"Hati-hati di jalan ya," kata Kakek itu sambil melambaikan tangan, senyumnya tulus dan hangat, seolah ingin menyampaikan harapan agar perjalanan Hikari dan Kage selamat. Kerutan di wajahnya menambah kesan bijak dan penuh pengalaman, menciptakan rasa aman bagi siapa pun yang mendengarnya.
"Terima kasih, Kakek," balas Hikari sambil membawa sekeranjang jeruk yang baru dipetik dari kebun. Aroma manis buah-buahan itu menyegarkan suasana. Sinar matahari yang hangat menyinari jalan setapak yang mereka lalui, menciptakan bayangan pohon-pohon besar yang berjejer di sepanjang jalan.
Ketika mereka melanjutkan perjalanan, Kage memperhatikan kepala Hikari, di mana terdapat sedikit sarang laba-laba. Tanpa berpikir panjang, ia mengambilnya, dan membuat Hikari terkejut. "Mas Kage, apa yang kau lakukan?" serunya, matanya melebar.
"Hanya menghapus sesuatu yang tidak perlu," jawab Kage sambil tersenyum tipis. Namun, tatapan seriusnya segera menggantikan senyum itu. "Bisa kau beritahu aku, siapa bayi Nian itu?"
Hikari terdiam sejenak, ragu untuk menjawab. "... Kenapa? Apa kau takut aku berhubungan dengan pria lain? Bukankah aku juga sudah memberitahumu?" Ia melirik iseng, berusaha mencairkan suasana. Namun, di balik senyumannya, ada rasa ketegangan yang tak terucapkan.
Kage menghela napas, matanya menatap jauh ke depan, seolah mengamati sesuatu yang tidak terlihat oleh Hikari. "Aku sudah tahu bahwa itu hanya bayi adopsi, tapi aku harus tahu siapa orang tua sebenarnya. Berani sekali mereka membuatmu sibuk mengurusnya... Itu pasti melelahkan," katanya, nada suaranya menunjukkan kekhawatiran.
"Memang benar, Nian adalah bayi adopsi," Hikari menjawab, suaranya lembut, "tapi dia tetap aku anggap sebagai bayiku. Dia membuatku belajar menjadi seorang ibu yang bertanggung jawab, meskipun aku bukan seorang ibu. Dia adalah anugerah dalam hidupku."
Kage menatapnya tajam, seperti mencoba memahami lebih dalam. "Tapi bagaimana dengan bayi kita? Apakah kau tidak merasa kita harus memikirkan masa depan?" Suaranya tetap tenang, bahkan dalam nada pertanyaannya.
"Hah... Bagaimana bisa kita mempunyai bayi?" Hikari menjawab dengan nada skeptis, namun ada kerinduan di matanya, seolah memikirkan kemungkinan yang tak terduga.
"Kalau begitu, ayo kita buat bayi," Kage berbisik, senyum nakal menghiasi wajahnya, membuat Hikari bermuka merah seakan terbakar. Kage tampak dingin, tetapi ada kilau menggoda di matanya.
Tetapi, kesal karena leluconnya, ia mendorong Kage. "Kau, jika kau bersikap seperti ini lagi, aku akan meninggalkanmu di sini," ujarnya dengan nada tegas, meski dalam hatinya ia tahu bahwa perasaan ini jauh lebih rumit.
"Oh, aku akan mengejar mu, lagipula aku bisa mencarimu," Kage membalas, matanya menyala penuh semangat, seolah tidak terpengaruh oleh nada Hikari.
"Mencari apa?! Kau tahu tempat apa ini, tempat di mana kau tak bisa menggunakan barang-barang berharga, bahkan kau tak bisa meminta orang ke sini untuk menolongmu," Hikari menyilangkan tangan, menekankan betapa seriusnya situasi mereka. Hatinya berdebar, merasakan dampak dari ketidakpastian yang ada.
"Hm... Memang benar," Kage mengangguk, menatap ponselnya yang menunjukkan tidak ada sinyal sama sekali di tempat mereka. Ia merasakan kesunyian yang melingkupi, sebuah hening yang seakan menyimpan banyak rahasia. "Tapi di sini juga ada keindahan, Hikari. Lihatlah, pepohonan, suara burung, dan udara segar. Mungkin kita bisa menjadikan tempat ini sebagai tempat yang lebih berarti."
Hikari menoleh ke arah Kage, merasakan kedalaman perasaannya. "Apa yang kau maksud? Kita bisa membuat kenangan di sini?"
Kage tersenyum, dan dengan serius ia berkata, "Ya, kita bisa belajar banyak dari tempat ini. Seperti kita belajar tentang tanggung jawab, cinta, dan komitmen. Setiap tempat punya kisahnya sendiri." Suara Kage tenang, tetapi kata-katanya memiliki bobot yang dalam.
"Seperti kita?" Hikari bertanya, penasaran, berusaha mengubah suasana.
"Ya, seperti kita," jawab Kage.
"Kita memiliki kisah yang unik. Dan aku ingin berbagi setiap detiknya bersamamu, meskipun kita harus menghadapi banyak tantangan." Suara Kage terdengar lembut, namun penuh keyakinan, seolah mengingatkan Hikari akan betapa berartinya setiap momen yang mereka lalui bersama.
"Awww... Bisa saja..." Hikari memukul bahunya pelan sambil melanjutkan langkahnya di jalan setapak yang dikelilingi pepohonan rindang. Daun-daun bergoyang lembut ditiup angin, memberikan nuansa sejuk yang kontras dengan semangat yang membara dalam dirinya. "Tapi, serius, kenapa kau terus mengatakan hal itu? Kenapa kau selalu ingin bersamaku, bahkan ketika kita menghadapi konflik ini bersama... Kau tetap tenang dalam situasi apa pun..." tatap Hikari, matanya yang cerah menunjukkan ketulusan.
"Hm.... Kupikir aku memang sudah begitu dari dulu. Kenapa? Kau tidak suka jika aku khawatir padamu?" Kage menanggapi dengan nada yang tenang, seolah perasaan khawatir adalah hal yang wajar bagi seseorang yang peduli.
"Um, hanya aneh saja. Apakah kau melakukan ini pada wanita lain juga? Atau mungkin orang lain?" tatap Hikari, dengan sedikit keraguannya. Suasana hening sesaat, hanya suara dedaunan yang jatuh dan burung-burung yang berkicau mengisi ruang di antara mereka.
Seketika, wajah Kage menjadi serius; dia bahkan menyilang tangan, menunjukkan betapa pertanyaan Hikari memengaruhi suasana hatinya. "Oh, jadi kau sekarang menuduhku..." Dia menatap tajam, auranya yang biasanya hangat kini menjadi suram, membuat Hikari merasa tidak nyaman, seolah ada bayangan gelap yang tiba-tiba melintas di antara mereka.
"Um, uh... Aku tidak bermaksud..." kata Hikari, suaranya bergetar sedikit. Dia tampak khawatir, namun Kage terus menatap tajam, seolah mencari kebenaran di balik kata-katanya.
Hikari berusaha untuk mencairkan suasana yang mulai tegang. Ia mulai berjalan sambil melompat-lompat kecil, mencoba mengubah nada percakapan. "Lihat, aku bisa melompat lebih tinggi dari pepohonan ini!" Ia menunjukkan semangatnya, berusaha menarik perhatian Kage yang terlihat kaku. Namun, Kage tetap tenang, hanya tersenyum sedikit tanpa mengubah ekspresi wajahnya yang serius, membuat Hikari merasa sedikit lega.
"Aku rasa kau bisa melompat lebih tinggi lagi," jawab Kage datar, tidak mengubah nada suaranya, tetapi dalam hatinya, ia tersenyum melihat tingkah Hikari. Ada sesuatu yang membuatnya merasa hangat, melihat semangat yang tak pernah padam dari Hikari.
Hikari tidak menyerah. "Ayo, kita buat perlombaan siapa yang bisa mencapai puncak bukit itu lebih dulu!" serunya dengan gembira, suaranya penuh antusiasme, berusaha menyalakan semangat Kage yang tampaknya belum sepenuhnya menyala.
Kage menatap bukit dengan ekspresi tenang. Puncak bukit yang menjulang tinggi itu dikelilingi rerumputan hijau segar dan bunga-bunga liar yang berwarna-warni. "Baiklah, tapi jangan terlalu bersemangat. Kita perlu hemat energi untuk perjalanan kita."
"Ah, Mas Kage! Kau selalu saja dingin," Hikari mengeluh, namun senyumnya tidak pudar. "Cobalah sekali ini, bersenang-senanglah sedikit. Hidup tidak hanya tentang tujuan, tetapi juga perjalanan!" Suaranya penuh semangat, seolah ingin Kage merasakan kebahagiaan yang sama.
Kage mengangguk, tetapi raut wajahnya tetap tenang. "Kau benar. Mungkin aku perlu belajar dari sikapmu," katanya, meskipun hatinya menginginkan kebebasan dari beban yang kadang menghalanginya untuk bersenang-senang.
"Kalau begitu, kita mulai perlombaan!" seru Hikari, berlari ke arah bukit dengan penuh semangat, seolah dunia di sekelilingnya hanyalah latar untuk kebahagiaannya. "Hei, tidak adil!" Kage mengikuti di belakangnya dengan langkah tenang, menikmati setiap detik kebersamaan mereka meskipun sikapnya yang dingin.
"(Hehe.... Aku sengaja berlari duluan...)" Hikari menatap ke belakang, mengeluarkan wajah mengejek. "Weeek.... Kesini jika bisa...!"
"Oh, tentu saja..." Kage menambah laju kecepatan berlarinya sehingga membuat Hikari terkejut. "(Buset.... Cepat sekali!! Aku harus cepat!!)" Hikari juga sekuat tenaga berlari, merasakan adrenalin mengalir dalam tubuhnya.
Namun, tak terduga, Hikari yang kelelahan tak menyadari ada tanah yang tidak rata di depan. Ia kehilangan keseimbangan dan terjatuh. "Ah... Akh!! Ah!!" Ia langsung jatuh, membuat Kage terkejut melihatnya. Dia segera menyusul mendekat dengan penuh kekhawatiran. "Hikari... Kau baik-baik saja?" Dia melihat Hikari yang terjatuh mencium tanah, dan dalam sekejap, semua rasa cemasnya tertumpah.
Hikari langsung bangun dan membersihkan tubuhnya. "Ugh.... Sakit..." Dia melihat ke lututnya yang lecet, rasa sakit itu seolah mengingatkan bahwa hidup ini tidak selalu berjalan mulus.
Lalu Kage mendekat, sikapnya yang penuh perhatian kembali muncul. "Sebaiknya kita istirahat sebentar..." tatapnya, lalu ia menggendong Hikari di dadanya, membuat Hikari terkejut. Kage meletakkan Hikari di bawah pohon rindang, di mana sinar matahari menerobos dedaunan, menciptakan pola cahaya yang menari di sekitarnya.
"Apa ini masih sakit?" Dia menatap, matanya penuh perhatian dan rasa ingin tahu.
"Tidak juga, aku hanya.... (Malu....!!)" Hikari tampak berwajah sangat merah. "(Kenapa sih, aku pake jatuh... Mana tadi aku mengejek dia lagi...)" Perasaannya campur aduk, antara malu dan bingung, tetapi di dalam hatinya, ia merasakan kehangatan yang tak dapat ditolak.
"Kemarilah, kota sebentar lagi akan sampai di puncak tepat dimana danau berada...." Kage mendekat lagi dan menggendong nya di dada membuat Hikari terkejut.
"Mas Kage, kamu akan kelelahan...!" dia panik. Tapi Kage berjalan membawa Hikari dengan lancar meskipun permukaannya bukit yang menanjak.
Ketika mereka sampai di puncak bukit, Hikari melihat dari sana, wajahnya bersinar penuh kegembiraan melihat pemandangan luar biasa saat dia masih di bawa Kage. "Lihat! Kita bisa melihat seluruh lembah dari sini!"
Kage juga menatap dengan senyum kecilnya, dia sama sekali tak menunjukan bahwa dia lelah, dia termasuk memilki stamina yang besar. Dia dengan tenang menatap pemandangan yang indah itu dengan ekspresi tenang, tetapi di dalam hatinya, ia merasakan kehangatan yang baru. "Memang, pemandangannya sangat indah."
Hikari mengangkat tangannya, berusaha untuk meraih awan. "Dan kau tahu, kita bisa membuat lebih banyak kenangan seperti ini! Kita harus selalu mencari cara untuk merayakan hidup."
Kage menatapnya dengan serius. "Hikari, hidup memang penuh tantangan. Namun, cara kita menghadapinya menentukan seberapa jauh kita bisa melangkah."
"Jadi, kita bisa melangkah lebih jauh bersama-sama, kan?" Hikari bertanya, penuh harapan.
"Ya, kita akan melangkah bersama," jawab Kage, suara tenangnya memberikan jaminan, meskipun dia tahu tantangan akan terus ada di depan mereka.
Dengan semangat baru, mereka melanjutkan perjalanan, setiap langkah membawa mereka lebih dekat kepada pemahaman satu sama lain dan tentang dunia yang penuh misteri di sekitar mereka.
"(Aku sangat senang kita dapat melakukan hal ini bersama.... Aku harap ini tidak cepat berlalu....)"