Namun, pandangannya beralih ke selimut Hikari yang terbuka, memperlihatkan paha Hikari yang terbalut luka. Bekas luka yang menutupi tubuh Hikari membuat Chichi terdiam, perasaannya tiba-tiba berubah. Kejutan dan rasa cemas muncul di hatinya, menyadari bahwa kondisi Hikari jauh lebih buruk dari yang ia kira.
"Kau ke rumah sakit ini, bukan karena sakit?" tatap Chichi dengan serius. Suaranya yang sebelumnya penuh ketegasan kini dipenuhi kebingungannya sendiri. Ia melihat lebih dekat, mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Hikari.
Di saat itu juga, Kage membalas dengan nada yang tegas namun lembut, matanya yang tajam menatap jauh ke depan. "Hikari tidak sakit, tapi dia terluka... Dia terluka karena Lily, dia hampir mati karena kehilangan banyak darah dan dia masih bisa bertahan sampai sekarang... Aku sudah bilang bahwa dia adalah gadis yang kuat, dia bahkan berani menantang Lily..." Suaranya sedikit bergetar, mencerminkan perasaan yang mendalam. Kage tahu betul betapa kerasnya perjuangan Hikari, dan betapa besar pengorbanannya untuk bisa berdiri di tempat ini, meski tubuhnya masih lemah.
"Lily?! Lily melakukan itu?! Setelah dia bersikap jalang seperti itu?!" Chichi menatap tak percaya, kata-katanya meluncur begitu cepat, seolah tak percaya bahwa seseorang bisa sampai melakukan hal seperti itu pada Hikari. Wajahnya yang tampak tenang kini berubah tegang, menunjukkan kekhawatirannya yang mendalam. Matanya melotot, mulutnya ternganga, sulit membayangkan seseorang yang sudah dianggapnya sebagai bagian dari kehidupan ini bisa berbuat sekejam itu.
"Sekarang kau tahu faktanya..." Kage menatap tajam, suaranya semakin serius, penuh dengan perasaan yang belum bisa disalurkan sepenuhnya. Sementara Hikari hanya terdiam, tubuhnya terasa lelah dan kaku, namun ia mencoba tetap bertahan. Ia tak ingin terlalu banyak menjelaskan, dan hanya bisa menutupi tubuhnya dengan selimut yang ada di dekatnya, seolah ingin menyembunyikan segala perasaan yang bergejolak dalam dirinya.
Chichi terdiam sejenak, mencoba mencerna apa yang baru saja dia dengar. Selama ini, ia selalu berpikir bahwa hidup Hikari dan Kage adalah sesuatu yang sederhana, namun kenyataannya jauh lebih kompleks. Selama ini, dia seringkali ikut campur, mengatur banyak hal dalam hidup mereka tanpa sepenuhnya memahami betapa beratnya yang mereka jalani. Mungkin sekarang, setelah mendengar ini, Chichi akan memikirkan segala sesuatu dengan lebih hati-hati. Dia sadar, meskipun Hikari sering terlihat tegar dan kuat, ada banyak luka yang harus dia sembuhkan, luka yang tak pernah terlihat oleh orang lain.
Mungkin sekarang dia tahu bagaimana harus menghadapi situasi seperti ini, bahkan saat melihat Hikari terluka hanya untuk Kage. Sudah jelas Hikari berusaha sangat banyak, lebih dari yang bisa dilihat orang lain. Dan Chichi mulai merasa ada yang harus dia lakukan agar Hikari bisa mendapatkan kebahagiaan yang layak dia terima.
Namun, Chichi mencoba melanjutkan obrolan, berharap bisa meyakinkan dirinya sendiri. "Aku ingat soal bayi yang dibawa Chen ketika kalian pergi... Chen mengaku itu adalah bayi yang kau rawat..." Suaranya sedikit pelan, tetapi jelas. Kata-kata itu membuat Hikari terkejut, hatinya sedikit tergetar mendengar sebutan itu. Bayi yang dimaksud adalah Nian, bayi yang sudah lama ia rawat, dan bayangan tentang Nian yang sudah meninggalkannya membuat hatinya kembali terasa perih. Tiba-tiba kenangan indah itu datang begitu saja, mengingatkan pada waktu-waktu ketika ia bersama Nian, berusaha menjadi ibu yang terbaik untuknya meskipun segala kesulitan datang silih berganti.
"Jika memang dia bayi mu? Sudah kuduga dia bukan bayi Chen, benar-benar pandai berbohong. Kage!! Sejak kapan kau membuat bayi bersama dengan nya?!" Tatapan Chichi kembali tegas, dan nada suaranya lebih tinggi, jelas merasa sangat terkejut dan sedikit bingung dengan penjelasan yang baru saja didengarnya. Wajahnya berubah serius, seolah menunggu penjelasan lebih lanjut. Matanya yang sebelumnya dipenuhi kebingungan kini dipenuhi rasa ingin tahu yang sangat mendalam.
"Itu bukan bayi Mas Kage!" Hikari langsung menyela dengan cepat, suaranya sedikit panik, mencoba menjernihkan segala salah paham. Hal itu membuat Chichi terdiam sejenak, menatapnya dengan serius, seolah ingin memastikan bahwa dia benar-benar mendengar dengan baik.
"Apa maksudmu?" Chichi menatap dengan serius, suaranya kali ini lebih tenang, meskipun masih ada kekhawatiran yang tersisa. Ia merasa ada sesuatu yang lebih besar di balik cerita ini, sesuatu yang lebih dalam dan lebih rumit dari yang ia duga.
"Maafkan aku... Um..." Hikari terdiam sejenak, mencoba mencari kata-kata yang tepat. Ia merasa sedikit terhimpit dengan banyaknya pertanyaan, dan matanya beralih sejenak menatap Kage yang juga menatapnya dengan penuh perhatian. Kayaknya Kage menunggu perkataan lanjutan darinya, menunggu penjelasan lebih lanjut yang bisa memperjelas keadaan.
"Tapi, aku yang mengadopsi Nian," tambah Hikari, akhirnya bisa mengeluarkan kata-kata yang selama ini ia pendam. Ia bisa merasakan beban yang berat terangkat sedikit setelah mengungkapkan kebenaran itu. Namun, ada rasa kesedihan yang juga hadir bersamaan dengan pengakuannya itu.
Seketika mata Chichi membesar dan tak percaya, terkejut mendengar jawaban yang tak pernah ia duga.
"Kenapa kau melakukan itu? Itu adalah hal gila yang pernah aku dengar... Bukankah kau tinggal sendirian, tapi kenapa kau memilih mengadopsi bayi yang sangat merepotkan, apalagi itu bukan darah dagingmu sendiri?" tatap Chichi, matanya kini tampak penuh pertanyaan dan kebingungannya semakin jelas terlihat. Dia tak mengerti mengapa Hikari memilih jalan yang begitu sulit, begitu penuh tantangan, padahal dia bisa memilih hidup yang lebih mudah, lebih sederhana.
Lalu Hikari tersenyum lembut, senyum yang penuh dengan kedalaman hati. "Aku mengadopsi Nian, karena aku butuh kebahagiaan sendiri, aku juga belajar menjadi ibu yang baik, agar ketika aku memiliki bayiku sendiri, aku bisa menanganinya dengan mandiri. Meskipun aku banyak meninggalkan Nian karena suatu kesibukan, tapi cinta yang akan aku berikan akan terus berlanjut pada Nian... Ketika aku tahu cinta dengan orang lain tidak akan tentu bisa membangun rumah tangga yang baik karena aku sendiri juga kurang belajar menjadi istri maupun ibu rumah tangga yang baik, jadi aku membawa Nian dan mengurusnya sendiri, selama sendirian di apartemen, Nian lah yang bisa mengisi waktu luangku. Setiap dia menangis, dia meminta susu, setiap dia ingin meminta perhatian, dia memintaku bermain dengannya, dan setiap dia sulit tidur, aku yang harus terjaga karena dia, tapi aku tidak akan kesal, karena aku selalu berpikir bahwa aku sedang belajar dan lama kelamaan aku bisa menerima semua ini," kata Hikari dengan penuh emosi, suaranya sedikit bergetar, namun ia bisa merasakan ketenangan seiring dengan mengungkapkan perasaannya itu.
Chichi yang mendengar itu tadi menjadi terdiam tak bisa berkata-kata. Ia seperti terpikirkan soal perkataan Hikari tadi.
Lalu Kage mendekat, memegang bahu Hikari dan merangkulnya. "Chichi, inilah sebabnya aku menyukai gadis seperti Hikari. Tak peduli apa pekerjaannya, tak peduli apa jabatannya, tak peduli apapun yang tidak akan berguna dalam kebahagiaan keluarga, aku mendapat penerangan dari Hikari karena dia gadis yang bertanggung jawab, lembut dan sangat penyayang. Di luar sana, wanita yang terlihat bagus, terlihat bermartabat tinggi, belum tentu bisa sama seperti Hikari, dia gadis yang penuh tanggung jawab," tatap Kage.
Chichi masih terdiam, ia lalu menghela napas panjang.
"(Mungkin, aku memang salah menilai...) Baiklah, tapi aku akan mempertimbangkannya lagi," kata Chichi. Seketika Kage dan Hikari tersenyum senang.
"Tapi, di mana bayi itu?" Chichi menatap dengan ekspresi serius, tetapi ada kekhawatiran yang tersirat dalam suaranya.
Seketika, Hikari menatap ke bawah, hatinya serasa tertahan. Tanpa bisa ditahan lagi, air mata pun mulai mengalir deras dari pelupuk matanya. Wajahnya terlihat begitu rapuh, seperti telah menahan terlalu banyak beban yang sulit ia ungkapkan. Kage, yang berdiri di sampingnya, langsung terkejut melihat reaksi Hikari. Selama ini, ia sudah terbiasa melihat Hikari kuat, tetapi sekarang Hikari begitu rapuh di depannya. "Hikari, sudah ku bilang, jangan dibawa sedih, atau Nian juga akan tidak rela...."
Hikari tersadar dan menatap Kage, mencoba mengendalikan diri. Ia menggeleng perlahan, berusaha menghapus air mata yang terus mengalir. Lalu ia menatap Chichi, berusaha tersenyum meskipun itu terasa begitu berat. "Dia... Dia sudah menemukan keluarganya..." katanya dengan suara lembut, tetapi ada getaran yang tak bisa disembunyikan dalam kata-katanya.
"Begitu ya, sayang sekali..." Chichi menghela napas panjang, wajahnya tampak kecewa meskipun ia berusaha menyembunyikannya.
"(Aku tahu, aku juga tidak mengerti kenapa Chichi bertanya soal Nian... Apakah dia menginginkan bayi seperti Nian?)" Hikari terdiam, pikirannya berkecamuk.
"Hikari!" panggil Chichi tiba-tiba, memecah keheningan yang terasa begitu panjang.
"Ah, iya," jawab Hikari, sedikit terkejut dengan panggilan itu, mencoba merespons dengan cepat meski hatinya masih dipenuhi banyak perasaan yang belum terungkap.
"Tak ada perempuan lain yang sama denganmu. Jika kau memang memiliki tanggung jawab yang besar, tuntunlah putraku menuju cahaya mu," tatap Chichi dengan serius, matanya penuh makna.
"Dan soal Nian yang tidak ada, kupikir dia bayi kalian, aku ingin senang tapi tak jadi..." Chichi menambahkan, suaranya kini terdengar agak samar, seolah ada keraguan yang menggelayuti hatinya. Tanpa menunggu reaksi lebih lanjut, ia langsung berbalik dan berjalan keluar dengan langkah yang berat, meninggalkan ruangan itu begitu saja. Hikari dan Kage saling menatap dalam kebingungannya. Ada banyak hal yang tak terucapkan di antara mereka.
"Apa maksudnya itu?" Hikari bertanya bingung, matanya masih menatap pintu yang baru saja ditutup oleh Chichi.
"Chichi sangat menginginkan bayi dari keturunannya..." kata Kage dengan kecewa, nada suaranya rendah dan penuh penyesalan. Ia bisa merasakan bahwa keinginan Chichi untuk memiliki keturunan adalah bagian dari mengapa dia bisa begitu terikat dengan Nian. Terkadang, seseorang merasa kosong ketika tidak ada penerus yang bisa melanjutkan warisan atau impian mereka.
Hikari juga terdiam, kecewa dengan apa yang baru saja terjadi. Ia merasa seolah-olah dirinya terjebak dalam situasi yang tak pernah ia duga. "(Jadi itu alasan Chichi menceraikan Lily saat itu, Chichi ingin keturunan....)" pikirnya dalam hati, mencoba memahami dengan lebih mendalam apa yang sebenarnya terjadi dalam kehidupan Chichi.
Lalu terdengar Kage memanggilnya dengan lembut, "Hikari...." Nama itu terdengar begitu akrab di telinganya, membawa rasa nyaman yang membuat Hikari menoleh dengan penuh perhatian.
"Hikari, kini kita tak perlu khawatir lagi," kata Kage, matanya penuh keyakinan saat menatap Hikari sangat dekat. Ia meraih tangan Hikari dengan lembut, dan dari ujung jarinya, ia bisa merasakan ketenangan yang mengalir. Ia juga memegang tangan Nian, yang kini terlelap dalam tiduran kecil di pelukannya. "Kita sudah melewati banyak hal, dan sekarang kita hanya perlu saling menjaga."
"Ya, aku bisa lega, Chichi benar-benar mengatakan itu," tambah Hikari, sedikit tersenyum dan mendekat. Ia mencium pipi Kage dengan penuh rasa senang, merasa tenang setelah berbicara panjang lebar dengan Chichi meskipun belum sepenuhnya jelas. Kage kemudian membalas dengan mencium keningnya, sebuah tanda kasih sayang yang sederhana, namun sangat berarti bagi mereka berdua. Akhirnya, mereka bisa tersenyum senang, merasa lebih dekat satu sama lain, meskipun dunia di luar mereka masih penuh dengan keraguan dan ketidakpastian.