Bukan nya mendapat pencerahan, Lily justru semakin kesal. "Jangan ajari aku gadis polos, semua orang juga tahu hal itu!" kata Lily dengan nada penuh kebencian, matanya menyala marah. Wajahnya yang cantik kini dipenuhi oleh kemarahan, bibirnya yang sebelumnya halus, kini terkatup rapat seakan menahan amarah yang membakar hatinya.
"Jika kau sudah tahu, kenapa kau tetap melakukan hal yang akan kau sesali? Kau benar-benar wanita yang payah," Hikari langsung menyela, tatapannya tajam, penuh kebencian. Ia merasa dirinya lebih kuat daripada Lily yang tampak begitu lemah dan penuh kebohongan. Hikari menatap Lily dengan sikap penuh keberanian, seolah tidak takut sedikit pun dengan ancaman yang ada. Seketika, Lily langsung marah dan dengan cepat mengarahkan pisaunya kembali ke luka Hikari. Namun, yang lebih mengejutkan, dia kembali menusuk paha Hikari yang sudah terluka itu, menambah rasa sakit yang tak tertahankan.
"Ack!!" Hikari terkejut dan mencoba menahan rasa sakit yang semakin mendera tubuhnya. "(Sakit... Sakit sekali...)" Ia menangis menahan teriakan kesakitan nya, bibirnya bergetar, namun ia berusaha menahan diri. Cairan panas mengalir dari luka-luka yang terbuka di tubuhnya, darah mengalir deras, namun ia tetap bertahan, meski setiap detik terasa seperti penyiksaan yang tak terbayangkan.
"Rasakan itu, kau itu hanyalah gadis kampungan... Sangat mustahil jika diterima di keluarga konglomerat," bisik Lily, suaranya penuh hinaan, dengan senyum mencemooh yang hampir tidak tampak pada wajahnya yang marah. Namun, Hikari tetap tidak gentar, bahkan matanya semakin tajam menatap Lily.
"Tidak, kau salah," kata Hikari, suaranya tegas dan penuh keyakinan. "Siapa bilang mereka menolak? Sudah jelas sekarang mereka menerima ku dan mulai mengakui ku... Uang bisa mempengaruhi nada bicara, pengetahuan mempengaruhi gaya bicara, moral mempengaruhi etika berbicara... Jadi kau sudah paham apa yang aku katakan tadi... Moral ku lebih tinggi daripada uang mu," kata Hikari, matanya berbinar seakan kata-katanya adalah mantra yang tak bisa dihentikan. Ia tidak hanya berbicara soal uang atau status, tapi tentang harga dirinya, tentang prinsip yang tak bisa digoyahkan oleh siapa pun, termasuk oleh Lily.
"Cih... Sialan... Kau pikir hanya karena masalah aku tidak perawan, kau jadi yang menang... Memangnya kau juga masih perawan?!" Lily menatap merendahkan, tidak bisa menerima kenyataan bahwa Hikari bisa melawan dengan kata-kata dan keberanian yang tak biasa. Ia merasa tersinggung oleh kenyataan bahwa Hikari berani berbicara dengan percaya diri di hadapannya, seolah dirinya yang selama ini merasa superior kini harus berhadapan dengan seseorang yang tidak takut untuk melawan.
Lalu Hikari mencoba tersenyum kecil, meskipun tubuhnya kesakitan, senyuman itu seolah memancarkan ketenangan yang luar biasa. "Aku memiliki karunia, sebuah cahaya yang tidak akan pernah pudar, tidak akan pernah kotor... Dan aku akan bertemu dengan seseorang yang membuat mawar putih menjadi mekar segar... Dan tak akan ada yang bisa menyaingi cahaya yang aku punya..." Tatapnya, penuh keyakinan dan kedamaian, seakan apa yang dia katakan adalah kenyataan yang sudah terjadi dalam hatinya.
"Sialan... Jangan coba-coba menyombongkan dirimu!" Lily berteriak, suara penuh kemarahan, seakan takut dengan apa yang baru saja diucapkan Hikari. "Biarkan kau mati di sini, biarkan kau kehabisan darah di sini, benar-benar gadis sialan!" kata Lily, langkahnya berat, namun matanya tampak penuh kebencian. Seolah ia ingin menghapus semua keberadaan Hikari dari dunia ini, untuk menghancurkan apa yang selama ini dianggapnya sebagai ancaman bagi dirinya.
"Jika kau meninggalkan ku di sini, cepat atau lambat mereka akan menemukan ku dan kau akan ditangkap," tatap Hikari, matanya menantang, penuh keteguhan. Ia tahu Lily tidak akan pergi begitu saja. Lily hanya akan membiarkannya mati jika dia bisa melarikan diri dari tanggung jawabnya. Tapi Hikari tahu, di suatu titik nanti, kebenaran akan muncul juga. Namun, Lily tidak menghiraukannya dan melangkah pergi begitu saja, seakan Hikari bukan lagi bagian dari cerita hidupnya.
Setelah dia pergi, terlihat Hikari kembali menggigit bibirnya dan menahan rasa sakitnya yang semakin dalam. Ia mencoba melepaskan tangannya yang terikat, tetapi tetap saja susah untuk dilepaskan. "(Astaga... Ini benar-benar sangat sakit, jika aku dibiarkan seperti ini, aku akan mati.)" Ia memilih menutup mata dan meredakan sakitnya dengan tidur sebentar. Namun, tidur itu seakan menjadi pelarian terakhirnya, di mana ia berharap bisa melupakan semua rasa sakit yang menggerogoti tubuhnya. Hikari merasa dunia ini begitu sunyi dan kesepian, tidak ada seorang pun yang peduli dengan dirinya.
"(Kenapa ini terjadi padaku? Kenapa susah sekali mencintai seseorang yang harus dianggap oleh orang lain miliknya... Jika memang sudah menjadi milikku, kenapa masih saja disalahpahami... Apa salahku sebelum aku lahir, kenapa kasus ini membuatku hampir mati begini? Aku sudah berjuang sangat keras, bahkan konflik seperti ini bisa terjadi lagi... Sampai kapan Chichi akan bisa yakin padaku, aku benar benar hampir menyerah, tapi jika bukan karena Mas Kage meminta ku sabar, aku sudah bersabar sangat banyak...)" pikir Hikari, matanya yang terpejam semakin lemas. Ia merasa dunia ini tidak adil, ia merasa begitu kecil dan tak berdaya, darah terus mengalir dari tubuhnya, menandakan bahwa waktu semakin sempit. Namun, dalam hatinya, ada sebuah harapan kecil yang masih bertahan, meskipun ia tak tahu apakah itu akan bertahan lama.
"(Lupakan saja... Aku akan mati di sini, untuk terakhir kalinya, biarkan aku merasakan pelukan Mas Kage... Hanya dia yang akan membuatku hangat dan aku bisa merasakan bahwa tubuhku masih bisa dipeluk olehnya... Mas Kage... Aku percaya padamu...)" Hikari menutup mata dan terlihat seperti mayat yang duduk terikat di kursi itu, namun ada sebuah cahaya kecil yang masih bertahan di dalam dirinya. Sebuah cahaya yang tidak bisa dipadamkan oleh siapapun, bahkan oleh Lily yang begitu penuh kebencian.
Tapi siapa sangka, ketika dia membuka mata, dia sudah merasakan kehangatan pelukan seseorang. Ia menengadah dengan mata yang masih lemas dan melihat bahwa itu Kage, memangkunya dengan penuh kasih sayang dan menyelimuti dirinya dengan bajunya yang hangat.
"(Mas Kage...)" Hikari terdiam, rasanya hatinya dipenuhi dengan kebahagiaan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Ia merasa seakan-akan dunia berhenti sejenak, hanya ada dirinya dan Kage di dunia ini.
"Cepatlah ke rumah sakit! Hikari tak akan bisa menahannya!!!" kata Kage, suaranya penuh kecemasan. Ia tidak bisa membiarkan Hikari terus menderita seperti ini. Dalam tatapan matanya, ada ketegasan, namun juga rasa sayang yang tak terbendung.
"(Mas Kage... Kau datang tepat waktu.)" Hikari kembali menutup mata, dan Kage juga tak tahu bahwa Hikari tadi membuka matanya, karena ia begitu fokus pada kesehatannya yang memburuk.
--
Sebelumnya, Lily keluar dari sebuah rumah kecil. Ia terkejut dan berhenti berjalan ketika melihat Kage menatap dingin padanya di luar. "Tuan Kage!! Bagaimana bisa!!" Lily terkejut tak karuan.
"Dimana Hikari?!" tatap Kage dengan tegas.
"Dia... Dia sudah mati!!" balas Lily. Di saat itu juga Kage memasang mata lebar dan mendekat berjalan ke Lily.
"Tuan Kage... Kau ingin apa?!" Lily memasang wajah waspada. Tapi Kage menarik lengan Lily, membuat Lily tertarik dan menyingkir dari pintu rumah itu.
Kage segera berjalan ke dalam rumah itu dan melihat sekitar, tak ada siapa-siapa sama sekali.
"Tuan Kage!! Aku sudah bilang bahwa gadis itu mati!! Sebegitu dinginkah kau tidak mendengarkan bicaraku?!" teriak Lily dari luar. Lalu Kage menoleh dengan lirikan tajam. "Sampai kapan pun, tak akan ada orang yang mau mendengarkanmu," kata Kage.
Mendadak ada mobil polisi datang dan beberapa polisi keluar langsung menangkap Lily.
"Apa!! Tidak!! Kenapa dengan kalian?!" Lily terus memberontak.
Lalu Kage berjalan mendekat padanya. "Lily, kasus sebelumnya... Kasus pelecehan yang kau nikmati sendiri, kau tidak masuk penjara karena kau menebus beberapa uang, sebegitu mudahnya kau dilepaskan begitu saja hanya karena itu kasus yang dapat kau selesaikan dengan uang. Mari kita lihat... Dengan apa lagi kau menyelesaikan kasus ini karena telah menculik Hikari dariku, hingga saat aku tahu Hikari terluka, tiada, aku tidak akan melepaskanmu, bahkan hukum tidak akan menghentikanku untuk melakukan hal yang akan aku lakukan, sama seperti di masa lalu..." kata Kage. Ia membuat Lily ingat bahwa Kage pernah menjadi pembunuh di masa lalu.
"Kau tidak bisa melakukan ini padaku, Tuan Kage!! Aku membencimu?! Dan juga gadis itu!! Aku harap kalian mati!!" teriak Lily yang diseret oleh para polisi itu.
Lalu Lily menatap Kage dengan mata penuh amarah dan kebencian yang memuncak. "Tuan Kage!! Dengarkan aku dulu!!! Kenapa kau lebih memilih memanggil polisi, kau tidak tahu aku bisa melepaskan diri dengan uang, apa yang sebenarnya kau pikirkan? Kau masih lemah dalam memberanikan diri!" teriak Lily dengan penuh penghinaan, mencoba meruntuhkan keyakinan Kage dengan kata-kata tajamnya. Ia merasa seakan-akan Kage masih terjebak dalam keraguan, berpikir bahwa uang adalah kunci dari segalanya, bahkan dalam keadaan seperti ini.
Namun, Kage hanya menatapnya dengan tatapan dingin yang tak bergeming, seperti tidak terpengaruh oleh ocehan Lily yang semakin liar. Matanya penuh keteguhan, tak ada sedikitpun keraguan di sana. Perlahan, ia mengeluarkan pistol dari balik jaketnya, gerakan itu begitu tenang, namun memberi ancaman yang jelas bagi siapa pun yang melihatnya. Suasana menjadi tegang seketika, udara terasa kaku, dan waktu seakan terhenti sejenak. "Aku sudah bilang, sampai kapanpun, tak akan ada yang pernah mendengarkanmu, lagi," kata Kage dengan suara rendah yang tegas, namun penuh kebencian yang tak terkatakan.
Dengan gerakan cepat, tanpa memberi kesempatan bagi Lily untuk melanjutkan kata-katanya, Kage menarik pelatuk pistol tersebut. Bunyi tembakan yang keras menggema di sekitar rumah itu, menghentikan segala bentuk gerakan dan suara di sekitarnya. Semua polisi yang ada di luar rumah langsung terkejut, tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Mereka hanya bisa berdiri kaku.
Wajah cantik Lily yang selama ini selalu terawat dan penuh keanggunan berubah menjadi jelek dalam sekejap. Darah menyembur dari kepalanya, mengotori rambut dan wajahnya yang sebelumnya bersih. Dalam hitungan detik, tubuhnya terkulai lemas, jatuh ke tanah tanpa daya, mati di tempat. Semuanya terasa seperti mimpi buruk yang tak bisa dipercaya.
Kage menatap tubuh Lily yang tergeletak tanpa nyawa, wajahnya tetap dingin, tanpa sedikit pun penyesalan. "Kau bilang kau bisa membebaskan diri dengan uang, sekarang cobalah bebaskan diri dari neraka timbangan," kata Kage, suara rendah namun sangat tegas. Tatapan matanya benar-benar membunuh, tajam dan penuh kebencian. Tidak ada sedikit pun keraguan di matanya. Kini, Kage kembali menjadi sosok yang dikenal banyak orang, seseorang yang tak takut untuk membunuh demi orang yang ia cintai.
Kage menghela napas panjang, ia kembali masuk ke dalam rumah itu dan perlahan mencium aroma darah yang masih segar.
Ia mencium darah itu sambil melihat sekitar hingga ia menemukan pintu kecil menuju bawah tanah. Ia membukanya dan seketika aroma darah itu muncul dari sana.
"(Ini sudah jelas darah dari Hikari.)"