Perjalanan mereka mencapai senja, menyisakan bayang-bayang pepohonan tinggi di sepanjang hutan yang mulai menggelap. Udara dingin terasa menusuk, membaur dengan aroma basah daun-daun yang tersentuh cahaya matahari yang tersisa. Kage sesekali melirik ke kaca spion, memperhatikan jalan yang baru saja mereka lewati. Pandangannya penuh kehati-hatian, tapi itu malah mengusik ketenangan Hikari yang duduk di sampingnya.
"Hentikan itu," Hikari menghela napas panjang, dengan suara sedikit kesal, "Apa kau tidak lelah? Kita sudah jauh dari mereka. Jangan terlalu mencemaskan apakah mereka mengejar atau tidak."
Kage membalas dengan tatapan serius. "Mereka bisa saja mengejar kita," suaranya rendah dan penuh keyakinan. Tak lama setelah itu, mobil yang mereka kendarai tiba-tiba bergetar dan melambat sebelum akhirnya berhenti. Suara mesin yang menderu tadi berubah menjadi keheningan, membuat ketegangan di antara mereka semakin terasa.
"Mas Kage, apa yang terjadi?" Hikari menatapnya dengan cemas, suaranya terdengar bergetar sedikit.
Kage memandang ke arah roda, lalu berdecak pelan. "Sepertinya mobil ini mogok, dan hampir semua bannya bocor," jawabnya sambil menepuk setir. Mereka berada di tengah jalan yang dikelilingi pepohonan rimbun, mengarah ke pegunungan kecil dengan pedesaan yang sunyi. Langit yang sudah mendung kini mulai menumpahkan hujan deras, seolah mempertegas suasana tak bersahabat malam itu.
Hikari memandang ke atas, menyipitkan matanya ketika butir-butir hujan mulai meresap lewat jendela mobil yang sedikit terbuka. "Astaga, kenapa harus hujan juga," gumamnya sambil memeluk dirinya sendiri agar sedikit hangat.
Kage, tanpa berkata apa-apa, segera melepas mantel jasnya dan memakaikannya ke bahu Hikari. Mantel itu terasa hangat dan menenangkan di tengah hawa dingin yang semakin menusuk.
"Kau yakin? Kau sendiri tidak apa-apa tanpa ini?" Hikari menatapnya, matanya mencerminkan sedikit kekhawatiran.
Kage hanya mengangguk singkat. "Aku baik-baik saja. Yang penting kita harus segera mencari pertolongan," balasnya tenang namun penuh perhatian. Saat mereka mulai berpikir mencari tempat berteduh, suara dari semak-semak membuat Hikari melonjak terkejut. Dia merapat pada Kage, jantungnya berdetak lebih cepat, dan bulu kuduknya berdiri.
"(Apa itu?!)" pikir Hikari, kepalanya menoleh cepat, memperhatikan setiap gerakan yang tampak dari sudut matanya. Kage, yang dengan sigap berdiri di depannya, bersiap menghadapi siapa pun yang mungkin datang.
"Mas Kage...." Hikari menunjukan ketakutan nya.
"Ini baik baik saja..." Kage tetap membuat Hikari ada di belakang nya sementara dia bersiap akan melawan bahaya itu.
Namun, dari balik semak muncul sosok tua dengan pakaian lusuh, seorang kakek kecil dengan wajah yang tampak kebingungan melihat mereka.
"Astaga!" Dia terkejut menatap mereka. "Apa yang kalian lakukan di sini? Di sini dingin sekali," tanya kakek itu dengan nada lembut namun khawatir. Kage tetap memandangnya penuh waspada, sorot matanya tajam.
"Menjauhlah," jawabnya singkat, suaranya terdengar dingin dan penuh curiga. Hikari, yang mulai merasa sikap Kage berlebihan, berusaha meredakan suasana. Ia sedikit mendorong Kage, lalu mendekati sang kakek.
"Kakek, mobil kami mogok. Apa di sini ada penginapan?" tanya Hikari, suaranya penuh harap. Hujan yang turun semakin deras, membuat suara setiap tetesan menambah kesan sepi dan menakutkan.
"Ini adalah desa kecil, tidak ada penginapan. Tapi kalian bisa menginap di rumahku. Ada satu kamar di belakang rumahku, kalian bisa menggunakannya," kata kakek itu sambil memberi isyarat agar mereka mengikutinya. Mereka pun berjalan menembus hujan, mengikuti kakek tua yang langkahnya tertatih namun pasti.
Saat tiba, mereka memasuki kamar sederhana di rumah kayu kakek tersebut. Di tengah ruangan, ada ranjang besar dengan selimut tebal. Hikari memandang ranjang itu, menelan ludah, sementara pipinya memerah sedikit. "Sa-satu ranjang? Kakek, apa tidak ada ranjang lain?" tanyanya pelan, hampir berbisik.
"Sebenarnya tidak ada. Kamar ini biasanya milik putraku. Dia sedang keluar kota, jadi tidak apa-apa. Apa kalian keberatan? Aku pikir kalian adalah sepasang kekasih baru," kakek itu tersenyum hangat, menatap mereka seakan memahami hubungan mereka.
"Ya, kami adalah keluarga baru," sela Kage sambil merangkul pinggang Hikari dengan santai. Hikari sedikit terkejut, namun memilih diam meski wajahnya memerah malu.
Kakek itu tertawa kecil. "Kalau begitu tidak masalah, ya? Aku akan beristirahat dulu." Ia pun berjalan meninggalkan mereka, sementara Hikari melepaskan diri dari genggaman Kage dengan kesal.
"Apa yang kau lakukan sih?" tanyanya dengan nada marah.
Kage hanya tersenyum tipis. "Tidak apa-apa, bukankah kita belum tidur bersama sejak terakhir kali?" ujar Kage, lalu berjalan ke arah ranjang dan duduk di tepinya sambil melepas sepatu.
Hikari mengalihkan pandangannya, tak mau menunjukkan rasa malunya. "(Hmp, pokoknya aku tidak mau tidur bareng kamu... Enak saja mau tidur di sini bareng. Aku akan membuatnya tidur di bawah nanti,)" pikirnya sambil mendekap diri di sudut kamar. Tapi saat ia menoleh, ia terkejut karena Kage sudah mulai melepas baju atasnya.
"A-apa yang kau lakukan... dasar cabul!" Hikari berseru, suaranya tercekat.
"Bajuku basah. Sebaiknya kita segera tidur," jawab Kage singkat, seraya mematikan lampu dan berbaring di ranjang. Hikari terdiam di tempatnya, melihat ke arah Kage yang sudah tampak nyaman. "(Benar juga, baju Mas Kage basah... Bajuku juga basah, tapi tidak semua karena ada mantel Mas Kage tadi... Haruskah aku melepasnya juga?)" pikirnya, hatinya berdebar-debar.
Tanpa sadar, ia mulai melepas pakaiannya yang basah, meninggalkan bra dan celana dalamnya saja. Namun, saat ia berbalik, matanya bertemu dengan pandangan Kage dalam keheningan gelap. Pandangan mereka bertemu dalam suasana samar, membuat perasaannya semakin gugup.
Kage memperhatikan tubuh Hikari yang bersinar dalam kegelapan dengan kulit putihnya yang lembut. Dia menatapnya, lalu menarik lengannya untuk tidur di sampingnya. "Ehem, sebaiknya kau jangan lakukan itu. Hanya perlu tidur saja...."
"Apa? Oh, kenapa? Apa kau tidak suka aku seperti ini?" goda Hikari, meski dirinya juga sedikit malu. Wajah Kage tetap tenang, hanya memejamkan mata dan tidak mempedulikan rayuan kecil Hikari.
"Ini bukan waktu yang tepat, lagi pula, aku harus menganggap aku beruntung karena kau merayu aku," gumamnya tenang. Hikari hanya membuang muka, wajahnya memerah hebat. "(Dasar bodoh, siapa juga yang membuatmu beruntung... Hmp!)"
Di tengah hujan deras yang menderu, suasana menjadi semakin sunyi. Hanya ada suara hujan yang menetes di atap kamar dan suara angin yang sesekali berbisik di luar jendela. Cahaya remang-remang dari lampu kamar yang hampir mati menciptakan bayangan samar di wajah Kage yang sudah terlelap.
Hikari, yang masih terjaga, berusaha untuk meredakan rasa gugupnya. Tangannya perlahan menarik selimut lebih tinggi, menyembunyikan wajahnya yang bersemu merah. Bukan hanya karena dinginnya udara yang menusuk, tapi juga rasa canggung yang muncul setelah apa yang baru saja terjadi.
Dia melirik Kage yang terbaring di sebelahnya. Sosoknya yang tenang, meskipun biasanya tampak tegas dan dingin, terlihat lebih lembut saat terlelap. Hikari tak bisa menahan senyum kecil yang perlahan terlukis di wajahnya. Ada sesuatu tentang Kage yang membuatnya merasa aman, meski kadang pria itu terlihat begitu penuh misteri dan tertutup.
"(Dasar, kau membuatku bingung terus,)" gumam Hikari dalam hati, sembari memandang Kage yang masih tidur.
Ingatan akan perjalanan yang baru mereka lalui mulai memenuhi pikiran Hikari. Teringat bagaimana Kage selalu waspada, berkali-kali menengok ke kaca spion, seakan merasa ada yang terus mengintai. Semua tindakan Kage, mulai dari tatapan tajam hingga cara ia melindunginya, membuat Hikari yakin bahwa pria itu menyimpan sesuatu yang lebih dari sekadar sifat dingin.
Namun, di balik sikap kerasnya, Hikari mulai menyadari ada sisi lembut yang Kage sembunyikan. Mantel yang diberikan saat hujan tiba-tiba saja tadi adalah salah satu contohnya. Tanpa mengatakan apapun, Kage selalu menunjukkan kepedulian dengan caranya sendiri. Di balik ketegasannya, terselip perhatian yang tak biasa.
"(Dia... Selalu berusaha, dia berusaha untuk membuat ku percaya padanya dan dia tidak menyesal, mencintai gadis biasa sepertiku. Entah apa alasan nya, tapi aku benar benar masih tidak mengerti. Banyak wanita yang lebih baik dari aku, kenapa harus memilihku, aku juga tidak memiliki status apapun... Apa ini karena, Mas Kage menganggap dirinya juga bukan siapa siapa? Pekerjaan besarnya hanyalah figur yang tidak niat ia kerjakan, jauh dari lubuk hatinya, dia tak ingin sibuk, dia tak ingin bekerja lama dan dia hanya ingin menjadi orang biasa yang mencintai gadis biasa sepertiku... Mungkin... Tapi, konflik membuat kita semakin sangat jauh, aku benar benar tak tahu lagi harus apa...)" ia tampak khawatir dan sesekali mengelus dada Kage yang terlapisi selimut.
Hikari terdiam sejenak, lalu menoleh ke arah jendela yang masih dibasahi air hujan. Dia merasa ada sesuatu yang tak terucapkan di antara mereka. Rasa penasaran bercampur dengan perasaan hangat yang entah sejak kapan mulai tumbuh dalam hatinya.
"(Apa mungkin... aku mulai menyukainya?)" pikir Hikari, yang kemudian langsung menepis pemikiran itu. Hatinya berdebar tak karuan saat bayangan wajah Kage kembali melintas di benaknya.
Tanpa sadar, Hikari mendekatkan wajahnya, memperhatikan sosok Kage yang terbaring damai. Aroma samar yang khas dari Kage, mungkin sisa dari perjalanan panjang, masih tercium dari dekat. Aroma itu terasa menenangkan, seakan melambangkan kehadiran Kage yang selalu siap melindungi.
Di tengah ketenangan malam itu, Hikari akhirnya menghela napas panjang. Tatapannya perlahan melembut, dan untuk sesaat, ia membiarkan dirinya menikmati kedekatan mereka yang jarang terjadi.
Namun, ia tahu, perasaan ini masih perlu waktu untuk ia pahami.
"(Aku tidak boleh berpikir terlalu banyak soal ini, apalagi aku terus menebak diriku apakah aku menyukai nya. Tentu saja aku sangat ingin melakukan nya, tapi aku terlalu takut untuk risikonya, sudah jelas dia memiliki banyak risiko juga.... Aku tak mau terlalu jauh melakukan ini bahkan aku belum percaya padanya sepenuhnya...)" pikirnya sekali lagi.
Tapi mendadak Kage memanggil pelan. "Hikari..."
Seketika Hikari terkejut. "Ah, iya, apakah aku membangunkan mu?!"
"Kenapa kau tidak tidur?" tanya suara Kage yang semakin menipis.
"Aku akan tidur... Sebentar lagi..." balas Hikari dengan wajah cemas.
"Tidurlah, hari esok akan aman..." Kage berkata semakin tipis dan ia tertelan kantuknya membuat Hikari terdiam. "(Kenapa dia terdengar aneh?)"