Kage melihat sekitar di ruangan yang gelap itu. Ruangan yang suram dan sempit, dipenuhi oleh bayang-bayang yang tak terlihat oleh matanya yang kini tak bercahaya. Hanya gelap yang menyelimuti ruang itu, seolah-olah ruangan itu tak pernah disentuh oleh cahaya matahari. Seakan segala yang ada di dalamnya terperangkap dalam keheningan yang menyesakkan. "(Tempat ini... Ruang bawah tanah yang gelap... Jika ada Hikari, seharusnya ada cahaya yang bisa aku lihat.)"
Pikir Kage sambil merasakan udara dingin yang menusuk kulitnya. Mata Kage menelusuri tiap inci ruangan yang tak terjamah cahaya. Sementara itu, pikirannya terperangkap dalam kegelisahan yang semakin mendalam. Bayang-bayang gelap yang mengelilinginya tampak seperti sebuah teka-teki yang belum terpecahkan. Ia tahu, di tempat yang suram ini, ia seharusnya bisa merasakan kehadiran Hikari.
Lalu, ia mendengar sesuatu—sesuatu yang hanya bisa didengar oleh batinnya. Tetesan darah yang jatuh, mengingatkannya pada sebuah kenyataan yang tak dapat ia hindari. Tetesan pertama menembus kesunyian itu. Ia segera memalingkan wajahnya, mencoba mendengar lebih jelas. Pikirannya terfokus pada suara yang dalam sekejap menghentikan aliran darah di tubuhnya. Suara itu begitu tajam, begitu menakutkan, begitu nyata. Namun, ia harus terus maju, mencari sumber dari suara itu, yang seolah memanggilnya.
Tetesan darah kedua terdengar lebih keras, memecah keheningan dan menuntunnya ke sebuah pintu yang terletak di ujung ruangan. Pintu itu tampak biasa, namun rasanya penuh dengan misteri. Ia menghampiri pintu itu dengan langkah pasti. Setiap detik berlalu seperti perjalanan panjang yang tak kunjung berakhir. Dengan tangan yang mulai gemetar karena ketegangan, ia membuka pintu itu.
Di balik pintu, di bawah cahaya lampu yang redup, terbaring Hikari, tak sadarkan diri, dengan tubuhnya yang terluka parah. Darah yang mengalir dari tubuhnya membasahi lantai, seolah memberi gambaran betapa seriusnya keadaan Hikari. Hikari tampak begitu rapuh, berbeda dengan sosoknya yang biasa tampak kuat dan penuh semangat.
"Hikari!!" Kage langsung berjalan mendekat dengan cepat, setiap langkahnya penuh dengan kecemasan. Ia melihat Hikari dalam keadaan tak bergerak, dan rasa takut mulai menyelimuti dirinya. "Apa yang terjadi padamu, Hikari?" pikirnya dengan penuh keputusasaan.
Ia memeriksa tubuh Hikari, memperhatikan luka-luka yang sangat parah, darah yang membasahi bajunya, dan keheningan yang begitu mencekam. "(Ini... Sangat parah...)" Kage berkata dalam hati, tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Wajahnya berubah, tak bisa menyembunyikan rasa tak percaya itu. Dengan gesit, ia melepas mantelnya, membungkus tubuh Hikari dengan mantel tersebut, berharap bisa memberikan sedikit kehangatan pada tubuh Hikari yang sudah sangat lemah.
Untuk merawat luka-luka Hikari, Kage harus merobek lengan kemeja panjang yang dikenakannya, dan dengan tangan yang terburu-buru, ia membalut luka-luka Hikari menggunakan potongan kain tersebut. Ia tahu, jika ia tidak segera melakukannya, semuanya bisa berakhir buruk. Dalam setiap gerakannya, ia merasakan beban yang sangat berat, beban tanggung jawab atas keselamatan Hikari. "Hikari, bertahanlah," katanya dengan suara penuh harapan, meski ia sendiri merasakan ketakutan yang dalam. Ia menggendong Hikari, berusaha untuk keluar dari ruangan tersebut, berlari sejauh mungkin untuk menyelamatkannya.
Begitulah Hikari bisa diselamatkan oleh Kage. Perjalanan mereka, meski penuh dengan bahaya, akhirnya membawa mereka ke rumah sakit, tempat di mana Hikari bisa mendapatkan perawatan yang sangat dibutuhkan. Dalam kondisi yang sangat lemah, Hikari membuka matanya, menyadari dirinya berada di sebuah ranjang rumah sakit. Di atasnya, ada kantong infus yang meneteskan cairan ke dalam tubuhnya, serta kantong darah yang mengalir dengan lambat. Semua itu terasa begitu nyata, seolah-olah waktu berjalan begitu lambat saat ia berusaha untuk bangkit dari rasa sakit yang teramat sangat.
Untungnya, ia tidak koma lama, dan kini ia berhasil membuka matanya. Meski tubuhnya lelah dan penuh luka, Hikari merasa lega bisa kembali merasakan kehidupan. Dengan usaha yang penuh, ia perlahan-lahan bangkit duduk dan mengamati sekeliling. Suasana rumah sakit yang hening, dengan suara mesin yang berdesis di sekitarnya, menjadi latar yang menenangkan hati. Ia melihat sekeliling, mencari sosok yang telah menyelamatkannya.
Di saat itulah pintu ruangan itu terbuka, dan sosok yang sangat dikenalnya muncul—Kage. Matanya berbinar begitu melihat Hikari yang telah terbangun. "Hikari!!" Kage berlari mendekat, ekspresinya penuh dengan kelegaan dan kebahagiaan yang tak terucapkan.
"Hikari, aku... aku sangat khawatir padamu," kata Kage dengan suara yang bergetar, seolah-olah baru saja menghirup udara setelah lama terperangkap di dalam ruangan yang sempit.
"Mas Kage," Hikari hanya bisa terdiam, masih merasa terkejut dan lemah, namun hatinya terasa lebih tenang begitu melihat Kage ada di sana, menemani dan memastikan bahwa ia selamat.
Seketika saja, Kage memeluk Hikari erat, seolah tak ingin melepaskannya. "Hikari, maafkan aku... Aku terlambat menjemputmu," katanya dengan suara yang penuh penyesalan, merasakan beban besar di hatinya.
"Mas Kage... Aku baik-baik saja," kata Hikari dengan lembut, menatapnya. Matanya penuh dengan rasa syukur, meski tubuhnya masih terasa sakit.
"Apa kau yakin, kaki mu terluka sangat parah? Apa yang sebenarnya wanita itu lakukan padamu?" Kage menatap Hikari dengan cemas, tak bisa membayangkan apa yang telah terjadi pada Hikari.
"Aku tidak ingin mengingatnya," balas Hikari, suaranya berat, penuh dengan perasaan yang sulit diungkapkan. Ia menundukkan kepala, berusaha mengendalikan perasaan yang terpendam dalam dirinya.
"Hikari... Maafkan aku, aku membawa luka di tubuhmu," kata Kage dengan penuh penyesalan.
"Hentikan itu, kau tidak harus minta maaf terus. Kau tidak salah kok, Mas Kage..." jawab Hikari, meskipun ia tahu bahwa Kage merasakan kesalahan yang dalam.
"Tapi tetap saja... Aku harus menebus permintaan maafku padamu. Jangan ragu-ragu jika kau membenciku karena hal ini," tatap Kage dengan kecewa pada dirinya sendiri, merasa bahwa ada banyak hal yang harus ia perbaiki.
"Tidak akan, aku tidak akan membenci Mas Kage, karena aku pernah melakukannya dan aku sendiri benar-benar menyesal...." Hikari mengatakannya dengan suara penuh keteguhan, mengingatkan dirinya bahwa tidak ada gunanya menyesali masa lalu yang sudah lewat.
Tapi tiba-tiba, suara derit pintu yang terbuka memecah keheningan yang sempat meliputi ruangan itu. Kage dan Hikari menoleh secara bersamaan, merasakan perubahan suasana yang mendadak. Di balik pintu yang terbuka, berdiri sosok yang tak asing bagi mereka berdua—Chichi.
Hikari yang melihatnya tampak terkejut, tubuhnya sedikit mengeras, seolah ada perasaan takut yang kembali menghantui dirinya. Pikirannya seolah mengingatkan kembali pada semua yang telah terjadi, pada peraturan dan ketegasan yang selalu Chichi bawa. Kage yang masih berada di sisi Hikari, mengamati perubahan ekspresi di wajah Hikari. Ia bisa merasakan ketegangan yang kembali muncul di antara mereka, seperti benang yang kendor dan siap putus.
"Chichi, apa yang kau lakukan di sini? Kapan kau bangun?!" Kage menatap Chichi dengan tatapan penuh tanya, mencoba mengerti apa yang terjadi. Suaranya mengandung rasa cemas yang tak bisa disembunyikan, menyadari bahwa kehadiran Chichi di saat yang genting ini tidak bisa dianggap remeh.
"(Aku takut...)" Hikari terdiam, matanya menunduk seolah tak berani untuk menatap langsung Chichi. Rasa takut itu jelas terpancar, meskipun Hikari berusaha menyembunyikan kegelisahannya. Ia menutup matanya rapat, mencoba mengusir perasaan tidak nyaman yang muncul begitu saja. Tangannya meremas selimutnya dengan erat, seolah ingin menemukan sedikit kenyamanan dalam gesekan kain itu.
Chichi berdiri tegap, wajahnya serius dan penuh ketegasan. "Aku datang karena baru saja mendengar laporan dari kakakmu. Apa kau benar-benar melanggar peraturan ku? Kau melanggar perkataanku?" suara Chichi terdengar lebih tajam dari biasanya. Setiap kata yang keluar dari mulutnya seolah memiliki bobot yang berat, seakan memberikan tekanan pada Hikari yang sudah terduduk lemah. "Aku sengaja tidak datang secepatnya untuk melihat kelakuanmu ini, dan sekarang kau ada di rumah sakit?! Memangnya sakit apa gadis itu?!" Chichi bertanya, matanya menatap Hikari dengan penuh amarah. Langkahnya mantap, semakin mendekat, seolah ingin memberi pelajaran.
Namun, Hikari tidak bisa membiarkan itu begitu saja. Tiba-tiba, suaranya terdengar keras dan penuh tekad, memecah ketegangan yang mencekam di ruangan itu. "Tunggu!" teriak Hikari, membuat Chichi dan Kage terdiam sejenak. Keberanian Hikari yang muncul di saat genting ini menunjukkan betapa dalamnya perasaan yang ia simpan.
"Aku mohon, jangan salahkan Tuan Kage," kata Hikari, matanya yang tajam menatap Chichi tanpa rasa gentar sedikit pun. Suara Hikari keras, namun ada keteguhan di dalamnya yang membuat Chichi terdiam, langkahnya terhenti. Hikari yang masih terbaring lemah, tidak takut sedikit pun menghadapi tatapan tajam Chichi. Ada rasa percaya diri yang tumbuh dalam dirinya, meskipun rasa takut itu masih ada.
Chichi terkejut mendengar kata-kata Hikari. "Kenapa? Kau mau mengatakan apa? Kau tidak pantas ikut campur..." Chichi menatap Hikari dengan tatapan penuh penolakan, berusaha mempertahankan posisi kekuasaannya. Namun, nada bicara Hikari kali ini berbeda. Ia tak lagi menjadi sosok yang mudah ditundukkan.
Hikari, yang mendengar perkataan Chichi, langsung membalas dengan penuh keyakinan. "Aku pantas ikut campur! Aku pantas masuk ke dalam semua masalah ini karena aku cinta pada Mas Kage!" teriak Hikari, suaranya menggema di ruangan yang sempit itu. Keberaniannya menjadi semakin kuat, tidak ada sedikit pun keraguan di dalam dirinya. Kata-kata itu keluar begitu saja, seakan mengungkapkan perasaan yang selama ini terpendam.
Chichi terdiam mendengar pernyataan Hikari. Wajahnya terkejut, seolah tidak bisa menerima kenyataan yang baru saja diungkapkan oleh Hikari. Keheningan itu seolah memecah segala keraguan yang ada dalam dirinya.
"Banyak wanita yang mengatakan itu..." Chichi akhirnya bersuara, mencoba untuk mengabaikan kenyataan yang baru saja dia dengar. Kata-katanya terdengar datar, namun ada ketegangan yang bisa dirasakan.
"Memang banyak!" Hikari menyela, tidak membiarkan Chichi meremehkan apa yang ia katakan. "Memang banyak yang cinta padanya, memang banyak yang ingin merayunya, tapi dia tak pernah membalas hal itu kecuali untukku..." kata Hikari, matanya menatap Chichi dengan tajam. Setiap kata yang keluar dari mulutnya penuh dengan perasaan yang tulus.
Seketika, Chichi terdiam. Ia mencoba mencerna kata-kata Hikari, memikirkan kembali tentang semua wanita yang mendekati Kage, semua orang yang berusaha mendapatkan perhatian Kage. Namun, Chichi menyadari satu hal yang membuat hatinya terhenti. Kage tidak pernah memberi perhatian lebih pada mereka. Tapi ketika di hadapan Hikari, Kage langsung bereaksi berbeda. "(Aku... Aku tidak pernah menyadari itu...)" pikir Chichi, matanya terbuka lebar, seolah mendapat pencerahan yang mendalam. Namun, cepat-cepat ia menggelengkan kepala, berusaha untuk menepis pemikiran itu.
"(Aku tahu gadis ini hanya gadis biasa...)" Chichi berpikir, menatap Hikari dengan penuh pertimbangan.