Setelah Paman Luo selesai memasak, aroma masakan yang kaya dan menggugah selera memenuhi dapur kecil mereka, menyebar dengan cepat ke seluruh ruangan. Asap tipis mengepul dari piring-piring yang tertata rapi di atas meja, seolah menggoda siapa pun yang berada di dekatnya untuk segera mencicipi kelezatannya. Paman Luo, pria tua dengan tubuh sedikit membungkuk dan senyuman hangat yang selalu menghiasi wajahnya, tersenyum penuh kepuasan. Di wajahnya tergambar kebanggaan seorang koki yang berpengalaman, yang telah menghabiskan bertahun-tahun meracik cita rasa sempurna.
Mereka bertiga duduk di meja makan kayu yang telah mulai usang, namun tetap terawat dengan baik. Permukaan meja itu dipenuhi guratan-guratan dan noda yang menjadi saksi sejarah keluarga mereka, dari generasi ke generasi. Hikari duduk dengan antusias, matanya bersinar penuh semangat. Meskipun wajahnya tampak polos, ada ambisi besar yang menggelegak dalam dirinya untuk bisa menguasai resep-resep rahasia keluarga yang telah diwariskan selama puluhan tahun. Di sebelahnya, duduk Kage yang selalu tampak tenang dan masih terdiam kesal dengan yang tadi.
"(Cih... Itu tadi masih sakit....)" Kage memikirkan kepalanya.
Lalu, Paman Luo menatap mereka dengan tatapan tak biasa. Matanya menyipit, memperhatikan setiap gerakan kecil dan ekspresi yang muncul di wajah Hikari dan Kage. Suasana di ruangan itu menjadi hening dan menegangkan, seolah-olah semua yang ada di sekitar mereka merasakan beban yang tiba-tiba turun. "Sebelum kalian menyentuh makanannya, apakah ada hal yang harus diakui di sini, dan fakta yang harus aku tahu?" Tatapan Paman Luo tertuju lebih dalam kepada Hikari, yang kini duduk dengan gugup, menundukkan pandangan dengan jemari yang saling menggenggam erat di atas lututnya. Hikari terdiam, seolah terperangkap dalam keraguannya sendiri.
"Um... Sebenarnya... Kami sudah lama menjalin hubungan..." Hikari akhirnya membuka suara, nada suaranya bergetar. Wajahnya tampak memerah, tidak tahu harus menjelaskan bagaimana. "Tapi hanya sebatas hubungan, kami tak melakukan apa pun lebih dari itu," lanjutnya, suara yang tadinya nyaris hilang kini berubah menjadi lebih tegas meski disertai gerakan kecil kepala menggeleng panik, seakan takut salah ucap.
Paman Luo menghela napas panjang, wajahnya menunjukkan kebingungan yang samar, namun tetap mempertahankan ketenangan yang mencerminkan kematangan dan pengalaman hidupnya. Ia memandang Hikari dengan campuran rasa prihatin dan kasih sayang yang dalam. "Hikari, kau tak bisa menilai seorang pria dengan sangat singkat. Jika ada sesuatu, katakan saja padaku sekarang. Ini baik-baik saja... Jangan khawatir..." ucapnya dengan suara rendah, penuh perhatian, seakan ingin memberi ruang bagi Hikari untuk jujur tanpa merasa terhakimi.
Namun sebelum Hikari sempat merespon, Kage tiba-tiba menyela, suaranya penuh nada tegas. "Apa maksudmu?" Mata Kage menatap tajam Paman Luo, mencerminkan keberanian yang tak terduga, namun juga rasa frustrasi yang seolah lama terpendam. "Paman berpikir bahwa aku adalah seorang bajingan yang hanya akan memanfaatkan Hikari? Kau tidak tahu masalah apa yang Hikari hadapi di kota. Dia tak memiliki sosok terdekat!" Setiap kata yang diucapkannya terdengar lantang, menonjolkan kemarahan yang sebelumnya tersimpan di balik sikap tenangnya. Ia merasa perlu membela Hikari, merasa bahwa tanggung jawab untuk melindungi dan menjelaskan beban hidup yang ditanggung Hikari adalah miliknya.
"Mas Kage, kendalikan dirimu..." Hikari mencoba menenangkannya, suaranya lembut namun sarat akan kekhawatiran.
Namun, Kage melirik ke arah Hikari, sorot matanya penuh kehangatan bercampur kekhawatiran. "Ini soal penderitaanmu. Kenapa kau tidak mengaku soal penderitaanmu selama ini? Siapa yang bisa benar-benar mengerti dirimu selama kau di kota dan apa yang keluargamu lakukan di sini?" Nada suaranya menuntut, namun penuh perhatian, membuat Hikari sejenak terdiam mendengar kata-kata itu.
Kemudian, Kage mengalihkan tatapan kembali pada Paman Luo, kali ini dengan wajah yang lebih tenang namun serius. "Selama di kota, Hikari adalah seorang gadis yang peduli akan kondisi rumah. Dia gadis rumahan yang pandai, di sisi lain, dia bisa fokus pada pendidikannya sehingga dia mendapatkan pekerjaan yang layak. Tapi di balik sisi itu, ada sisi yang sangat tidak dia sukai. Dia selalu sendirian, membereskan rumah sendirian, sementara kakaknya sibuk mencari seorang pria, apalagi sekarang kakaknya tinggal bersama pasangannya. Dia sendirian, merawat dirinya sendiri... (Aku tak akan menyebutkan soal Nian...) dan hanya aku, hanya aku yang benar-benar paham bagaimana Hikari menderita."
Kata-kata Kage mengalir, menggambarkan dengan penuh detail betapa Hikari harus menghadapi kesendiriannya. "Jika Hikari tidak menerima kepercayaanku dari dulu, maka aku juga tidak akan bertahan memperjuangkan kepercayaanku padanya... Aku masih berusaha mendapatkan kepercayaan Hikari... Kau hanya mengatur kehidupan Hikari dari jarak yang jauh sementara kau tidak tahu kehidupan yang sangat buruk yang dialami Hikari sampai dia tak bisa kembali tersenyum seperti dulu..."
Hikari hanya terdiam, memandang lantai dengan tatapan yang kosong namun penuh kepasrahan. Setiap kata yang Kage ucapkan benar-benar mewakili kehidupannya yang penuh perjuangan. Hatinya bergemuruh, namun ia tak mampu berkata apa-apa. Sorot matanya mulai berkaca-kaca, dan tangan kecilnya perlahan mengepal, menahan segala rasa sakit yang seakan terbangkitkan kembali.
Kini, Paman Luo yang mendengar penuturan Kage menjadi terdiam, menatap mereka dengan ekspresi tak percaya. Matanya melebar, seolah tak mampu memproses kenyataan yang baru saja disampaikan. "Tidak mungkin... Tidak... Hikari pasti tidak menderita hal itu..." gumamnya, dengan suara yang lirih dan gemetar.
Namun, Hikari masih menundukkan wajahnya, suaranya bergetar saat ia mulai berbicara. "Maafkan aku, Paman... Aku tak bisa menjaga diriku dengan baik, aku tak bisa berbaur dengan lingkungan secara cepat, membuatku harus merasakan kesendirian... Tak ada yang bisa kulakukan... Aku tak tahu lagi harus apa, aku bahkan hampir kehilangan kepercayaan diriku sendiri..." ucapnya dengan suara lirih yang penuh luka. Kata-katanya membentuk bayangan perasaan kesepian yang selama ini ia pendam.
"Oh, Hikari yang malang..." ucap Paman Luo sambil menatapnya dengan mata berkaca-kaca, penuh rasa bersalah dan penyesalan. "Maafkan pamanmu ini, Hikari..." Suaranya terdengar lemah, kehilangan nada ketegasan yang biasa ia miliki, seakan semua perasaan terluka Hikari kini menular kepadanya. Hatinya terluka karena ia sadar bahwa ia mungkin kurang memberi perhatian.
"Aku tidak tahu kehidupanmu dan aku hanya berpikir kehidupanmu lebih baik di kota... Tapi, jika kau menganggap menjalin hubungan dengan seorang pria yang kau sukai itu baik, maka aku tidak akan melarangmu, selama kau bertahan lebih baik lagi. Ini baik-baik saja, Hikari..." suara Paman Luo kini terdengar tulus, penuh kasih sayang. Ia tak lagi hanya menjadi sosok paman yang menjaga jarak, tapi juga seorang keluarga yang mencoba memahami kesulitan hidup Hikari.
"... Apakah Paman tidak kecewa? Tidak marah padaku?" tanya Hikari dengan nada ragu, tatapan matanya yang sendu menunjukkan ketakutan bahwa mungkin pengakuannya tadi akan membuatnya kehilangan kepercayaan sang paman.
"Tentu saja tidak..." Paman Luo menggeleng perlahan, dan kali ini menatap Kage dengan pandangan penuh penghargaan. "Jika memang yang kau katakan benar, tolong jangan menyerah untuk mendapatkan kepercayaan Hikari. Aku suka caramu mengakui semuanya meskipun Hikari tidak mau bicara apa pun... Tolong jaga Hikari dengan baik..." ucapnya, memberikan persetujuannya dengan penuh rasa percaya.
Lalu, Kage tersenyum kecil dan mengangguk pelan, sorot matanya menunjukkan kebahagiaan dan rasa syukur yang mendalam karena mendapatkan kepercayaan dari Paman Luo.
"Kalau begitu, silakan dimakan. Aku sudah memasak beberapa kali mengikuti resep ibumu, Hikari..." kata Paman Luo, berusaha mengembalikan suasana menjadi lebih hangat, meski hati mereka semua masih larut dalam percakapan yang emosional dan penuh makna.
"Paman, bisakah kau berikan resepnya padaku saja? Aku bisa meneruskan usaha keluarga kita," kata Hikari dengan nada penuh harap. Matanya memandang ke arah Paman Luo, memohon dengan tulus. Di dalam hati kecilnya, dia sungguh berharap bahwa dirinya bisa membawa warisan keluarga mereka menuju generasi berikutnya.
Namun, Kage yang duduk di sebelahnya hanya tersenyum sinis. Dengan nada mengejek, dia menyela, "Kau yakin bisa memasak? Yang kucicipi dari masakanmu selama ini kurang enak." Perkataannya keluar dengan nada yang sedikit angkuh, namun di balik itu terselip rasa sayang yang hanya dia ungkapkan melalui gurauan dan sindiran. Bagi Kage, ini hanyalah caranya untuk mendorong Hikari agar lebih berusaha.
Hikari mengerutkan alisnya dan menahan amarah yang mulai menyala di hatinya. Bibirnya terkatup rapat, menahan kata-kata yang ingin dia lontarkan sebagai balasan. Namun, tanpa berpikir panjang, dia melayangkan kakinya ke arah kaki Kage, menginjaknya dengan tegas. Kage yang tak menduga serangan mendadak itu terkejut. Matanya terbelalak dan dia meringis pelan, meskipun dengan cepat dia berusaha menutupi rasa sakitnya.
Paman Luo, yang sudah terlalu akrab dengan tingkah laku kedua anak muda itu, hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum tipis. Meskipun tingkah laku mereka sering kali kekanak-kanakan, di dalam hatinya, dia tahu betapa kuatnya ikatan antara Hikari dan Kage. Mereka mungkin suka bertengkar, namun ada kasih sayang yang mendalam yang tersembunyi di balik setiap ejekan dan candaan mereka.
Dengan suara lembut namun serius, Paman Luo bertanya, "Tapi, bagaimana dengan kualitas makanan?" Tatapan matanya yang dalam memandang Hikari dengan penuh perhatian. Paman Luo ingin memastikan bahwa Hikari benar-benar memahami betapa pentingnya menjaga cita rasa yang telah dia bangun selama bertahun-tahun. Makanan bagi Paman Luo bukan sekadar hidangan, melainkan hasil kerja keras dan cinta yang dicurahkan dalam setiap potongan bahan, setiap bumbu, dan setiap teknik memasak yang dia gunakan.
"Paman Luo, jangan percaya padanya. Aku bisa memasak enak," jawab Hikari dengan penuh keyakinan, meskipun nada suaranya terdengar sedikit ragu. "Jika kurang enak, maka aku akan belajar." Matanya berbinar dengan tekad yang tak tergoyahkan. Dia menyadari bahwa jalannya mungkin tak akan mudah, namun dia siap menghadapi tantangan tersebut demi mewujudkan impiannya untuk meneruskan warisan keluarga.
Paman Luo memandang Hikari dengan senyum yang hangat namun penuh makna. Dia tahu betul bahwa semangat Hikari ini adalah permata yang harus diasah dengan tekun. Dengan perlahan, Paman Luo mengulurkan tangannya ke arah rak kayu di sebelahnya, mengeluarkan sebuah buku resep yang tampak tua dan penuh dengan coretan. Halaman-halamannya sudah menguning, dan sudut-sudutnya terlipat karena sering dibuka. Inilah buku resep rahasia keluarga yang dia rawat dengan hati-hati. Di dalam buku itu tersimpan berbagai resep yang telah diwariskan dari generasi ke generasi, yang tak hanya berisi takaran dan langkah-langkah memasak, namun juga kisah-kisah masa lalu yang tertulis dalam setiap catatan kecil di sudut-sudutnya.
"Baiklah, Hikari. Tolong berusahalah, ya," ucap Paman Luo dengan nada penuh harapan, sambil menyerahkan buku resep itu dengan kedua tangan. Buku itu terasa berat, bukan karena ukurannya, tetapi karena nilai sejarah dan tanggung jawab besar yang tersimpan di dalamnya.
"Baik," jawab Hikari dengan suara penuh kebanggaan.