Chereads / Romantika Gadis Kontrak / Chapter 57 - Chapter 57 Cincin

Chapter 57 - Chapter 57 Cincin

Beberapa hari berlalu, Hikari masih dalam proses penyembuhan di rumah sakit. Kamar yang ia tempati cukup nyaman, dengan suasana tenang dan tata ruangan yang sederhana. Di sudut kamar terdapat vas bunga yang rutin diganti setiap pagi oleh perawat, memberikan kesegaran kecil di tengah kebosanan. Hikari hanya bisa menghabiskan waktu sendirian, sesekali membuka buku tebal yang ada di meja samping tempat tidurnya. Jari-jarinya membolak-balik halaman tanpa banyak semangat. Matanya kadang teralihkan ke jendela yang menampilkan langit cerah, burung-burung beterbangan, dan dedaunan yang bergoyang lembut dihembus angin.

"Aku ingin keluar... Aku sudah lama ada di sini," gumamnya dengan suara pelan, hampir seperti bisikan. Ia menatap dinding putih bersih, pandangannya berhenti di jam yang tergantung di sana. "(Mas Kage juga selalu datang di jam yang sama, tapi hanya sekali... Dia sangat sibuk... Tapi aku senang karena Chichi sudah setuju dengan hubungan kita. Aku tahu semuanya akan kembali seperti awalnya...)" Hikari mencoba menyemangati dirinya sendiri, senyum tipis menghiasi wajahnya.

Suara pintu yang berderit pelan membuat Hikari spontan menoleh. Pandangannya tertuju pada sosok yang baru masuk. Seketika matanya berbinar, dan senyuman lebarnya merekah.

"Mas Kage..." panggilnya lembut, penuh rasa rindu yang tak bisa ia sembunyikan.

Kage melangkah masuk, tubuh tegapnya memancarkan aura tenang, namun sorot matanya menunjukkan kekhawatiran. Ia segera mendekati Hikari dengan langkah mantap. "Bagaimana keadaanmu?" tanyanya, suara beratnya terdengar hangat. Ia membungkuk sedikit, memberi kecupan lembut di kening Hikari, seolah memastikan bahwa ia benar-benar di sana untuknya.

"Hehe... Aku baik-baik saja, hanya saja masih sedikit sakit..." Hikari mencoba tersenyum untuk mengurangi rasa khawatir di wajah Kage, walau rasa nyeri di tubuhnya sesekali masih mengganggunya.

Kage menatapnya lebih dalam. Ia menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Tangan kokohnya menyentuh rambut Hikari, menyibakkan helai-helai yang jatuh di wajahnya dengan lembut. Sentuhan itu penuh kasih sayang, namun bayangan rasa bersalah terlihat jelas di matanya.

Hikari, yang sejak tadi memperhatikan ekspresi pria di hadapannya, merasa ada sesuatu yang mengganjal. Ia menggenggam tangan Kage pelan. "Mas Kage... Kenapa?" tanyanya penuh perhatian, suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya.

"Aku hanya... masih merasa bersalah..." ujar Kage, nada suaranya penuh beban.

"Haha, tenang sajalah... Jangan khawatir," Hikari tersenyum kecil, berusaha menenangkan hati Kage. Ia tahu bahwa pria itu sering menyalahkan dirinya sendiri atas banyak hal.

Kage perlahan mengembangkan senyuman tipis. Ia merogoh saku jasnya, matanya kembali menatap Hikari dengan tatapan serius namun penuh cinta.

"Hikari... Karena semuanya sudah selesai, tidak ada penghalang lagi... Maka..." Ia mengeluarkan sebuah kotak kecil dan membukanya perlahan, memperlihatkan sesuatu yang membuat Hikari tertegun. Matanya membesar, dan tangannya refleks menutup mulut. Hatinya berdegup kencang, bercampur perasaan tak percaya.

---

Di sisi lain, di sebuah kantor modern dengan nuansa minimalis, Haku tengah sibuk menulis tugasnya. Cahaya matahari masuk melalui kaca jendela besar di belakangnya, memberikan suasana hangat pada ruangan yang rapi. Ketukan di pintu memecah kesunyian.

"Masuk," ujar Haku tanpa mengalihkan pandangannya dari meja kerjanya.

Seorang pria muda bernama Chen melangkah masuk, wajahnya terlihat tenang namun penuh hormat. "Tuan Haku, maaf mengganggu. Ada sesuatu dari Tuan Kage," katanya sambil mendekat dan meletakkan dokumen di meja.

Haku mengambil dokumen itu, tetapi pandangannya tetap tertuju pada Chen. Ada rasa ingin tahu yang tergambar di wajahnya. "Ku dengar Chichi mengatakan sesuatu padaku bahwa gadis itu adalah gadis yang baik. Chichi sudah melihat sendiri dan dia percaya padanya. Apakah itu benar?" tanyanya santai, namun nada suaranya mengandung keingintahuan mendalam. Ia menopang dagunya dengan tangan, sorot matanya tajam namun ramah.

Chen tersenyum kecil. "Ya, aku tahu itu. Chichi itu, kalau tidak melihat sendiri, memang tidak akan percaya. Dia keras kepala juga..." jawabnya, nada bicaranya sedikit santai.

Kata-kata Chen membuat Haku tertawa kecil, suara tawa yang lebih mirip gumaman geli. Namun, momen itu tak berlangsung lama ketika pintu tiba-tiba terbuka dengan keras. Sosok Chichi muncul di ambang pintu dengan wajah tegas.

"Chen!?" panggilnya dengan nada keras, penuh otoritas, mengingatkan siapa saja pada sikap Kage saat marah.

Chen, yang tadi tampak santai, langsung berubah pucat. Ia menunduk dengan gugup. "Tu... Tuan besar!" serunya terbata-bata.

Haku hanya tertawa kecil, menikmati kekakuan situasi. Namun tatapannya segera beralih, pikirannya melayang pada Kage dan Hikari. "(Cahaya memang bisa menerangi bayangan gelap,)" pikirnya dengan senyum samar, memahami arti hubungan mereka yang perlahan membawa perubahan.

Chen akhirnya berlutut, meminta maaf dengan tergesa-gesa pada Chichi yang hanya membuang muka dengan tatapan dingin.

Chichi lalu menatap Haku. "Aku tidak mau menunggu lama. Biarkan saja mereka menjalin hubungan. Sekarang giliranmu, Haku! Kau mau menikah atau tidak?" tanyanya langsung, tanpa basa-basi, dengan nada yang jelas menunjukkan keseriusan.

Haku terdiam, mencoba membaca situasi, lalu tersenyum canggung. "Haha... Chichi, kau benar-benar memperhatikanku, ya..." jawabnya sambil menggaruk belakang kepalanya, mencari cara untuk menghindari pembicaraan.

---

Sementara itu, di kamar Hikari, suasana berubah lebih emosional. Hikari menatap cincin pertunangan yang sangat cantik di tangan Kage. Cincin itu sederhana namun elegan, dengan kilauan berlian kecil yang memantulkan cahaya lembut dari lampu kamar.

"Hikari, jika kau memakai ini, maka kita sudah resmi menjadi tunangan," ujar Kage dengan nada suara yang penuh keyakinan.

Air mata hampir menggenang di mata Hikari. Ia tak percaya momen ini terjadi. Dengan hati berdegup kencang, ia mengangguk sambil mengulurkan tangannya.

Kage memasangkan cincin itu perlahan, jemarinya terasa hangat saat menyentuh kulit Hikari. Cincin itu pas di jari manisnya, seperti ditakdirkan untuk berada di sana. Setelah selesai, Kage mengecup tangan Hikari dengan lembut.

"Mas Kage... Aku benar-benar sangat senang," ujar Hikari, suaranya bergetar karena haru. Ia langsung memeluk Kage erat, seolah ingin memastikan bahwa semuanya nyata.

Kage membelai rambut Hikari dengan lembut, merasakan kehangatan dari pelukan itu. Mereka telah melewati banyak hal bersama, dari momen kelam hingga akhirnya tiba di titik ini, di mana kebahagiaan dan harapan kembali menghiasi langkah mereka.

"Hikari, berjanjilah, kau tidak akan kecewa bersamaku," kata Kage sambil menatap dalam-dalam ke matanya.

"Ya, Mas Kage juga. Kita akan membangun kebahagiaan bersama," jawab Hikari dengan penuh keyakinan.

Mereka saling mendekat, dan tanpa kata-kata lagi, berbagi ciuman yang lembut dan penuh makna.

"Tapi..." terdengar Hikari akan mengatakan sesuatu membuat Kage terdiam menatap.

Lalu Hikari menambah. "Tapi, bisakah kita tidak menikah terlalu cepat?"

"Mengapa begitu?"

"Um... Karena aku mungkin butuh waktu... Aku ingin ke tempat dimana kita akan tinggal duluan, biarkan aku beradaptasi dengan baik, setelah itu, kita bisa melakukan hal yang lebih serius bersama..." tatap Hikari. Mengingat cincin yang dia pakai masih cincin pertunangan.

"Apa ada alasan lain, hikati?" Kage masih menatap ragu.

"Aku akan membiarkan mu menyelesaikan pekerjaan sibuk mu, agar setelah menikah nanti, kau tidak akan sibuk pada pekerjaan mu juga..." tatap Hikari. Kage yang mendengar itu menjadi tersenyum kecil dan mengangguk. "Baiklah... Aku akan menunggu mu sembuh setelah itu mari kemasi barang mu dan pergi ke tempat tujuan kita...."

--

Empat hari kemudian, Hikari akhirnya bisa dipulangkan dari rumah sakit. Meski kakinya masih terluka dan sakit, ia merasa lega bisa meninggalkan ruangan yang selama ini terasa mengekangnya. Ruangan rumah sakit itu begitu sunyi, hanya diisi suara mesin-mesin medis yang monoton. Namun, hari itu terasa berbeda. Cahaya matahari menyelinap dari jendela, memberikan kehangatan dan harapan baru.

Kage memasuki ruangan dengan langkah tenang. Pandangannya langsung tertuju pada Hikari yang duduk di tepi ranjang. Gadis itu mengenakan celana pendek dan gaun sederhana yang sedikit terbuka di bagian bawah, memperlihatkan pahanya yang terbalut perban putih. Meski kondisinya belum sepenuhnya pulih, wajah Hikari tampak cerah.

Tanpa berkata apa-apa, Kage mendekat dan berjongkok di depannya. Ia menyentuh perlahan perban di kaki Hikari, seolah memastikan bahwa gadis itu benar-benar akan baik-baik saja. "Kau akan sembuh dengan cepat, jangan khawatir," katanya lembut, matanya menatap penuh keyakinan.

"Ya, aku benar-benar senang bisa keluar dari ruangan ini. Rasanya agak aneh karena aku tidak keluar untuk waktu yang lama," jawab Hikari, suaranya terdengar ringan namun masih ada jejak kelelahan di dalamnya.

"Ya, itu benar sekali. Kau tidak keluar selama lebih dari satu minggu. Pastinya kau ingin melihat dunia luar," balas Kage dengan senyum tipis. Tanpa banyak bicara lagi, ia membungkuk dan mengangkat tubuh Hikari ke pelukannya.

Hikari terkejut dengan gerakan tiba-tiba itu. Wajahnya langsung memerah, dan suaranya sedikit bergetar. "Mas Kage... kenapa tidak pakai kursi roda saja?" tanyanya dengan malu-malu, matanya enggan bertemu dengan tatapan pria itu.

"Untuk apa pakai kursi roda jika aku ingin membawamu seperti ini?" balas Kage, suaranya terdengar ringan namun tegas.

"Tapi... aku ini berat," protes Hikari, meski suaranya lemah, seolah tak ingin membantah lebih jauh.

"Omong kosong, kau tidak berat. Kau sangat ringan," Kage menyela sambil terus berjalan, seakan membuktikan bahwa menggendong Hikari sama sekali bukan beban baginya. Wajah Hikari memerah semakin dalam. Ia menunduk dan membuang muka, tak mampu menahan rasa malunya.

Kage hanya tersenyum kecil melihat reaksi Hikari. Ia melangkah keluar dari ruangan, membawa Hikari di pelukannya. Udara segar langsung menyapa mereka begitu pintu terbuka. Hikari mendongak, matanya menangkap pemandangan yang telah lama dirindukannya. Cahaya matahari bersinar cerah, menyinari langit biru tanpa awan.

Kage berhenti sejenak, membiarkan Hikari menikmati momen itu. Gadis itu menarik napas dalam-dalam, membiarkan udara segar memenuhi paru-parunya. "Hm... aku benar-benar sangat senang bisa kembali menghirup udara luar," gumamnya pelan, namun suaranya penuh rasa syukur.

Namun, momen tenang itu tak berlangsung lama. Beberapa orang yang melintas memperhatikan mereka dengan tatapan kagum.

"Wah, mereka pasangan yang hebat, ya," salah seorang berbisik sambil melirik pasangan itu.

"Sangat romantis. Kaki gadis itu terluka, tapi prianya menggendongnya. Benar-benar idaman," tambah yang lain.

"Pasti mereka pasangan yang serasi," komentar seseorang lagi dengan senyum di wajahnya.

Komentar-komentar itu membuat Hikari langsung menunduk, wajahnya kembali memerah. Ia memeluk Kage erat-erat, menyembunyikan wajahnya di dada pria itu, berharap orang-orang berhenti memperhatikan mereka.

"Hikari, ada apa?" tanya Kage, suaranya terdengar bingung namun lembut.

"Kenapa kita tidak langsung pulang saja? Lain kali saja aku melihat pemandangan luar," jawab Hikari dengan suara pelan namun penuh rasa malu.

"Haha, baiklah," kata Kage sambil terkekeh kecil. Ia melanjutkan langkahnya menuju mobil, lalu dengan hati-hati menempatkan Hikari di kursi depan, dekat dengan kursi pengemudi.