Tak lama kemudian, mereka berdua—tepatnya pasangan itu—berada di dapur yang hangat, dipenuhi aroma sabun dan suara gemericik air dari keran. Cahaya matahari siang menyorot lembut melalui jendela kecil di sudut ruangan, menciptakan bayangan-bayangan yang menyelimuti mereka dalam kehangatan. Kage mencuci piring dengan teliti, gerakan tangannya teratur dan rapi, seolah ia terbiasa melakukannya, padahal dia bukan seseorang yang mudah berada di dapur. Di sebelahnya, Hikari berdiri sambil mengelap piring yang sudah dicuci, mengeringkan setiap lekuk piring dengan kain lembut. Mereka tampak larut dalam kebersamaan sederhana ini, menikmati momen-momen kecil yang jarang terjadi.
Paman Luo mengintip mereka dari balik pintu, mengamati bagaimana punggung mereka hampir bersentuhan, kadang gerakan mereka begitu sinkron, seperti sepasang penari yang saling memahami. Sesekali, suara tawa kecil terdengar ketika Kage dengan iseng menempelkan busa sabun di wajah Hikari. Saat busa sabun itu menyentuh kulitnya, Hikari tertawa pelan, tetapi ekspresi wajahnya menunjukkan sedikit rasa kesal. Namun, tatapannya tidak bisa menyembunyikan kegembiraan dan kehangatan yang ia rasakan di dalam hatinya. Momen kecil ini, yang mungkin terlihat sepele bagi orang lain, ternyata begitu berarti bagi mereka berdua.
Paman Luo yang melihat semua itu hanya bisa terdiam, berdiri di sana tanpa kata-kata. Tatapan matanya menjadi suram, bibirnya terkatup rapat, seolah ada beban yang tiba-tiba muncul dalam benaknya. Ia mulai berpikir dalam diam, "(Mereka terlihat sangat senang... Tapi aku masih khawatir dengan kondisi Hikari.)" Paman Luo menyadari bahwa di balik wajah ceria Hikari, mungkin masih ada rasa sakit yang ia pendam. "Aku juga belum tahu siapa pria itu," lanjutnya dalam hati. Bahkan, jika ia menebak, usia Kage terlihat cukup jauh lebih tua dibandingkan Hikari, yang masih begitu muda dan memiliki masa depan panjang di depannya. Paman Luo menggeleng, merasa sedikit ragu, "Apa Hikari akan bahagia? Aku masih belum yakin..."
Setelah berpikir sejenak, Paman Luo akhirnya memutuskan untuk mengatakan sesuatu. Dengan suara berat dan rendah, ia memanggil, "Hei, Hikari..." Suaranya terdengar lembut namun tegas, seperti panggilan seorang ayah yang ingin bicara serius dengan putrinya. Panggilan itu membuat Hikari menoleh dengan cepat, namun Kage tetap fokus pada cucian piring di depannya, seolah tak mendengar panggilan itu.
"Ya, Paman Luo?" Hikari menatapnya dengan wajah bingung, alisnya sedikit terangkat, mencoba mencari petunjuk dari ekspresi Paman Luo.
"Aku akan keluar sebentar, kamu bisa menganggap rumah ini milikmu..." Suaranya terdengar pelan, namun penuh makna. Pernyataannya terdengar begitu hangat, seolah Paman Luo ingin Hikari merasa benar-benar diterima dan dianggap sebagai bagian dari keluarga di sini.
Mendengar ucapan itu, Hikari terdiam sejenak, sebelum akhirnya bertanya, "Bagaimana dengan rumah kedua orang tuaku?" Tatapannya menjadi serius, matanya menyiratkan sedikit kerinduan dan juga rasa penasaran yang mendalam.
Paman Luo menghela napas panjang, menatap Hikari dengan pandangan yang penuh arti. Setelah sejenak terdiam, ia berkata, "Nanti sore... Pergilah ke sana sendiri dan lihat apa yang terjadi..." Kalimatnya penuh misteri, dan tatapan matanya mengandung kesedihan dan kekecewaan yang sulit disembunyikan. Setelah itu, ia berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Hikari yang terdiam. Hikari perlahan kembali mengelap piring, namun pikirannya sudah melayang entah ke mana.
Kage, yang sejak tadi mendengar percakapan itu, melirik Hikari dengan lembut. "Kemana dia akan pergi? Memangnya dia tidak lelah?" tanyanya dengan nada penasaran, namun penuh perhatian.
Hikari mengangguk pelan, tersenyum samar, lalu menjawab, "Dia sering berjalan-jalan menghabiskan waktu. Sejak keluargaku tidak ada lagi, Paman memang tinggal sendiri. Dia satu-satunya yang tersisa, selain aku dan kakakku yang juga sibuk dengan urusan masing-masing..."
Kage menatap Hikari dalam-dalam, mencoba memahami perasaan yang ada di balik senyumannya. "Lalu kenapa kau bertanya soal rumah?"
Hikari menarik napas panjang, seolah sedang mengumpulkan kekuatan untuk berbicara, lalu berkata dengan nada sedikit berat, "Orang tuaku tinggal di rumah yang dekat bukit. Mereka tinggal di sana sendirian dulu, bersama aku dan kakakku. Aku hanya penasaran, dan rencanaku tadi ingin ke sana setelah ke makam. Tapi, karena bertemu Paman Luo, mungkin kita akan ke sana nanti sore..." Hikari menatap Kage, namun matanya tampak murung, seolah ada kenangan yang kembali mengusik hatinya.
Kage hanya bisa terdiam, perhatiannya sedikit teralihkan. Di pikirannya, ia terbayang tumpukan kertas yang ada di meja kantornya, setumpuk pekerjaan yang menantinya sekembalinya ia ke sana. Mungkin kekhawatiran soal pekerjaan itu tak bisa sepenuhnya ia lupakan, namun kini ia mencoba menutup mata, menghela napas panjang, membiarkan pikirannya bebas dari beban itu. "(Untuk apa memikirkan hal sebanyak itu, aku kemari juga karena Hikari... Tak peduli soal pekerjaan itu...)" pikirnya dengan tegas dalam hati.
Namun ia tiba-tiba menyadari Hikari sedang menatapnya lama. "Mas Kage?" panggilnya lembut, membuat Kage sedikit terkejut. Ia membuka matanya dan menatap wajah Hikari, yang menatapnya dengan tatapan dalam penuh perhatian.
"Kamu baik-baik saja? Kamu lelah?" Hikari bertanya dengan nada khawatir, menatapnya seolah ia bisa melihat isi hati Kage.
"Ti... Tidak..." Kage menjawab dengan sedikit tergagap, berusaha menutupi pikirannya yang tadi sempat terganggu. Dengan cepat, ia menyelesaikan cucian piringnya, sementara Hikari perlahan mengelap piring satu per satu. Namun Kage tak tahan dan langsung membantu Hikari mengelap piring, gerakannya begitu cepat hingga Hikari hanya bisa terdiam, terkejut dengan sikap Kage yang begitu terburu-buru.
Begitu mereka selesai, tiba-tiba Kage mengangkat Hikari di bahunya. Tanpa peringatan, Hikari pun terkejut, "Ahhh!!?" serunya sambil memegang bahu Kage, wajahnya terlihat kaget.
Kage mengangkatnya seperti mengangkat karung beras, dengan perut Hikari yang tertekan di bahunya, membuat Hikari merasa bingung sekaligus heran. "Apa yang kamu lakukan?!" serunya lagi, masih tak percaya.
Tanpa sepatah kata pun, Kage berjalan keluar dari dapur dengan langkah yang tenang dan penuh keyakinan. Sesampainya di ruang tamu, ia meletakkan Hikari di sofa dengan hati-hati, membuat Hikari terbaring di sana dengan wajah tak percaya. Dan bagian terbaiknya adalah ketika Kage tiba-tiba menunduk, memeluk perut Hikari, lalu menutup matanya sambil mendekatkan wajahnya di perut Hikari, seolah menemukan ketenangan di sana.
"M... Mas Kage? Ken... Kenapa?" Hikari menatapnya dengan wajah yang memerah, bibirnya sedikit terbuka karena kaget dan bingung.
"Tidurlah sebentar..." ucap Kage pelan, suaranya terdengar tenang dan nyaman. Ia menutup mata perlahan, napas hangatnya menyentuh baju di bagian perut Hikari, membuat Hikari semakin berwajah merah. Hikari hanya bisa terdiam, namun ada perasaan nyaman dan tenang yang tak bisa ia jelaskan. Kehangatan Kage membuatnya merasa seperti berada di tempat yang paling aman di dunia.
Tak lama kemudian, Hikari membuka mata. Dia terkejut karena tertidur. Dia bahkan langsung bangun duduk, tetapi terdiam melihat selimut yang menutupi tubuhnya yang tertidur di sofa. "(Apa aku tertidur? Tapi, di mana Mas Kage?)" Dia melihat ke sekitar, tetapi tak ada Kage di sana.
Dia mencoba mencari Kage, bahkan secara kebetulan melihat ke arah jendela belakang. Dia terkejut melihat Kage yang sedang mengobrol dengan Paman Luo. Di sana, Paman Luo berdiri memandang Kage yang berlutut, menanam sesuatu di kebun kecil milik Paman Luo. Sepertinya Kage membantu Paman Luo, dan Hikari terdiam melihatnya, dia tak percaya dengan apa yang dia lihat. "(Apa yang, mereka lakukan?)"
Sebelumnya, Kage mendengar pintu terbuka dan langsung bangun melihat Hikari yang rupanya tertidur. Kage kemudian mengambil selimut dan menyelimutinya perlahan. Paman Luo yang melihatnya menatap Kage dengan tajam.
"(Kenapa menatapku begitu?)" Kage tak tahu harus mengatakan apa, dia hanya bisa berwajah bingung.
Lalu Paman Luo mengatakan sesuatu. "Ikutlah denganku..." Dia keluar dari rumah, membuat Kage masih terdiam, lalu menatap Hikari yang masih tidur pulas sebelum berjalan keluar mengikutinya.
Rupanya, Paman Luo membawanya ke kebun kecil itu, di bawah terik matahari yang hampir sore.
"Aku ingin kamu membantuku menanam tomat di sini. Apakah kau keberatan?" Tatapnya dengan tajam, sepertinya dia ingin menguji Kage yang masih terdiam.
"Apa tujuanmu menyuruhku membantumu?" Dia menyilangkan tangan.
"Jangan bersikap tidak sopan! Hikari dulu sering membantuku, sekarang aku ingin melihat kemampuanmu! Tidak mungkin Hikari menyukai pria yang tidak bisa berkebun!" Paman Luo menatapnya dengan tegas.
Kage menghela napas panjang. Terpaksa, dia menurut. Dia berlutut di tanah dan mulai bekerja dengan profesional. Jelas dia bisa melakukannya, bahkan dia selalu melakukan nya dengan sempurna membuat Paman Luo terdiam curiga melihat itu.
Kemudian, Paman Luo yang berdiri di sampingnya mulai bertanya, "Katakan padaku, apa pekerjaanmu?" tatapnya tajam.
"(Begitu inginnya dia mengetahui aku sampai-sampai khawatir pada Hikari?)" Kage mulai terganggu, tapi kemudian dia menjawab, "Aku hanya seorang karyawan biasa..." Dia mengatakan itu dengan santai dan berbohong, namun nadanya tidak terdengar seperti berbohong, jadi Paman Luo seharusnya percaya dengan hal itu apalagi semua yang di katakan Kage.
"Kenapa Hikari mau menyukai pria karyawan biasa? Bagaimana jika kau sibuk dan tak bisa mengurus Hikari, apalagi aku mau memberikan kebunku yang dekat kota padanya..."
"(Oh, jadi dia punya lahan di kota, itu akan sangat menguntungkan untuk Hikari, jika dia ingin aku juga bisa membantunya kan?)" pikir Kage sambil terus menanam. Kage lalu berkata, "Mau aku seorang apa pun, entah pekerja atau pengangguran, jika Hikari sudah memilihku, dia pasti tak akan menghindar dari apa pun. Dia tak peduli pekerjaan apa yang kumiliki. Aku juga tak peduli pekerjaan apa yang kujalani; jika kau meminta aku untuk menjaganya, meluangkan waktunya, tentu saja aku bisa melakukannya. Pekerjaan bisa kutunda dulu jika Hikari membutuhkanku." Ucap Kage. Sepertinya tekadnya terdengar baik di telinga Paman Luo.
Dia agak tenang mendengarkan, lalu berkata, "Jika memang begitu, tolong jaga Hikari dengan baik. Aku tak bisa selalu mengawasinya karena aku sudah berjanji pada orang tuanya untuk menjaga Hikari. Tapi aku semakin tua dan tak bisa terus melakukannya... Jadi aku meminta bantuanmu..." tatapnya.
Kage hanya terdiam, lalu menjawab singkat, "Aku sudah melakukannya..."
Sementara itu, Hikari memandang mereka dari jauh. "(Mereka seperti membicarakan hal yang sangat serius...)"