Akhirnya, setelah berdiskusi dan mempertimbangkan segala sesuatu, mereka memutuskan untuk pergi bersama. Suasana di depan bandara cukup ramai, dengan orang-orang yang lalu-lalang membawa koper dan tas. Suara deru mesin pesawat dan percakapan penumpang yang bersemangat mengisi udara, sementara aroma kopi segar dari kafe di samping menyebar ke sekeliling, menciptakan atmosfer yang hidup dan dinamis. Di sana juga ada Chen, yang tampak tegar menggendong Nian dengan hati-hati. Senyumnya yang lebar menunjukkan rasa percaya diri, seolah ia siap untuk menjaga segala sesuatunya.
"Jangan khawatir, Bos. Aku akan menjaga bayi ini dan merahasiakan kepergianmu," kata Chen, suaranya tenang meskipun ada kecemasan yang terpendam di balik kata-katanya.
"Terima kasih ya, Mas Chen," Hikari menatapnya lembut, merasakan ketulusan dalam ucapannya. "Itu sangat berarti bagiku."
"Ti-tidak masalah, Hikari. Aku juga minta maaf tidak mendukungmu dan malah mencegahmu," Chen mengubah nada suaranya, menandakan penyesalan yang mendalam. Raut wajahnya menunjukkan betapa ia merasa bersalah atas tindakannya sebelumnya.
Hikari sedikit terkejut mendengar pengakuan itu. Rasa campur aduk memenuhi hatinya; di satu sisi, ia berterima kasih atas dukungan Chen, namun di sisi lain, ia merasa beban berat yang harus dipikul. Di sisi lain, Kage tampak berpikir, tatapannya menerawang ke kejauhan, seolah-olah memikirkan segala kemungkinan yang akan mereka hadapi.
"Hikari, tunggulah sebentar," Kage berkata, suaranya tegas namun lembut. Ia menatap Hikari dengan serius, membuat Hikari terdiam sejenak. Kage kemudian melangkah melewati Chen, dan Chen mengikuti di belakangnya dengan langkah hati-hati.
Mereka berada di tempat agak jauh, di sudut yang lebih sepi dari keramaian bandara, tetapi Hikari masih bisa melihat mereka. Dia tak tahu apa yang mereka bicarakan, namun ia bisa merasakan ketegangan di antara mereka, seolah ada sesuatu yang sangat penting yang harus dibahas.
"Chen, pastikan semuanya baik-baik saja. Aku tak mau Haku ataupun Chichi mengetahui hal ini," kata Kage, suaranya rendah namun penuh penekanan. "Jika Chichi menunjukkan keadaan bangun, kau harus langsung memberitahuku. Juga perusahaan, tutup beberapa perusahaan yang bersangkutan dengan aku dan Chichi. Jika perlu, serahkan pada Haku dengan kedok bahwa itu milik Chichi dan harus dipegang olehnya...."
"Kenapa meminta Tuan Haku? Tidak yang lain saja?" Chen menatap Kage dengan kebingungan.
"Pria itu tak pernah bekerja sibuk sepertiku. Dia hanya menerima uang dari kerja keras perusahaan yang aku bawa. Dia adalah orang yang paling dimanja Chichi. Jika Chichi sedang berada di alam bawah lain, aku bisa dengan senang hati memerintah Haku," kata Kage. Ucapannya mengundang keheningan di antara mereka. Chen terdiam sejenak sebelum mengangguk mengerti.
"Baiklah, aku akan menjaga nama baikmu," Chen menjawab, nada suaranya menunjukkan komitmen yang kuat. "Tapi, Kage, apakah kamu yakin ini keputusan yang tepat? Aku tahu betapa sulitnya situasi ini."
Kage menghela napas, "Aku tidak punya banyak pilihan. Jika kita tidak bertindak cepat, semuanya bisa hancur. Aku tidak bisa membiarkan Chichi terjebak dalam masalah yang lebih besar."
Hikari mendengar percakapan itu dan merasa jantungnya berdebar. Dia mendekat, bertanya, "Apa yang sebenarnya kalian bicarakan? Apa ini tentang Chichi?"
Kage dan Chen menjadi menatap Hikari. Kage melangkah maju dan berusaha menenangkan Hikari. "Itu bukan hal yang perlu kau khawatirkan, Hikari. Kami hanya membahas bagaimana menjaga semua ini agar tetap aman."
"Aku tidak ingin kamu terbebani, Hikari," tambah Chen. "Tapi jika ada yang ingin kamu tanyakan, kami siap menjawabnya."
"Kenapa aku tidak bisa khawatir? Ini semua tentang kita!" Hikari mengekspresikan kekhawatirannya. "Aku ingin tahu apa yang terjadi. Kenapa semua ini terasa begitu rahasia?"
Kage merasakan gelombang emosi di dalam diri Hikari. Ia tahu bahwa Hikari memiliki ketulusan dan keberanian untuk menghadapi apa pun yang terjadi. "Aku mengerti perasaanmu, Hikari. Tapi kadang-kadang, yang terbaik adalah menjaga beberapa hal tetap rahasia untuk melindungi orang-orang yang kita cintai."
Hikari mengangguk pelan, namun ekspresinya menunjukkan bahwa ia masih merasa cemas. "Aku hanya ingin kita semua aman. Aku tidak ingin ada yang terjadi padamu atau Chichi."
"Percayalah, kita akan baik-baik saja," Kage berusaha meyakinkan Hikari. "Ini adalah langkah yang perlu kami ambil. Kami akan menghadapinya bersama."
Setelah berbicara, Kage mendekat ke Hikari dan menarik tangannya lembut. "Pesawat akan segera berangkat."
"Sampai jumpa, semoga perjalanan kalian aman," kata Chen, meskipun ada keengganan di dalam hatinya. Ia menggerakkan tangan Nian untuk melambai kepada mereka, gestur yang penuh harapan meskipun terlihat sedih.
"Apa kau yakin? Bagaimana dengan pekerjaanmu?" Hikari menatapnya ragu. Rasa cemas menggelayuti hatinya, bertanya-tanya tentang apa yang akan terjadi jika semuanya tidak berjalan sesuai rencana.
"Kau terus mengatakan itu berulang kali. Itu sama sekali tak masalah bagiku... Kau terlalu khawatir," balas Kage, nada suaranya mengisyaratkan bahwa ia ingin Hikari merasa lebih tenang. "Kau tidak perlu merasa bertanggung jawab atas keputusan ini. Aku yang memutuskan untuk mengambil risiko ini."
"(Haiz, terserah saja. Jangan salahkan aku jika pekerjaanmu menumpuk nantinya.) Eh, ngomong-ngomong, apa yang kamu bicarakan dengan Mas Chen?" Hikari menatap polos, mencoba mengalihkan pikirannya dari kekhawatiran.
"Ini bukan masalah besar, jangan terlalu dipikirkan," Kage membalas, wajahnya tak menghadap Hikari, seolah ia berusaha menyimpan rahasia yang tak ingin diungkapkan. Hikari merasa sedikit kesal, tetapi dia tahu Kage hanya ingin melindunginya.
Lalu mereka sampai di pesawat. Di dalam kabin, suasana mulai terasa lebih tenang, tapi Hikari tampak terkejut.
"Tunggu, bukankah ini kelas eksekutif bintang.... 7?!!" Hikari terkejut membaca ruangan itu bahkan ruang itu sepi dan tenang.
"Mas Kage, ini berlebihan...." Dia menatap.
"Tidak akan..." Kage membalas dengan tenang membuat Hikari lelah dengan sikap nya. Ia hanya terima saja meskipun dia bisa merasakan ketegangan yang masih menyelimuti Kage. Kage memeriksa kenyamanan Hikari beberapa kali, memastikan semuanya berjalan lancar.
"Hentikan itu, kamu mengganggu," Hikari menatap kesal, merasa sedikit tertekan oleh perhatian Kage yang berlebihan.
"Apa kau sudah nyaman? Tidak apa duduk dekat jendela? Kau ketakutan ketika terbang nanti? Sebaiknya tidur saja—" Kage bertanya, khawatir jika Hikari merasa tidak nyaman.
"Hentikan, apa yang kamu bicarakan? Ini bukan kali pertama aku menaiki pesawat," Hikari membalas, sedikit tersinggung dengan anggapan Kage.
"Bukankah memang iya?" Kage menatapnya, senyum kecil menghiasi wajahnya, yang justru membuat Hikari merasa kesal. "Aku hanya ingin memastikan semuanya baik-baik saja. Ini semua demi keselamatanmu."
"Ck, aku sudah menaikinya beberapa kali ketika kecil, jadi aku sudah terbiasa.... Jangan khawatir," Hikari membuat wajah, berusaha menunjukkan bahwa dia tidak takut.
"Baiklah, kalau begitu, hanya pegangan tangan," Kage meminta tangan Hikari, nada suaranya lebih lembut kini. "Aku hanya ingin membuatmu merasa nyaman."
Hikari terdiam, dia lalu menghela napas panjang dan memegang tangan Kage. Sentuhan hangat itu membuatnya merasa lebih tenang. Kemudian, pesawat mulai bergerak, mengangkat mereka ke angkasa menuju tempat tujuan yang baru, dan dengan itu, rasa cemas di hati Hikari perlahan memudar.
Pesawat mulai lepas landas dengan mulus, mengangkat Hikari dan Kage dari tanah menuju langit yang biru cerah. Hikari duduk di kursi dekat jendela, menikmati pemandangan yang perlahan menghilang. Ia berusaha untuk merasa tenang, meskipun kekhawatiran masih membayangi pikirannya. Namun, Kage yang duduk di sampingnya memberikan rasa nyaman. Ia terus memegang tangan Hikari, mengingatkan bahwa mereka bersama dalam perjalanan ini.
Tak lama setelah pesawat mencapai ketinggian jelajah, tiba-tiba, suara gemuruh mengguncang kabin. Hikari merasakan pesawat bergetar dengan hebat, dan seketika itu, wajahnya berubah pucat. Terkejut, ia memegang lengan kursinya dengan erat, matanya membesar saat melihat lampu tanda sabuk pengaman menyala. "(Astaga, aku tak suka bagian ini....)"
Kage, yang awalnya tenang, langsung menatap Hikari. Ia bisa melihat ketakutan di matanya, dan meskipun turbulensi ini bukan hal yang asing baginya, ia tidak ingin Hikari merasa sendirian dalam ketakutannya. "Tenang, Hikari," katanya lembut, berusaha menenangkan. "Ini hanya turbulensi biasa. Pesawat kita dirancang untuk menghadapi ini."
Hikari menggeleng, tidak dapat menahan rasa takutnya. "Tapi… apa kalau terjadi sesuatu? Aku tidak suka ini!" Ia berusaha berbicara, tetapi suaranya hampir tidak terdengar di tengah suara gemuruh.
Kage meraih tangan Hikari lebih erat, memberikan kepastian melalui sentuhannya. "Lihat, pesawat ini aman. Semua pilot sudah terlatih untuk mengatasi situasi seperti ini. Kita akan baik-baik saja," ujarnya, suaranya tenang dan mantap. "Fokuslah padaku. Apa kau bisa melakukannya?"
Hikari menatap Kage, mencari ketenangan dalam tatapan matanya. "Kau janji kita akan baik-baik saja, kan?" tanyanya, suaranya bergetar.
"Yeah, kau akan aman..." Kata-kata Kage memberi Hikari sedikit ketenangan, meski jantungnya masih berdegup kencang.
Hikari menghela napas dalam-dalam, berusaha mengumpulkan keberanian. "Baiklah. Aku akan mencoba untuk tidak panik. Tapi aku masih merasa tidak nyaman."
"Bagaimana jika kita berbicara tentang sesuatu yang lebih menyenangkan?" Kage mencoba mengalihkan perhatian Hikari. "Apa yang kau rencanakan setelah kita sampai di tujuan?"
Hikari berusaha merenungkan pertanyaan itu, sedikit tersenyum meskipun ketegangan masih terasa. "Aku berharap bisa melihat pemandangan indah dan menjelajahi tempat-tempat baru. Dan tentu saja, aku ingin merasakan suasana yang berbeda."
"Jadi, kita bisa menjelajahi kota-kota kecil, mencicipi makanan lokal, dan mengunjungi tempat-tempat yang mungkin tidak ada di peta," Kage menambahkan, bersemangat. "Kau tahu, itu akan menjadi petualangan yang menarik."
Mendengar semangat Kage, Hikari merasa sedikit tenang. "Ya, petualangan yang menarik," ucapnya perlahan, membayangkan semua hal yang akan mereka lakukan. "Aku selalu ingin mencoba makanan baru. Mungkin kita bisa mencari restoran dengan makanan khas daerah itu."
"Dan kita bisa berbagi pengalaman kita dengan orang lain, atau bahkan menulis catatan perjalanan," Kage melanjutkan, memberikan ide yang lebih cerah.
Hikari merasa semakin bersemangat, dan rasa takutnya perlahan menghilang seiring dengan pembicaraan mereka.
"Jadi, saat kita turun nanti, kita akan melakukannya bersama," Kage menyatakan, memberikan jaminan yang membuat Hikari merasa lebih nyaman. "Dan ingat, apapun yang terjadi, aku ada di sini bersamamu."
Kata-kata Kage membuat Hikari merasa lebih kuat. Ia menatap Kage dan tersenyum, merasakan kedekatan yang semakin dalam di antara mereka.
Pesawat terus melaju, dan meskipun turbulensi masih terasa, Hikari merasa lebih tenang. Dia tahu bahwa Kage ada di sampingnya, memberikan dukungan yang ia butuhkan. Bersama, mereka siap menghadapi apa pun yang ada di depan mereka, sambil terus membangun kenangan baru di setiap langkah perjalanan mereka.