Mobil melaju dengan tenang di jalanan yang sepi. Hikari duduk di samping Kage, mencoba menyembunyikan rasa gugup yang tak dapat ia kendalikan. Angin sepoi-sepoi menyelinap masuk melalui kaca mobil yang sedikit terbuka, memberi suasana yang tenang namun mencekam, seiring pikiran-pikiran yang memenuhi kepala Hikari.
"(Ini benar-benar membuatku cemas. Perjalanan ini… dia akan melihat sisi kehidupanku yang mungkin tidak ia duga,)" batinnya, sambil sesekali mencuri pandang ke arah Kage yang masih terlihat tenang dan tidak terusik sama sekali.
"Mas Kage, apa Mas Haku benar-benar akan percaya dengan Mas Chen?" tanya Hikari, mencoba mengalihkan pikiran dan mengusir kegelisahannya.
Kage hanya mengangkat bahunya sedikit dan tersenyum tipis, tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan di depannya. "Aku tidak tahu, tapi sudah kuduga dia tidak akan percaya dengan kebohongan Chen," jawabnya dengan suara tenang, seolah tak ada yang perlu dikhawatirkan. Ia mengemudi hanya dengan satu tangan, sementara tangan lainnya menyangga dagu di jendela, tatapannya fokus namun tetap santai.
Ketenangan Kage malah membuat Hikari semakin resah. "Lalu... bagaimana dengan Nian? Apa yang akan terjadi padanya?" suara Hikari bergetar sedikit, menunjukkan kekhawatirannya yang semakin dalam.
"Dia masih bayi. Sudah pasti ada orang lain yang bisa menjaganya selain Chen bodoh itu," jawab Kage dengan nada datar. Kemudian, tatapan dinginnya menyapu wajah Hikari, dan ia melanjutkan dengan suara yang sedikit lebih tajam, "Kenapa kau begitu khawatir pada bayi itu? Kau bahkan belum pernah memberitahuku siapa sebenarnya orang tua Nian. Apa bayi itu memang milikmu bersama lelaki lain?"
Hikari terdiam, menelan ludah. "(Apa dia berpikir Nian adalah putraku? Aku sudah pernah mengatakan bahwa Nian bukan anakku... tapi sepertinya dia masih penasaran siapa orang tua bayi itu,)" batinnya kalut. Ia tak tahu harus menjelaskan bagaimana lagi, takut kesalahpahaman ini akan makin memperumit hubungan mereka.
"Aku... benar-benar tidak tahu," akhirnya Hikari berbisik, suaranya penuh keraguan. Jawaban itu membuat Kage meliriknya sekilas, lalu menghela napas panjang.
Setelah beberapa saat hening, tiba-tiba Hikari merasakan sentuhan lembut di pahanya. Kage meletakkan tangan di sana, menatapnya sejenak dengan pandangan yang lebih lembut daripada biasanya. Hikari terkesiap, tak menyangka reaksi Kage akan seperti ini.
"Tenanglah," bisik Kage di telinganya dengan suara yang dalam dan menenangkan. "Ini baik-baik saja. Perjalanan kita masih panjang. Semua akan berjalan dengan baik, aku tidak akan membiarkan apa pun mengganggu atau melukai dirimu." Tatapan matanya begitu mantap, membuat Hikari merasakan kehangatan dan ketenangan yang menyelimuti dirinya.
Hikari tersenyum kecil, perasaan hangat merambat di dadanya. "Terima kasih, Mas Kage... Aku senang sekali," balasnya pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri.
Namun, suasana tenang itu tak berlangsung lama. Ketika mereka berbelok di persimpangan jalan, suara motor terdengar semakin dekat di belakang mereka. Tapi tiba-tiba, ada empat pemotor besar mengejar mereka dari kanan dan kiri. Awalnya mereka seperti pengendara biasa, tapi saat mereka benar-benar dekat dengan mobil, baru sadar bahwa keempat pemotor itu mengikuti mereka layaknya preman di jalan besar yang sepi itu.
Hikari mengintip melalui kaca spion dan melihat empat pemotor besar mendekati mobil mereka.
"Mas Kage… ada orang-orang yang mengikuti kita," kata Hikari panik.
Kage menatap sekilas ke kaca spion, matanya menyipit dengan tatapan penuh perhitungan. "Aku sudah memperhatikan sejak tadi," ujarnya tenang, tanpa menunjukkan tanda panik. "Tetap tenang, Hikari. Ini hanya masalah kecil." Dia mencoba menenangkan Hikari meskipun dia sendiri juga kesal.
Melihat kebingungan Hikari, Kage mengeluarkan tubuhnya dari jendela mobil dan menembaki dua pemotor di belakangnya, tanpa melambatkan laju mobil.
"Mas Kage!" seru Hikari panik, tangannya semakin gemetar saat ia menyaksikan tindakan nekat Kage. "Kau bisa terluka!"
Kage tersenyum tipis, dan menikmati menembak nya. "Mas Kage, itu berbahaya! Tetaplah mengemudi!" Hikari berteriak semakin panik karena mobilnya tak terkendali. Tapi dengan dua kali tembakan, peluru Kage langsung mengenai dua pemotor itu hingga jatuh. Lalu, ia kembali mengemudi.
"(Apa ini hanya imajinasiku? Mas Kage hanya menembak dua peluru pada dua pemotor itu. Kenapa bisa sampai kena?)" Hikari berpikir dalam hati, terkejut sekaligus tak percaya.
Lalu Kage menarik dirinya kembali ke dalam mobil, lalu menatap Hikari dengan tenang. "Tak ada yang perlu dikhawatirkan. Ini hanya kebetulan saja."
Mereka terdiam sejenak, sebelum Kage kembali menyandarkan punggungnya di kursi dan menatap lurus ke depan. "Cih, Haku yang mengirim mereka," gumamnya kesal, lalu mempercepat laju mobilnya. Haku sepertinya berusaha untuk mencegahnya. Kini, dia dan Hikari berada dalam situasi sulit.
"Mas Kage, kenapa kau tidak berhenti?!"
"Mereka akan membunuh kita. Sebaiknya kau berpegangan," Kage semakin menambah lajunya.
Saat motor-motor itu semakin mendekat, Kage merogoh pinggangnya, mengeluarkan pistol, dan tanpa berkata-kata langsung menyodorkannya ke arah Hikari. Hikari memandangnya dengan wajah pucat, tidak siap dengan apa yang Kage minta.
Dengan tenang, Kage berkata, "Sekarang giliranmu, Hikari."
"Mas... Mas Kage? Apa maksudmu!! Aku... aku tidak bisa menembak!" kata Hikari dengan suara penuh kepanikan.
"Tak apa, kau bisa mencoba," balas Kage singkat. "Nyawamu sendiri lebih berharga daripada peluru yang akan kau habiskan."
Kata-kata itu membuat Hikari sadar bahwa Kage tidak hanya mengandalkan kemampuan, tapi juga percaya pada dirinya. Hikari menarik napas dalam, mencoba menenangkan dirinya, lalu menembakkan pistol itu ke dua pemotor yang tersisa. Meski ia menembak berulang kali, sebagian besar pelurunya meleset.
Hal itu berakibat fatal pada beberapa motor yang jatuh dan Hikari berhasil melakukan bagian nya.
"Fyuh, aku bisa melakukannya!" serunya lega, namun Kage hanya menggeleng sambil tersenyum tipis.
"Ya, dengan membuang peluru sebanyak itu," kata Kage dingin namun sedikit menggoda, membuat Hikari merasa sedikit malu.
Meskipun begitu, mereka akhirnya berhasil meloloskan diri dan kembali berjalan dengan tenang di jalanan luas dengan mobil mewah Kage.
"Fyuh.... Mas Kage, sebenarnya apa yang terjadi?" tatap Hikari dengan serius setelah menghela napas panjang.
Kage terdiam sejenak lalu membalas. "Seperti yang baru saja kita ragukan tadi. Haku pasti tidak percaya dengan alasan Chen sehingga dia melakukan ini. Aku tahu lambang organisasi mereka, mereka hanya di bayar oleh Haku dan bekerja sama dengan banyak hal di perusahaan atas keluarga ku. Jika mereka sudah di beri perintah, mereka tak akan memandang bulu... Habisi dan terima uang nya..." balasnya membuat Hikari benar benar tak percaya mendengarnya.
Tak lama kemudian, masalah lain muncul lagi mobil besar muncul dari arah berlawanan. Mobil itu melaju dari arah berlawanan, tampak akan menabrak mereka.
"Hah, Mas Kage, berhentilah! Ini bahaya!" Hikari panik.
"Ini tidak akan bahaya selama kau berpegangan," kata Kage sambil melihat tiang listrik dari spion.
Hikari berwajah sangat panik ketika Kage akan menabrakkan mobilnya ke tiang listrik tersebut.
"Mas Kage, kau tidak akan membunuh kita, kan?!" seru Hikari.
Kage memutar kemudi dengan kecepatan luar biasa, membuat mobil besar itu berbelok dan hampir menabrak mereka. Hikari mencengkeram pegangan mobil erat-erat, dan untuk pertama kalinya, ia melihat sisi Kage yang begitu tenang dalam situasi seperti ini. Mereka berdua selamat dari ancaman para pemotor dan akhirnya melanjutkan perjalanan.
Hikari masih tak percaya dengan apa yang terjadi. "(Ba... bagaimana bisa... Apa ini... Kita dalam adegan film aksi atau bagaimana... Kenapa bisa begini...)" Ia tampak panik sekaligus tak percaya. "Aku tidak tahu bagaimana kau bisa tetap setenang itu," ucap Hikari, menatap Kage dengan kagum yang mulai tumbuh.
Kage hanya mengangkat bahunya. "Kau akan terbiasa jika sudah melihat banyak hal seperti ini."
Hikari menjadi menatapnya dengan wajah merah, namun ia segera membuang pandangan ke luar jendela untuk menyembunyikan senyum kecilnya.
Kage masih memperhatikan kaca spion dengan tatapan tajam dan tenang, seolah mempertimbangkan setiap kemungkinan yang masih tersembunyi. Cahaya redup senja membias di wajahnya, menyorot rahang kuat dan ekspresi dingin yang jarang terlihat terguncang. Hembusan napasnya begitu dalam, memberi kesan bahwa ia telah terbiasa menghadapi situasi berbahaya seperti ini. Tangannya menggenggam erat kemudi, penuh kendali, memastikan setiap tikungan dilalui tanpa mengurangi kecepatan.
Hikari menatapnya dengan campuran rasa kagum dan rasa takut yang perlahan mereda. "Huft... Mas Kage, bagaimana kau bisa melakukan itu?" tanyanya dengan suara masih sedikit bergetar, mencoba memecah hening yang melingkupi mereka.
Kage hanya meliriknya sesaat, bibirnya tertarik sedikit ke atas dalam senyuman tipis yang samar. "Hanya kebetulan," jawabnya singkat, tanpa menunjukkan tanda-tanda kelelahan atau kecemasan. Tatapannya kembali fokus ke jalan di depan, seolah pertanyaan Hikari hanyalah sebuah gangguan kecil yang tak memengaruhi ketenangannya.
Hikari menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya. "(Uuh, Mas Kage pasti menyembunyikan sesuatu. Dia benar-benar hebat melawan mereka hanya dari dalam mobil tanpa berhenti sedikit pun. Aku... benar-benar terkejut,)" pikirnya sambil mengerutkan alisnya. Ia masih memegang pistol yang tadi diberikan Kage, benda itu terasa dingin di tangannya, mengingatkan Hikari akan ketegangan yang baru saja terjadi.
Melihat Hikari masih memegang pistol itu, Kage mengulurkan tangannya dengan tenang. "Pistolnya, kemarikan," katanya dengan nada serius yang tak memberi ruang untuk penolakan.
Tanpa berkata apa-apa, Hikari menyerahkan pistol itu padanya, meski ada sedikit rasa malu yang melintas di hatinya. "(Dia pasti kecewa… Aku bahkan tak bisa menembak dengan baik,)" pikir Hikari, menatap Kage yang langsung menyelipkan pistol itu ke tempatnya dengan gerakan tangkas dan terlatih. Di balik wajah tenangnya, ada aura kewaspadaan yang tak pernah hilang.
Setelah memasukkan pistol, Kage kembali menatap jalan dan berbicara dengan nada yang datar namun pasti. "Sudah aku bilang, Haku tidak akan percaya dengan perkataan Chen. Dan sekarang, orang-orang itu akan melapor pada Haku bahwa mereka tidak bisa membunuh kita. Dia tidak akan berhenti sampai di sini."
Perkataannya membuat Hikari bergidik. "Secepat itu, kah? Kenapa bisa jadi begini? Bukankah ini salah Mas Kage ikut denganku?" ucap Hikari, kali ini dengan nada sedikit kesal yang ia sendiri tak sadari.
Kage tak segera menjawab. Ia menghela napas panjang, matanya menatap lurus ke depan, namun ekspresi wajahnya tampak lebih tenang. "Aku memang ingin ikut denganmu," jawabnya perlahan, namun penuh ketegasan. "Tapi aku pastikan, mereka tak akan bisa menyakitimu."
Suara tenangnya seolah menghapus sisa-sisa ketakutan yang menggelayut di hati Hikari. Kata-katanya seperti jaminan tak terucap bahwa dalam bahaya sekalipun, Hikari akan selalu aman bersamanya. Tanpa sadar, wajah Hikari memerah, dan ia buru-buru membuang pandangannya keluar jendela untuk menyembunyikan senyum kecil yang tak dapat ia tahan.
Di dalam benaknya, ada kehangatan yang mulai muncul, meski diiringi dengan perasaan aneh yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Sementara itu, Kage tetap mengemudi dengan tenang, tanpa menyadari efek yang ditimbulkannya pada Hikari.