleh intensitas yang hampir menakutkan. "Kau harus menjawab jujur. Pasanganmu, Tuan Kage?!" katanya dengan nada yang nyaris seperti perintah.
Hikari, yang sudah ketakutan sejak awal, merasa seperti seekor burung kecil yang terjebak dalam cengkeraman elang. Tubuhnya gemetar, matanya menghindari tatapan Akamura. Namun, setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, dia perlahan mengangguk. Gerakannya kecil, hampir tidak terlihat, namun cukup untuk memberikan jawaban yang dibutuhkan Akamura.
Melihat itu, Akamura tiba-tiba melepaskan genggamannya. Wajahnya berubah, dari penuh amarah menjadi terkejut dan tidak percaya. Tanpa banyak bicara, dia langsung membungkukkan badannya dengan dalam, diikuti oleh Esten yang tampak segan namun tetap mengikutinya.
Hikari terbelalak. "Eh, apa yang kalian lakukan?!" tanyanya, panik dan bingung. Tangannya terangkat sedikit, seperti mencoba menghentikan tindakan aneh itu.
Akamura kemudian mengangkat wajahnya, menatap Hikari dengan penuh penyesalan. "Aku benar-benar minta maaf... Perlakuanku sangat keras kepala padamu," katanya dengan nada yang berbeda dari biasanya—lebih rendah hati dan tulus.
"Apa maksudmu?" Hikari masih bingung dengan perubahan sikap mendadak itu.
Akamura menghela napas panjang sebelum menjelaskan. "Sebenarnya, Tuan Kage adalah mitra kerja kami. Dia memiliki aset besar yang menguntungkan bagiku. Kami menjalin hubungan bisnis yang baik. Tuan Kage juga sering bercerita tentang pasangannya yang sangat baik, kuat, bahkan lembut pada bayi... Dan ternyata aku terlalu meremehkanmu," ucapnya, suaranya terdengar lebih pelan, hampir seperti mengakui kesalahan besar.
Hikari hanya bisa terdiam, matanya melebar karena terkejut. Namun, setelah beberapa detik, dia tersenyum kecil. "Begitukah? Tapi, ini baik-baik saja... Aku senang jika harus merawat Nian," jawabnya lembut.
"Tidak, aku tidak akan membiarkanmu merawat Nian sendirian," kata Akamura tegas. "Begini saja, ajarkan aku cara merawat Nian. Setelah itu, aku tidak akan mengganggumu. Juga, tolong jangan ceritakan apa yang kulakukan padamu pada Tuan Kage. Dia bisa saja membatalkan kontraknya..." lanjutnya, tatapannya menunjukkan rasa takut yang tulus.
Mendengar itu, Hikari tidak bisa menahan tawa kecilnya. Dia menutup mulutnya dengan tangan, mencoba menahan tawanya agar tidak terlalu keras. "Baiklah, baiklah. Aku akan mengajarkanmu," katanya akhirnya, mengangguk pelan.
Setelah itu, suasana berubah menjadi lebih ringan. Hikari mulai mengajarkan banyak hal pada Akamura tentang bagaimana cara merawat Nian dengan baik, sementara Akamura berusaha menyerap setiap pelajaran seperti murid yang rajin. Meskipun situasi awalnya tegang, interaksi mereka perlahan menjadi hangat, menciptakan suasana baru di antara mereka.