Chereads / Romantika Gadis Kontrak / Chapter 40 - Chapter 40 Bunga

Chapter 40 - Chapter 40 Bunga

"Oh ya, Mas Kage tahu kan jika kakakku itu suka menggoda?" tatap Hikari, matanya bersinar penuh rasa ingin tahu. Senyumnya lebar, menampakkan keceriannya saat membicarakan kakaknya yang nakal.

Kage hanya membalas, "Hm..." sambil mengunyah jeruk yang ia makan, mengalihkan pandangannya sejenak untuk memikirkan kenangan yang terbayang. Suara jeruk yang digigitnya memberi nada segar di tengah pembicaraan, aroma manisnya memenuhi udara di sekitar mereka.

"Kenapa dulu kalian bertemu? Kenapa kakakku mengaku bahwa kau adalah pacarnya? Apakah kakakku menggodamu?" Hikari menatap Kage dengan penuh rasa ingin tahu, menantikan penjelasan yang mungkin akan mengungkap rahasia di balik hubungan mereka. Ekspresi wajahnya mencerminkan campuran kekaguman dan ketidakpastian.

Kage terdiam sejenak, merenung dalam keheningan. Kemudian dia menghela napas, menyiapkan diri untuk mengungkapkan fakta yang sebenarnya. "Sebenarnya... Yuki hanyalah teman sementara. Kami bertemu ketika dia ingin meminta tanda tangan kontrak kerja bersamaku." Suara Kage tenang, namun ada nada kesedihan yang tersirat. "Kebetulan aku menemukan identitasnya dan adiknya, yaitu kau... Aku mulai melihat-lihat informasi kalian, dan yang paling menarik adalah informasi milikmu. Jadi, aku meminta Yuki untuk membuat semua sandiwara itu agar kau bisa menjalin hubungan denganku..."

"Apa?! Lalu, bagaimana dengan ikatan takdir itu? Kau bilang bahwa kita terikat takdir... (Tunggu... Kenapa aku malah mengatakan hal itu?!)" Suara Hikari melambung, terkejut oleh pengakuan Kage. Detak jantungnya berdegup kencang, menandakan betapa besar rasa ingin tahunya.

"Ketika aku mengetahui ada seseorang yang bernama Hikari, aku berpikir mungkin saja akan menyenangkan jika bertemu denganmu," lanjut Kage, memandang jauh ke arah hutan di belakang Hikari. "Apalagi menghadapi kondisi hidupku yang cukup sulit berbaur dengan kehidupanku sendiri. Hingga takdir mengatakan semuanya di akal sehatku yang dulu sudah hampir terkubur." Ia tersenyum pahit, mengingat masa-masa yang berat. "Dia mengatakan bahwa gadis ini adalah gadis yang paling baik. Dia adalah seorang gadis yang dapat menjaga citranya sebagai gadis yang bersih. Kondisi ku yang buruk ini tak layak untuknya, tapi dia dengan mudah sungguh bisa aku dapatkan. Meskipun sudah beberapa kali konflik terjadi, dia berusaha sabar menungguku, benarkan begitu?" tatapnya pada Hikari, yang kini berwajah sangat merah mendengar itu sambil tersenyum dan membuang wajahnya, menutupi rasa malunya.

"(Aku tahu kehidupan kita berbeda, aku tahu cinta kita hampir tidak sebanding, tapi aku tak tahu bagaimana keadaan kita masing-masing. Yang ada di pikiran kita hanyalah berusaha untuk mencintai, saling mencari tahu, dan berusaha untuk mendapatkan satu sama lain. Tapi keadaan terus memaksa kita untuk menjauh. Aku memutuskan untuk tidak mempercayainya dulu karena bisa jadi, ada konflik lagi di antara kita. Aku hanya berharap Mas Kage adalah orang yang sangat terpilih untukku, tak ada duanya...)" pikirnya dalam hati, merenungkan segala kerumitan yang ada di dalam hubungan mereka.

Lalu Kage perlahan memegang pinggang Hikari, menariknya lebih dekat agar mereka dapat berjalan bersama. Sentuhan lembutnya membuat Hikari merasa aman, dan mereka saling menatap dengan tatapan hangat. Senyuman kecil di wajah mereka melahirkan rasa bahagia yang tidak terucapkan. Lalu tanpa ragu, Hikari meletakkan kepalanya di dada Kage, mendengarkan detak jantungnya yang stabil, dan berjalan bersama. "(Meskipun aku tahu waktu ini hanya akan berlalu sebentar, tapi inilah bagaimana aku mendapatkan cara yang lebih baik untuk merasa lebih bahagia...)"

Tak lama kemudian, Hikari berhenti berjalan, membuat Kage menatap bingung. "Kenapa? Kau lelah?" tanyanya, merasa khawatir.

"Tidak, aku menemukan sesuatu..." Hikari menjawab sambil berjalan menjauh dan keluar dari jalan setapak, meninggalkan Kage yang masih terdiam bingung. Ketika Kage sampai di tempatnya, setelah dia menyingkirkan semak-semak untuk menyusul Hikari, dia melihat banyak sekali bunga liar yang cantik. Mereka mekar dengan warna-warni yang cerah, menari-nari lembut dalam hembusan angin yang hangat. Bahkan di sana ada bunga mawar yang merah merekah dan bunga putih yang indah, memberikan aroma manis yang menyejukkan.

"Aku masih ingat saat tempat ini..." kata Hikari sambil mengambil bunga-bunga yang ada di sana dan menyusunnya. Ia bergerak lembut, tangannya yang lentik mengatur setiap kelopak dengan penuh kasih sayang. Wajahnya berseri-seri, seolah kembali ke masa kecil saat ia dan kakaknya menghabiskan waktu di tempat ini.

"Kenapa bisa ada tempat seperti ini?" Kage bertanya, matanya berkeliling mencari keajaiban lain yang mungkin tersembunyi. Ia melihat duri di mawar-mawar itu, untungnya Hikari tak mengambil bunga yang berduri tersebut.

Hikari yang mendengar pertanyaan Kage menjawab, "Aku dan kakakku sering kemari. Kami bermain di sini, membuat beberapa mahkota bunga dan yang lainnya..." katanya sambil duduk di rumput hijau kecil di sana. Ia menyusun bunga-bunga itu dengan hati-hati, menciptakan komposisi yang indah, penuh warna dan keindahan alam.

Kage lalu mendekat dan berlutut di samping Hikari. "Apakah ini istirahat kita?" tatapnya, wajahnya lembut dan penuh rasa ingin tahu.

Hikari tersenyum lembut, lalu perlahan dia mengangkat sesuatu dari tumpukan bunga. Rupanya dia membuat mahkota bunga yang sangat cantik dan dipakaikan di kepala Kage yang terdiam, membuatnya terlihat lebih menawan.

"Hei... lihat, aku juga punya lagi..." Hikari menunjukkan mahkota satunya yang dia pakai sendiri. Kage menjadi terdiam, terpesona oleh keindahan momen itu. Namun, senyuman kecil kemudian muncul di wajahnya. Dia tahu sesuatu yang lebih mendalam: Hikari sedang menikmati waktu di sana, di tempat yang dipenuhi kenangan dan keindahan.

Mereka kembali bermain dengan bunga-bunga itu, menata dan menciptakan berbagai bentuk, tertawa bersama di tempat yang seperti tersembunyi di tengah pohon-pohon yang rindang dan rumput yang lembut. Suara tawa mereka mengalun harmonis, membentuk melodi yang menyatu dengan suara alam di sekitar mereka.

Sesampainya di makam, Hikari meletakkan bunga di makam seseorang yang membuat Kage bingung. Udara di sekitar terasa tenang, seakan membawa nuansa haru yang mendalam. Kage menatap dengan hati-hati, mengamati setiap detail dari makam yang dikelilingi oleh pepohonan yang rimbun. Batunya sederhana, tetapi ada keindahan tersendiri dalam keheningannya.

"(Makam? Kupikir aku akan bertemu Ibu dan Ayah mertua,)" Kage menatap sekitar dengan tidak nyaman, hatinya bergejolak antara rasa ingin tahu dan ketidakpastian. Setiap langkahnya terasa berat, seolah tanah di bawah kakinya menahan beban pikirannya.

Tapi ia baru menyadari ketika Hikari mengatakan sesuatu, suaranya lembut dan penuh kasih. "Ibu, ini aku Hikari, aku datang mengunjungi Ibu dan Ayah," kata Hikari, dengan tatapan yang penuh harapan. Kage dapat melihat kerinduan yang mendalam di matanya, seolah setiap kata yang diucapkannya adalah jembatan menuju kenangan yang telah lama terpendam.

Kage yang mendengar itu menjadi terdiam, seketika ikut berlutut. "(Orang tua Hikari, rupanya ada di sini....?!)" Dia menatap tak percaya, mungkin dia memang belum tahu orang tua Hikari dimakamkan di makam tengah hutan ini. Keheningan seolah melingkupi mereka, dan Kage merasa seperti berada di dunia yang terpisah dari kehidupan sehari-hari, di mana waktu seakan berhenti sejenak.

"Ibu, jangan khawatir ya, aku sudah bisa menjaga diri, dan ada orang yang telah menjagaku," kata Hikari sambil berdoa, melihat sedikit ke Kage. Kata-katanya mengalir lembut seperti aliran sungai, menciptakan ketenangan di antara kepedihan yang dirasakannya. Hikari berdoa dengan penuh ketulusan, dan Kage bisa merasakan kekuatan dari doanya itu.

"Dan aku adalah kekasihnya," Kage menyela dan merangkul Hikari, sebuah tindakan yang menegaskan keberadaannya di samping Hikari. Dalam pelukan itu, ada rasa perlindungan yang tulus, yang seolah menghapus semua kesedihan yang melingkupi mereka.

"... Mas Kage," Hikari terkejut, wajahnya berwarna merah, menciptakan kontras yang manis antara rasa malu dan kebahagiaan.

"Kenapa?" Kage menatap polos, tak menyadari betapa ungkapan hatinya dapat membuat Hikari merasa begitu.

"Ini.... Ini tidak seperti aku sedang memperkenalkanmu," Hikari menatap malu, dan Kage dapat melihat betapa hatinya bergetar. Dia merasakan momen itu, kebersamaan yang muncul di antara mereka berdua, meskipun dibalut oleh rasa canggung.

"Tidak apa-apa, Hikari. Kau juga telah setuju mengajakku ke sini, buatlah orang tuamu senang. Mereka akan mendengarkanmu bahwa kau baik-baik saja. Juga, mereka akan tenang jika ada seseorang yang berada di sampingmu untuk menjaga mu," kata Kage, suaranya lembut tetapi penuh keyakinan. Dia berusaha memberikan kekuatan pada Hikari, mencoba membuatnya merasa bahwa semua ini adalah bagian dari proses penyembuhan.

Seketika Hikari terdiam dan terpukau dengan perkataan itu, lalu tersenyum senang dan mendekat ke Kage. Senyumnya menghiasi wajahnya, memberikan sinar harapan yang hangat dalam suasana yang kelam. "Yah.... Baiklah.... Aku akan mengakui di depan mereka.... Ayah, Ibu, jangan khawatir, aku baik-baik saja di sini," Hikari kembali bicara pada orang tuanya dengan suara yang tegas namun lembut, seolah menegaskan keberadaannya di dunia ini.

Tapi tiba-tiba Kage melihat ada roh wanita duduk di batu nisan makam di depan mereka. Cahaya lembut menyelimuti sosok itu, dan Kage terpesona, tidak dapat mengalihkan pandangannya. Roh itu tidak lain adalah Ibu Hikari. Kage terdiam, hanya dia yang melihatnya karena Hikari menutup wajahnya, terjebak dalam perasaan haru dan kerinduan.

"Terima kasih, tolong jaga dia," roh itu tersenyum dan menghilang dan membuat bunga bunga yang ada di atas batu nisan itu berterbangan. Senyuman itu membawa kedamaian, seolah-olah menandakan bahwa semua akan baik-baik saja. Kage juga ikut tersenyum kecil, merasakan kehangatan dari momen yang menyentuh itu.

Namun Kage merasakan Hikari menangis, seketika dia melihat wajah Hikari yang rupanya benar-benar menangis. Air mata yang mengalir membuktikan betapa dalamnya rasa cintanya kepada orang tua yang telah tiada.

"Hikari, kau baik-baik saja?" Kage menatap, khawatir akan keadaan Hikari. Dia berusaha menenangkan Hikari, berharap bisa memberikan sedikit ketenangan dalam saat-saat sulit ini.

"Hiks.... Maafkan aku, aku hanya.... Hiks.... Mereka mungkin tak bisa melihatku, mereka sedang istirahat di sana dan ini semua membuatku ingat pada apa yang membuat mereka begitu," Hikari menangis, mengingat apa yang membuatnya sedih. Kage mencoba untuk mengerti, berusaha merangkulnya lebih erat, agar Hikari tahu bahwa dia tidak sendirian dalam menghadapi perasaannya.

Lalu dia membuat Hikari berdiri, dan Hikari menengadah menatapnya. "Mas Kage?" dengan air mata masih mengalir. Ekspresi di wajah Hikari menunjukkan kerentanan, tetapi juga kekuatan yang terpendam.

Kage masih memegang kedua tangan Hikari. "Mereka tahu, mereka tahu kau baik-baik saja... Mereka sudah mempercayai ku, tenang saja...." Dia mencium kedua tangan Hikari dan memeluknya, membuat Hikari merasa nyaman. Pelukan itu adalah tempat di mana semua kesedihan bisa terhapus, di mana cinta dan dukungan saling bertautan.