Chereads / Romantika Gadis Kontrak / Chapter 39 - Chapter 39 Danau

Chapter 39 - Chapter 39 Danau

Kemudian mereka benar benar menemukan danau yang sangat cantik.

"Wah...." Hikari tampak terkesan melihat danau itu.

"Yang dibilangnya benar, danau ini tidak terlalu dangkal juga," kata Kage sambil berlutut di tepi danau, merasakan dinginnya air yang menyentuh tangannya. Permukaan air tampak jernih, dengan sedikit bayangan pohon yang bergoyang lembut di atasnya, menciptakan ilusi ketenangan. Cahaya matahari sore memantul di air, membuatnya terlihat seperti serpihan perak yang berkilauan. Hawa sore yang sejuk berpadu dengan aroma alami dari pepohonan rindang yang mengelilingi danau, menambah kesan magis pada tempat itu.

Sementara itu, Hikari hanya berdiri terpaku, wajahnya bersemu merah. "(Aku benar benar tak percaya pemandangan seperti ini bisa di lihat olehku. Tapi memikirkan kembali tujuan kita adalah mandi, apakah ini memang harus dilakukan bersama?)" kedua tangannya menggenggam lengan bajunya erat, seperti berusaha menahan diri dari perasaan malu yang perlahan menyeruak. Wajahnya menunduk, namun sesekali matanya melirik ke arah Kage, lalu buru-buru kembali menunduk saat Kage menyadari tatapannya.

"(Apa yang harus aku lakukan? Aku sudah terkejut dari tadi, bahkan aku yang hampir lupa akan keadaan ini tadi sempat hilang ingatan karena menikmati perjalanan kita berdua yang menikmati segarnya pagi di tempat ini. Tapi, jika soal mandi di danau, apa yang harus ku lakukan?)" Ada getaran halus yang menyelimuti perasaan Hikari, seolah setiap detik di tempat itu semakin mendekatkannya pada sesuatu yang tak bisa ia hindari.

Lalu Kage berdiri tegap, memandangnya dengan ekspresi yang sulit diartikan. "Kau tidak ingin mandi?" tanyanya dengan suara tenang, tapi ada nada hangat dan sedikit menggoda yang membuat Hikari semakin salah tingkah. Suaranya seakan menjadi angin yang berhembus lembut, namun di baliknya ada ajakan yang membuat hati Hikari berdebar.

"(Kenapa dia malah bertanya begitu, sudah jelas itu adalah tujuan pertama kita... Tapi kenapa kau bertanya dengan sangat santai, itu membuat ku merasa kesal, dan itu bahkan terlihat mencurigakan...) Te... Tentu saja ingin... Tapi aku tak bisa....." jawab Hikari dengan suara lirih dan terbata-bata. Pikirannya berkecamuk, sementara dadanya terasa sesak oleh debaran yang semakin kuat. Ia menggigit bibir bawahnya, bingung dan gelisah dengan situasi ini. Kata-katanya terputus-putus, suaranya seperti tenggelam dalam suasana tenang yang mengelilingi mereka.

"Tak bisa berenang begitu? Air ini dangkal kan...?" Kage menatap bingung.

Seketika Hikari benar benar tak tahu harus mengatakan apa. "(Aduh.... Bagaimana ini kenapa dia sangat mencurigakan, dia seperti ingin aku cepat cepat mandi, kalau begitu bagaimana dengan mu sendiri?!)" Hikari tampak panik sendiri.

Lalu terdengar ucapan Kage. "Cepat lepas pakaianmu," ujar Kage dengan santai namun pasti. Tatapannya lurus pada Hikari, seolah-olah kehadirannya di sana membuat tempat itu semakin hangat dan nyaman, namun permintaannya justru membuat Hikari merasa semakin kecil dan terpojok. Senyumnya tipis, tampak percaya diri, seperti tahu bahwa Hikari tak akan menolak permintaan itu.

"(Tuh, kan benar!! Dia mau mengatakan hal itu dengan santai nya!! Dia pikir aku apa lepas pakaian di depan pria sepertinya.... Apalagi di bawah cahaya sinar matahari!!) Apa... Le... lepas pakaian... di... di depanmu... Kau gila!!!" seru Hikari dengan wajah yang semakin merah. Matanya membesar, dan suaranya penuh keterkejutan dan ketidakpercayaan. Seluruh tubuhnya terasa panas meski angin dingin sore membelai kulitnya. Hikari merasa semakin terjebak dalam situasi ini, dan hatinya bergejolak antara ketakutan dan rasa penasaran yang aneh.

"Kau mau melepasnya atau aku yang melepasnya?" Kage menatap Hikari dalam-dalam, suaranya lembut tapi ada kekuatan di balik kata-katanya, seakan tidak akan menerima penolakan. Tatapan mata Kage begitu dalam dan meyakinkan, membuat Hikari kehilangan kata-kata. Matanya yang tajam dan serius tampak seperti ombak tenang yang menyembunyikan arus kuat di dasarnya.

"(A.... Apa yang dia katakan itu!! Kenapa bisa bisa nya mengatakan hal itu!? Astaga, apa yang harus kulakukan.... Aduh, aku hanya perlu tenang.... Tenang....)" Hikari menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. "Ba... Baiklah... Aku akan melepasnya," katanya dengan suara nyaris berbisik, mengalah pada keheningan dan aura ketenangan yang menyelimuti mereka. Dengan jari yang sedikit gemetar, ia mulai melepaskan bajunya satu per satu. Setiap kali kain terlepas dari kulitnya, ia merasakan dinginnya angin yang menyentuhnya, membawa rasa malu yang semakin dalam, namun ada sesuatu yang membuatnya merasa bebas, seolah-olah melepaskan semua beban di hatinya.

Setelah selesai, ia melangkah perlahan ke air, merasakan sentuhan dingin yang segera merasuk hingga ke tulang. "(Huf... Ini sangat dingin tapi segar,)" pikirnya, mencoba menenangkan diri dari hawa dingin yang menjalar. Airnya begitu jernih, hingga ia bisa melihat bayangannya sendiri di permukaan. Ada kesegaran yang menenangkan, meski debaran di dadanya masih tak kunjung mereda.

Tiba-tiba, air di sekitarnya beriak keras, seolah ada sesuatu yang muncul dari dalam kedalaman danau. Gelombang kecil menjalar, memecah kesunyian yang sebelumnya menyelimuti. Hikari terkejut, matanya melebar dan jantungnya berdetak semakin cepat. "Ahhhhh!" Ia berteriak sambil menutup matanya, suaranya menggema di antara pepohonan. Namun, saat memberanikan diri membuka mata, ia melihat sosok Kage yang begitu dekat, nyaris menyatu dengan bayangan air yang mengelilinginya.

Tatapan Kage begitu lembut, dalam, dan penuh arti. Ia memandang Hikari seakan ingin menyampaikan sesuatu yang tak terucap dengan kata-kata. "Kau terlihat cantik, Hikari... Dengan telanjang seperti itu," katanya, suaranya rendah dan bergetar lembut di udara. Setiap kata yang diucapkannya terasa mendalam, seakan menciptakan getaran yang langsung menyentuh hati Hikari.

"Kau... Hidung belang... Pergilah!" Hikari mencoba menutupi perasaan yang bergejolak, namun nadanya terdengar lebih lemah daripada yang ia maksudkan. Ia berusaha mendorong Kage, tangannya menyentuh dada Kage yang kokoh, namun Kage dengan sigap menariknya mendekat. Tubuh mereka kini begitu dekat hingga Hikari bisa merasakan hembusan napasnya dan detak jantungnya yang juga berirama. Dalam keheningan itu, dada Hikari bertemu dengan dada Kage, dan tubuhnya membeku oleh sentuhan itu.

"Ah..." Hikari bergumam pelan, terkejut oleh keintiman yang tiba-tiba ini. Kage menatapnya dengan penuh perhatian, tangannya mengangkat dagu Hikari, membuat mereka bertemu pandang dalam keheningan yang begitu dalam. Kage mendekatkan wajahnya perlahan, lalu bibir mereka bertemu dalam ciuman yang lembut, hangat, dan penuh makna, seakan waktu berhenti sejenak hanya untuk mereka berdua.

Namun, ketika kesadaran perlahan kembali, Hikari tersentak dan mendorong Kage menjauh. Ia menatapnya dengan sorot mata yang penuh kebingungan dan ketidakpercayaan, sementara perasaannya berkecamuk dalam diam. Tatapan Kage tak berubah, masih terlihat tenang, namun Hikari merasa ada sesuatu yang telah berubah dalam dirinya. Dengan perasaan yang sulit dijelaskan, ia mengalihkan pandangannya, menarik napas panjang, lalu beranjak keluar dari danau, meninggalkan Kage yang terdiam di belakangnya.

"Hikari, tetaplah di sini," seru Kage, suaranya dipenuhi harapan yang samar. Tapi Hikari tidak menoleh, terus melangkah dengan wajah yang menampakkan campuran rasa malu dan kebingungan. Setiap langkahnya terasa berat, namun ia terus berjalan menjauh, memunggungi danau yang berkilauan di bawah sinar matahari pagi.

"Tidak mau, dasar!" katanya kesal, meski kata-katanya tertahan di antara nada kebingungan dan kebencian. Sementara itu, Kage menghela napas panjang, matanya mengikuti Hikari yang semakin menjauh, lalu menggeleng pelan, seolah menyadari betapa rumit perasaan yang baru saja mereka bagi.

Tak lama kemudian, mereka terlihat melanjutkan perjalanan. Di sana, Kage berjalan di samping Hikari sambil fokus mengupas jeruk, aroma segar dari jeruk yang sudah terkupas memenuhi udara di sekitar mereka. Sinarmatahari pagi menembus celah-celah daun pepohonan, menciptakan pola-pola cahaya yang menari di tanah. Suara burung berkicau riang mengisi suasana, seolah menyambut kehadiran mereka di tempat yang penuh kenangan itu.

"Aku benar-benar sudah lama tidak melihat tempat seperti ini, sungguh sangat indah, tenang bahkan sangat segar..." kata Hikari, menatap dengan nostalgia ke arah ladang yang membentang luas di depan mereka. "Dulu aku di sini hanya sampai berumur 5 tahun. Sebenarnya, aku lahir di kota, tapi aku dibawa ke sini. Aku sudah beberapa kali ke sini sejak umurku sampai 5 tahun." Dia menghentikan sejenak, menarik napas dalam-dalam seolah mengingat kembali kenangan yang tersimpan di dalam hati. "Hingga di tahun terakhir, aku harus fokus pada kehidupan di kota bersama kakakku yang merawatku dengan baik."

Suara Hikari menggema lembut di antara pepohonan, sementara Kage, yang masih sibuk mengupas jeruk, mendengarkan dengan seksama. "Selama aku di sini, kakak selalu mengajakku ke tempat yang sama sekali tidak aku ketahui. Setiap kali ada bujang desa yang sedang bekerja, dia pasti menggoda mereka, dan ujungnya aku malu berjalan bersamanya..." kata Hikari, wajahnya memerah saat mengingat kembali momen-momen itu.

Lalu, Kage memberikan jeruk yang sudah terkupas sambil bertanya dengan nada ingin tahu, "Lalu, apakah mereka juga melirikmu ketika Yuki menggoda mereka?" Wajahnya menunjukkan ketertarikan yang tulus, membuat Hikari merasa sedikit lebih nyaman untuk berbagi cerita.

". . . Ha? Kenapa kau bertanya begitu... Sudah jelas mereka melirikku juga, karena itulah aku malu...." balas Hikari dengan kesal. Dia menatap Kage seolah ingin mempertanyakan kenapa ia teringat kembali kenangan yang agak memalukan itu.

"Aku mengerti, meskipun Hikari saat itu masih kecil. Kau tetap memiliki paras yang cantik, karena itulah mereka juga tertarik untuk melihat ke arahmu meskipun kau masih kecil..." kata Kage, suaranya lembut dan penuh pengertian. Dia mengamati Hikari dengan seksama, mencoba menangkap semua ekspresi wajahnya yang beragam.

Seketika, Hikari terkejut mendengarnya. "(Seharusnya aku tidak menceritakan hal itu...)" tatapannya menjadi suram, dan kesedihan serta keraguan terlihat jelas di matanya. Dia teringat kembali akan semua kenangan yang terpendam, bercampur antara kebahagiaan dan rasa malu.

Mereka terus berjalan di antara pepohonan, di mana bayangan dan cahaya saling bermain, menciptakan suasana yang sejuk dan tenang. Suara angin yang berbisik lembut seolah menjadi teman dalam perjalanan mereka, menambah keindahan suasana dan menghidupkan kembali kenangan yang hampir terlupakan bagi Hikari.

"(Ini benar benar hebat sekali, aku tak pernah merasakan kesegaran seperti ini, apalagi berjalan dengan Mas Kage... Aku tak tahu seberapa merahnya wajahku dari tadi berjalan bersama dengan nya....)"