Chereads / Romantika Gadis Kontrak / Chapter 37 - Chapter 37 Pagi Aman

Chapter 37 - Chapter 37 Pagi Aman

Esoknya, cahaya matahari pagi yang lembut merayap masuk melalui celah jendela kayu kecil, memberikan semburat keemasan yang menerangi kamar sederhana itu. Hikari masih tertidur pulas di ranjang, wajahnya tampak damai, sesekali bibirnya tersenyum kecil, seakan terbuai dalam mimpi yang indah. Suara alam yang tenang – burung-burung berkicau di luar, gemerisik angin yang meniup dedaunan – mengisi pagi itu dengan ketenangan yang nyaman.

Di sisi lain ruangan, Kage datang membawa sebaskom air yang hangat. Langkahnya perlahan, berhati-hati agar tidak membangunkan Hikari. Dengan penuh perhatian, dia mulai mengelap wajah dan tangan Hikari yang masih terlelap. Setiap gerakan terasa lembut, seolah dia tidak ingin sedikit pun mengganggu kedamaian tidur Hikari. Ada kelembutan dalam pandangannya yang jarang terlihat, dan tanpa sadar, ia tersenyum kecil.

"(Kau benar benar berusaha untuk mencari cara agar aku merasa lebih baik tapi malam. Kau benar benar gadis yang kuat, tidurmu pun juga terlihat sangat cantik... Aku senang kita melihat pagi dengan aman... Apapun untuk mu...)"

Namun, tak butuh waktu lama bagi Hikari untuk merasa terganggu oleh sentuhan dingin air di kulitnya. Perlahan-lahan, matanya mulai terbuka, mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya pagi. Saat pandangannya terfokus, hal pertama yang dilihatnya adalah wajah Kage yang berada sangat dekat dengannya. Sejenak, ia terdiam, matanya berkedip beberapa kali.

"Emh... Kau sudah sembuh?" bisiknya dengan suara serak, matanya yang masih mengantuk menatap Kage dengan bingung.

Kage tersenyum hangat, mengangguk pelan. "Ya, aku sudah sembuh, ini semua juga berkatmu..." tatap Kage.

Hikari menjadi menatap datar. "Perasaan aku tidak melakukan apapun. Kau juga mencegahku untuk mencari obat..."

"Ya karena demam ku hanya sejenak, dan kau membiarkan ku memeluk mu sepanjang malam..." tatap Kage dengan suara menggoda.

Hikari menjadi membuang wajah dengan malu.

"Dan aku juga sudah bilang pada pria tua itu bahwa kita masih di sini," kata Kage dengan nada tenang.

Hikari menatapnya sejenak, kemudian mengalihkan pandangan sambil menghela napas dalam-dalam. "Hm... Aku sangat lelah karena semalam," ucapnya sambil merentangkan tangan untuk meregangkan otot-otot tubuhnya yang kaku. Ketika tangannya menyentuh samping tubuhnya, ia baru menyadari bahwa dirinya hanya berbalut selimut tipis. Wajahnya langsung memerah seketika.

Tanpa pikir panjang, Hikari refleks menendang dagu Kage dengan cukup keras sambil berteriak, "Aaaahhhhh!" jeritnya, dengan wajah merah padam. Tendangan itu membuat Kage terpental ke belakang, terkejut dan meringis sambil mengusap dagunya yang kini terasa nyeri.

"Ugh..." Kage tampak merasa kesakitan.

"Apa yang kau lakukan... Mas Kage mesum... Kenapa kau tidak ingatkan aku soal tadi malam!" teriak Hikari, nadanya setengah marah, setengah malu. Ia buru-buru menutupi dirinya dengan lebih rapat, merasa malu di hadapan Kage.

Kage hanya bisa menghela napas, mencoba menenangkan dirinya sambil menatap Hikari dengan senyum sabar. "Bukankah kau yang bilang sendiri, kau memintaku untuk memelukmu," jawabnya santai, sambil memperlihatkan dagunya yang memerah akibat tendangan tadi.

Mendengar itu, Hikari merasa tersudut. Ia terdiam, mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi semalam. Kenangan itu mulai muncul – momen saat mereka bersembunyi di dalam lemari, ciuman pertama yang penuh emosi, dan akhirnya pelukan hangat di ranjang yang membuatnya merasa aman. Wajahnya semakin memerah seiring setiap ingatan itu muncul kembali di pikirannya.

"Mas Kage... Kau kedinginan tadi malam. Aku bahkan tidak meminta apa pun, aku hanya membiarkanmu saja karena keadaanmu," ucap Hikari dengan suara pelan, kali ini lebih tenang. Tatapannya melunak, dan tanpa sadar, tangannya terulur, menyentuh pipi Kage dengan lembut. Ia bisa merasakan kehangatan di kulit Kage yang terasa menyenangkan.

Kage menatap Hikari dengan senyum kecil yang tulus. Tanpa ragu, ia mengangkat tangan Hikari yang berada di pipinya dan, dengan gerakan halus, mencium punggung tangan Hikari. Sentuhan lembut itu membuat Hikari tertegun, jantungnya berdetak cepat, dan pipinya terasa semakin panas.

"Aaaahhhhh... Hentikan! Dasar ingatan buruk!" seru Hikari panik, buru-buru menarik tangannya dari genggaman Kage. Ia tak tahu mengapa hatinya terasa berdebar begitu cepat, perasaan yang ia sendiri sulit jelaskan.

Melihat reaksi Hikari, Kage tertawa kecil, menikmati momen kebingungan gadis itu. "Jangan khawatir, kita tak melakukan apa-apa lebih dari itu. Aku belum bisa bercinta denganmu," kata Kage sambil tersenyum menenangkan.

Hikari mendelik, menatapnya dengan mata menyala. "Ke... Kenapa begitu... Apa aku tidak menarik? Rupanya memang benar kau lebih memilih wanita," ujarnya dengan nada kesal, meski dalam hati ada campuran rasa malu dan penasaran.

Kage menggeleng pelan, tetap mempertahankan senyum kecilnya. "Jika kau menyebutku brengsek, sebut saja, tapi jangan pikir bahwa aku pernah mengotorimu... Aku pria yang hanya menyentuh wanita setelah menikah."

Kata-kata itu membuat Hikari terdiam. Ada perasaan baru yang muncul di dalam hatinya, antara kagum, bingung, namun juga rasa lega yang sulit ia jelaskan. Dalam hati, ia bergumam sendiri, "(Jadi dia tidak berani menyentuhku karena kami belum menikah... Tapi bagaimana dengan kontrak yang dulu? Juga, apakah dia pernah menjalin hubungan dengan Lily... Kenapa aku mengingat itu?)"

Lamunannya terganggu oleh suara ketukan di pintu. Suara berat kakek tua itu terdengar dari luar. "Kalian di sini?"

Hikari langsung tersentak dari pikirannya. Dengan wajah merah karena panik, ia cepat-cepat merapikan dirinya, sementara Kage mengambilkan pakaian Hikari yang sudah kering dan menyerahkannya padanya. Hikari segera mengenakan bajunya, memunggungi Kage dengan wajah yang masih merah, berharap pria itu tak melihat rasa malunya.

---

Beberapa saat kemudian, mereka sudah duduk bersama di ruang makan kecil rumah kakek itu. Aroma makanan yang disajikan memenuhi ruangan, menggugah selera mereka yang sudah lapar sejak tadi. Di atas meja, terdapat sepiring roti hangat, semangkuk bubur, dan secangkir teh panas untuk masing-masing dari mereka.

"Maaf ya, aku benar-benar tidak tahu soal kalian... Untung saja kalian pandai bersembunyi. Jika tidak, pasti sudah tertangkap oleh mereka yang mengerikan. Mari, aku bawakan kalian sarapan, kita makan bersama sebagai tanda maafku," kata kakek itu dengan ramah, senyumnya tulus dan hangat.

"Wah, terima kasih, Kakek," ujar Hikari dengan senyum cerah. Tangannya segera terulur mengambil roti hangat, merasa sangat berterima kasih atas kebaikan kakek itu.

Kakek tua itu duduk di hadapan mereka, memandang keduanya dengan sorot mata yang penuh rasa penasaran dan keingintahuan. "Jadi, kenapa kalian bisa ada di sini?" tanyanya lembut.

Hikari tersenyum malu, menundukkan pandangannya sebelum menjawab, "Kami ke sini untuk mencari makam Jian." Saat itu, Kage mengambil sepotong makanan dengan sumpit, lalu, dengan penuh perhatian, menyuapkannya pada Hikari. Hikari, yang fokus menjawab pertanyaan kakek tua itu, tanpa sadar membuka mulutnya dan memakan suapan Kage. Ia baru tersadar setelah melihat kakek itu tersenyum melihat mereka.

"Oh, makam itu berjarak sangat jauh, bahkan tidak pernah dekat dari sini. Kalian bahkan tidak kuat jika bisa berjalan kaki," ujar kakek itu sambil tersenyum, seakan senang melihat kedekatan mereka. Tapi ia juga khawatir akan jarak makam itu.

"Hah, benarkah? Kupikir sudah dekat," jawab Hikari dengan nada yang juga terkejut, matanya membulat tak percaya.

"Dimana arahnya?" Kage menatap dengan serius.

"Dari sini, kalian harus naik bukit, juga harus melewati banyak kebun maupun hutan. Kami orang desa sering memanfaatkan tempat seperti itu untuk bekerja, tapi kalian juga harus hati-hati karena tidak terbiasa..."

"Kedengaran nya sulit..." Hikari tampak khawatir. Ia takut ia tak bisa berjalan terus menerus.

"Kita bisa berjalan dan berhenti sejenak kemudian berjalan lagi..." saran Kage dengan baik membuat Hikari terdiam, lalu dia tersenyum senang. "Kedengaran nya bagus..."

"Kalian bisa pergi sendiri, kan?" tatap kembali kakek itu.

"Tentu..." mereka berdua mengangguk.

"Kalau begitu... Bawalah ini nanti," kakek tua itu memberikan sekeranjang jeruk segar. Jeruk-jeruk itu tampak cerah dan segar, seolah baru dipetik dari pohon. Bau harum jeruk yang segar memenuhi udara di sekitar mereka.

"Wah, terima kasih..." tatap Hikari dengan senang. Tapi ia baru ingat. "Oh, kakek, apakah ada tempat untuk mandi?"

"Mandi... Hm..." Kakek itu tampak berpikir. "Sebenarnya, sebelumnya kalian bisa mandi di danau sana," saran kakek itu sambil menunjuk ke arah luar rumah yang agak jauh. "Intinya saat kalian berjalan menanjak, akan ada danau yang tenang dan indah..."

Mendengar itu, Hikari terkejut. "Apa... Danau? Apa tak ada kamar mandi?" tanya Hikari, matanya melebar, menunjukkan rasa ragu dan cemas.

Kakek tua itu tertawa kecil melihat reaksinya. "Tak ada, air di sana segar kok, jauh lebih bersih dan alami daripada di kamar mandi."

"Lalu, apakah ada orang? Bagaimana jika ada yang mengintip nanti?" Hikari tampak khawatir.

"Jangan khawatir nona, desa ini sangat kecil, bahkan tak ada banyak orang. Kami menghabiskan waktu menikmati masa tua di sini, jadi jarang dari kami mandi di danau..." balas Kakek itu dengan lembut.

Hikari menghela napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya sambil membayangkan betapa dinginnya air danau di pagi hari. Tatapannya melayang ke arah jendela, seolah ia sedang membayangkan dirinya berenang di air danau yang dingin tapi menyegarkan. Di sampingnya, Kage hanya tersenyum sambil menatap Hikari, menikmati segala ekspresi dan reaksi yang keluar dari gadis itu.

"(Ke.... Kenapa dia menatapku begitu, apa ada yang aneh, tidak.... Dia biasanya memang menatap ku begitu, tapi rasanya sangat aneh, dia bahkan dari tadi hanya makan perlahan dan fokus menyuapi ku.... Hm.... Sungguh pria yang perhatian tapi terlihat mencurigakan....)" Melihat tatapan penuh perhatian Kage, Hikari sedikit tersipu, namun ada sesuatu di dalam hatinya yang mulai terasa hangat. Mereka mungkin berbeda, dengan jalan pikiran yang kadang bertolak belakang, namun kehadiran Kage telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam hidupnya. Ia tahu bahwa di balik sikap tenang dan penuh perhatian Kage, ada seseorang yang dengan tulus peduli padanya.

"(Dia sangat peduli padaku, bahkan pagi tadi, aku merasakan aman di pagi hari, meskipun aku agak terkejut pada tadi malam, ini benar benar sungguh sangat canggung tapi aku mencoba untuk bersikap lebih baik....)"