Chichi menatap bekal makan siang yang dibawa Hikari. "Kau ke sini untuk mencari Kage?" tanyanya, melihat dengan penuh rasa ingin tahu.
"Ya. Apa dia sedang sibuk?" tanya Hikari, merasa sedikit khawatir kalau Kage sedang dalam pertemuan yang penting.
"Dia ada di kantornya, ke sana saja. Bagaimana kondisimu?" tanya Chichi sambil menatap Hikari dengan perhatian.
"Ah, aku sudah lebih baik. Aku sudah bisa berjalan dengan baik juga. Terima kasih sudah mengkhawatirkanku..." Hikari menjawab dengan senyum tulus.
Namun, Chichi tiba-tiba bertanya sesuatu yang membuat Hikari terkejut. "Apa kalian tak mau membuat bayi?" tanyanya dengan serius, tatapannya langsung tajam. Hikari merasa jantungnya berdebar keras, wajahnya langsung memerah.
"Uh... Um... Ke... Kenapa bertanya begitu... Aku dan Mas Kage belum menikah..." jawab Hikari dengan wajah yang memerah, merasa malu karena pertanyaan yang tiba-tiba itu.
"Justru karena itu. Cepatlah menikah," kata Chichi dengan nada yang lebih mendesak. Ia menatap Hikari dengan penuh semangat, seolah-olah menunggu jawaban yang pasti.
"Em... Maafkan aku, aku tak bisa menjelaskannya pada Chichi..." Hikari yang panik langsung berjalan pergi, berusaha menghindari percakapan lebih lanjut. Chichi hanya bisa tersenyum kecil sambil memandangi kepergiannya. "Aku tahu kau belum siap," katanya dalam hati, meskipun hanya sebuah bisikan yang hanya dirinya yang dengar.
Kemudian, terlihat Hikari mengetuk pintu besar kantor Kage dan membukanya dengan wajah ragu serta pipi merahnya. "Um... Permisi?"
Dari dalam, terdengar suara Kage. "Hikari..." Ia langsung berdiri dari tempatnya, dan mereka mendekat satu sama lain.
"Mas Kage, apa aku mengganggumu?" tanya Hikari.
"Sama sekali tidak," balas Kage sambil memegang bahu dan membelai pipi Hikari dengan lembut, seolah ia sudah lama ingin melakukannya. "Aku malah senang kau ada di sini. Bagaimana kondisimu?"
"Ah, ini baik-baik saja kok. Aku juga membawakanmu makan siang," jawab Hikari sambil menunjukkan makanan yang ia bawa.
"Aku akan senang jika kita memakannya bersama," kata Kage, membuat Hikari terdiam dengan wajah memerah.
"(Di situlah kami mulai bersama. Kami menikmati waktu yang tenang. Setiap hari, jika Mas Kage ada di kantornya, aku akan datang pada jam yang sama untuk mengantarkan makan siang untuknya. Dia lalu pulang pada malam hari, dan kami beristirahat bersama. Tapi meskipun begitu, kami tidak melakukannya setiap hari. Kami tak bisa, karena Mas Kage sibuk. Dia selalu keluar kota, bahkan untuk waktu yang sangat lama. Aku bahkan bisa menghitung sudah berapa bulan aku ada di rumahnya secara monoton dan sendirian. *Haiz... Aku sangat bosan...* Itulah kalimat yang selalu aku katakan. Tapi aku ingat ketika Mas Kage mengatakan bahwa dia akan membeli rumah baru...)"
"(Siapa yang menyangka, dia malah membeli mansion yang sangat besar...)"
Tampak Hikari menatap tak percaya pada sesuatu di hadapannya, bahkan dia sampai menengadah, sementara Kage hanya tersenyum kecil menatap dari belakangnya.
"Aku harap kau suka, Hikari..." katanya.
Siapa yang menyangka, di hadapannya adalah mansion yang besar dan sungguh luas.
"A... Apa maksudmu?! Kenapa ini malah lebih besar dari rumahmu sebelumnya? Aku tak pernah meminta hal ini!" Hikari menggeleng cepat.
"Hei, lihat sisi baiknya. Aku mencarikan tempat yang agak jauh dari kota agar tidak bising. Kamu juga bisa menikmati sekitar ketika bosan karena aku tak ada. Aku juga sudah menyiapkan banyak pelayan dan penjaga untuk melindungimu di sini. Kamu tinggal tunggu aku saja sampai pekerjaanku selesai..."
"Astaga, Mas Kage..." Hikari menatap dengan senyuman kecil. Dia juga menggeleng melihat tingkah Kage, lalu mencubit hidungnya.
"Baiklah, baiklah... Tapi ini sudah beberapa bulan kita seperti ini... Kapan kamu bisa menyelesaikan pekerjaanmu?" Hikari menatap, dia tak mau ditinggal sendirian lagi.
"Hampir satu tahun, ya? Tenang saja... Bukalah matamu besok dan lihat apa yang akan terjadi... Aku pergi dulu..." Kage mencium kening Hikari, lalu berjalan pergi.
Hikari hanya tersenyum lembut. "(Selama beberapa bulan ini, dia sama sekali tidak menyentuh tubuhku dengan buruk. Dia malah selalu membelai, dan dia tak ingin hasrat ada di antara hubungan kami... Aku sangat menyukainya...)"
Hingga esok harinya, Hikari terbangun membuka mata di ranjang besarnya. Dia tampak bangun duduk sendirian. Tapi ketika matanya terbuka, dia melihat sesuatu yang sungguh luar biasa: sebuah gaun pengantin yang sangat cantik, mewah, dan menarik terpajang di tembok hadapannya.
"I... Itu!" Dia lalu menatap ke arah pintu, kebetulan ada Kage yang berdiri di sana.
"Hikari... Ini saatnya..." kata Kage dengan senyumnya.
Dia mengajak Hikari untuk menikah, dan saat itu juga Hikari menangis haru. "(Akhirnya... Menikah...)"
--
Tampak Kage berdiri di depan cermin, membenarkan dasinya dengan perlahan. Pakaian pengantin pria yang ia kenakan—setelan hitam yang elegan—membuat sosoknya terlihat semakin gagah. Matanya sedikit memantulkan rasa gugup dan antusiasme, tetapi ia berhasil menyembunyikannya di balik senyuman tipis.
Ia mengalihkan pandangannya ke ponsel yang ia genggam, memeriksa waktu yang terus berjalan. Perlahan, matanya melirik ke sebuah pintu di sudut ruangan. Di atas pintu itu terdapat tulisan *Ruang Ganti Pengantin Wanita* dengan ukiran sederhana namun elegan.
Setelah menarik napas dalam, ia melangkah ke arah pintu tersebut. Tangannya meraih gagang pintu, dan dengan tenang ia mendorongnya. Sebuah senyuman kecil muncul di wajahnya saat ia melihat seorang perempuan berdiri membelakanginya. Gaun putih yang anggun membalut tubuhnya, berkilauan tertimpa cahaya lampu.
Perempuan itu adalah Hikari. Rambutnya disanggul rapi, dengan beberapa helai kecil jatuh menghiasi wajahnya. Ketika ia menyadari kehadiran Kage, Hikari perlahan menoleh, memperlihatkan senyum lembut yang penuh kasih.
Kage mendekatinya dengan langkah tenang. Ia melingkarkan lengannya di pinggang Hikari dari belakang, memeluknya erat. Wajahnya mendekat ke leher Hikari, lalu ia mengecup lembut kulitnya. "Kau terlihat sangat cantik, Putri," ucap Kage dengan suara rendah, tetapi penuh kehangatan.
Hikari tersipu, tetapi segera mengangkat tangannya untuk memegang pipi Kage yang ada di samping wajahnya. Ia menatap mata Kage melalui pantulan cermin di hadapannya. "Kau juga semakin tampan, Pangeran," katanya, suaranya mengandung nada kepercayaan diri yang lembut namun penuh cinta.
Kage tersenyum tipis, tetapi ekspresinya segera berubah menjadi serius. "Kenapa kamu ada di sini? Bukankah pengantin pria tidak boleh bertemu pengantin wanita sebelum pernikahan?" tanya Hikari, sedikit menegur sambil tetap menatapnya dengan penuh kasih.
Kage hanya terkekeh kecil. "Jangan khawatir," katanya, "aku hanya ingin tahu bagaimana perasaanmu."
Hikari menurunkan pandangannya sejenak, seperti merenung, sebelum kembali menatap Kage. "Aku baik-baik saja. Kakiku sudah semakin membaik, dan hari ini rasanya seperti tidak ada rasa sakit. Mungkin karena aku benar-benar antusias dengan pernikahan ini," jawabnya dengan nada optimis.
Kage tersenyum mendengar jawaban itu. Ia menarik Hikari lebih dekat ke dadanya dan memeluknya erat. Seolah dunia di sekeliling mereka menghilang, hanya ada mereka berdua dalam momen penuh keintiman itu.
"Hikari," kata Kage pelan, suaranya hampir seperti bisikan, "setelah pernikahan kita nanti... apa kau bisa menjaga janjimu untuk tetap bersamaku?"
Hikari menoleh sedikit, matanya menatap lurus ke mata Kage. "Mas Kage," katanya lembut, "seharusnya aku yang bilang begitu. Aku jelas akan menepati janji yang kau katakan." Tangannya terangkat untuk membelai pipi Kage dengan penuh kasih.
Mata Kage berbinar. Ia meraih kedua tangan Hikari, menggenggamnya erat. "Ya," katanya yakin, "aku akan menepati janjiku. Mulai sekarang, kau adalah milikku, dan aku adalah milikmu."
Keduanya semakin mendekat, bibir mereka hampir bersentuhan. Namun, suara ketukan pintu tiba-tiba memecah momen itu. "Pengantin wanita, apa kau melihat pengantin prianya? Dia harus segera ke atas pelaminan duluan," suara dari luar pintu terdengar, sedikit tergesa.
Kage tertawa kecil dan melangkah mundur. "Ah, aku harus duluan. Aku akan menunggumu," katanya dengan nada hangat. Hikari mengangguk, mengerti.
Saat Kage melangkah keluar, Hikari memandang punggungnya dengan senyuman. Ia kemudian membisikkan dalam hatinya, "(Terima kasih, takdir... Ini semua tidak akan terjadi tanpa takdir. Aku belajar banyak hal dari ini semua, bahkan dari kehidupanku sebelum bertemu Mas Kage. Menunggu adalah hal yang baik, meskipun membosankan dan menguras kesabaran. Tapi ini adalah hasil dari sebuah penantian...)" Hikari tersenyum haru.
"Baiklah, pengantin wanita, silakan," suara seseorang memanggil Hikari kembali ke kenyataan. Ia menghela napas panjang, lalu membulatkan tekad. Dengan langkah mantap, ia berjalan keluar dari ruangan itu, menuju awal dari babak baru dalam hidupnya.
Semua orang yang hadir di ruangan itu menghentikan percakapan mereka ketika Hikari muncul. Suara tepuk tangan memenuhi aula, menciptakan suasana yang hangat dan penuh kebahagiaan. Tatapan kagum dari para tamu tertuju pada Hikari, yang melangkah perlahan dengan gaun pengantin putih berkilauan. Setiap langkahnya terasa anggun, diiringi senyuman kecil yang berusaha ia pertahankan meski matanya tampak berembun.
"Pengantin wanita yang cantik," bisik beberapa tamu, disusul gumaman setuju dari yang lainnya. Puji-pujian itu membuat Hikari sedikit menundukkan kepala dengan sopan, namun hatinya penuh keharuan.
Hikari mencoba keras untuk tidak menangis. "(Orang tuaku tidak ada di sini... karena mereka memang sudah tiada...)" pikirnya. Suara dalam hatinya terdengar getir, tetapi ia tahu ia harus tegar. Tangannya mengepal lembut, berusaha menahan tangis agar riasan sempurna di wajahnya tidak rusak.
Namun, di tengah-tengah usahanya itu, tanpa sengaja pandangannya melayang ke arah barisan tamu undangan. Di sana, di antara keramaian yang sedikit remang karena pencahayaan lampu, ia melihat sosok yang sangat familiar. Matanya melebar, dan tubuhnya sedikit membeku.
"(Kakak?)" pikir Hikari terkejut.
Yuki, kakaknya, tampak berdiri di sana, tersenyum lebar sambil melambaikan tangan dengan penuh semangat. Keceriaan di wajah Yuki sangat nyata, seolah ia ingin meyakinkan Hikari bahwa ia ada di sana untuknya, meski keadaan sebelumnya mungkin tidak memungkinkan.
Di samping Yuki, berdiri seorang pria—suaminya—yang juga melambai pelan dengan ekspresi ramah dan menenangkan. Kehadiran mereka membuat hati Hikari perlahan-lahan dipenuhi rasa hangat.
Dari kejauhan, suara Yuki terdengar jelas, meskipun di tengah hiruk pikuk tepuk tangan. "Hikari! Aku bangga padamu!" serunya dengan nada tulus, yang membuat mata Hikari berkaca-kaca.
Hikari mengedarkan pandangan lagi dan menemukan lebih banyak wajah yang akrab. Chichi dan Haku, bahkan Chen tampak berdiri sambil mengusap air mata harunya.
"(Mereka semua ada di sini...)" pikirnya. Dalam sekejap, kesedihannya karena kehilangan orang tua memudar, tergantikan oleh rasa syukur atas kehadiran orang-orang baik yang ada di sekitarnya.
Ketika Hikari melangkah lebih dekat ke arah altar, ia melihat uluran tangan Kage yang sudah menunggunya di sana. Mata Kage penuh dengan kehangatan dan keyakinan. Tanpa ragu, Hikari meraih tangan itu, merasakan sentuhan yang lembut namun penuh kekuatan. Mereka saling menatap, seolah-olah dunia di sekeliling mereka menghilang.
"Hikari... berjanjilah," ucap Kage dengan suara yang rendah namun tegas, seakan menyiratkan betapa pentingnya momen ini baginya.
Hikari mengangguk cepat, tanpa sedikit pun keraguan. Ia melangkah maju dan memeluk Kage erat, membenamkan wajahnya di dada pria itu. Pelukan itu membuat Kage sedikit terkejut, tetapi ia segera tertawa kecil, mengusap punggung Hikari dengan lembut.
Pendeta yang berdiri di tengah-tengah mereka hanya menggeleng kecil, dengan ekspresi campuran antara heran dan geli. "(Padahal belum mengucap janji, sudah saling sentuh saja...)" pikirnya sambil menunggu pasangan itu untuk kembali fokus ke upacara. Hingga akhirnya mereka resmi menikah.