Sesampainya di tujuan kota, mereka berjalan mencari hotel dengan langkah yang penuh harapan. Kota ini memiliki suasana yang ramai, dengan suara kendaraan yang berlalu-lalang dan aroma makanan yang menggoda dari kedai-kedai di sepanjang jalan. Lampu-lampu berwarna-warni menghiasi trotoar, menciptakan atmosfer yang semarak. Hikari dan Kage saling bertukar pandang, merasakan ketegangan dan kebahagiaan yang campur aduk di dalam hati mereka.
"Perjalanan masih jauh, dan kita harus menggunakan kendaraan lain untuk ke tujuan," kata Kage sambil melihat ke sekitar, mengamati jalan yang terbentang di depan mereka. Dia mencoba merencanakan langkah selanjutnya, merasa tanggung jawab untuk memastikan Hikari sampai dengan selamat. Matanya yang tajam menelusuri setiap sudut, sementara pikirannya dipenuhi dengan perasaan cemas.
Hikari, yang berjalan di sampingnya, terus ingin menggandeng Kage dengan meraih tangannya, tapi ia cukup takut. "(Aku ingin sekali menggandengnya... Aku ingin kami terlihat seperti pasangan, tapi bagaimana ini? Aku takut jika dia menolaknya.)" Di dalam hatinya, keraguan dan harapan berkelindan, menciptakan dilema yang membuatnya ragu untuk bertindak. Dia mencuri pandang ke arah Kage, mencoba membaca ekspresi wajahnya, yang tampak serius namun penuh perhatian.
Alhasil, Kage lah yang memegang tangannya. Hal itu membuat Hikari terkejut, dan wajahnya yang semula tenang berubah merah seketika. Mereka menjadi bergandengan, seperti dua bintang yang beruntung bertemu di tengah keramaian. Hikari merasakan getaran hangat yang menyebar dari genggaman tangan Kage, dan senyuman ceria tak bisa ia sembunyikan.
"Ini seperti bulan madu," Kage mengangkat gandengannya dengan nada menggoda, seolah-olah mereka berada di dunia yang hanya milik mereka berdua.
"A, apa kita bahkan tidak menikah?" Hikari menatap panik, perasaan cemas menyergapnya. Dia tak ingin menganggap ini terlalu jauh, namun di dalam hati, ia merasa senang dan bersemangat.
"Kita akan," jawab Kage, menatap Hikari dengan keyakinan yang mendalam. Kata-katanya membuat Hikari tambah terkejut, namun ada harapan yang muncul di benaknya.
"Membiarkanmu ikut padaku adalah sebuah kesalahan. Sepertinya kau salah paham. Kau pikir cerita bisa dibangun lagi?" Hikari mendadak melepas tangan Kage dengan wajah datar lalu berjalan duluan. Tindakan ini diiringi dengan perasaan bingung yang menyelimuti hatinya, seolah-olah ia berusaha melindungi diri dari kemungkinan yang menyakitkan.
Kage terdiam melihat itu. Dia menatap tangannya sendiri, merasakan kehilangan yang tiba-tiba. Ia menghela napas panjang sambil mengepal tangan. "(Aku tidak akan menyerah... Aku akan membangun cerita kita lagi... Tanpa ada yang mengganggu...)" Tekadnya semakin menguat, bertekad untuk menghadapi segala rintangan yang menghadang di depan mereka.
Sementara itu, di rumah sakit yang besar, Haku menatap Chichi yang terbaring di ranjang rumah sakit. Wajah Chichi yang pucat membuat Haku merasa berat di dadanya. Dia menatap dengan wajah datar, berusaha menahan perasaan cemas dan putus asa yang menyelimuti hatinya. "Chichi, aku akan mengawasi Kage untukmu," tatapnya dengan serius, bertekad untuk melindungi adiknya dari segala bahaya, lalu berjalan pergi meninggalkan Chichi yang masih koma.
Haku memasuki kantor Minoyaki milik Kage. Ruangan itu dipenuhi dengan aroma kopi dan suasana yang hangat. Haku berjalan masuk ke kantor Kage dengan cara yang tidak sopan, membukanya langsung dan melihat seseorang duduk di bangku Kage dengan membelakanginya. Haku mengira itu Kage. "Kage, aku diminta Chichi untuk mengawasi mu agar tidak dekat dengan gadis polos itu," kata Haku sambil berjalan mendekat, merasa ada tanggung jawab besar yang harus ia penuhi.
Tak hanya itu, dia menambah perkataannya. "Kage, kudengar kau merubah tata pengambilan gedung Minoyaki. Apa maksudmu memberikan gedung itu padaku? Bukankah yang seharusnya bekerja itu kau? Tapi kenapa kau memberikannya padaku, mentang-mentang Chichi tidak mengawasi mu... Kage, kau dengar!" Saat ia membalik kursi, dia terkejut melihat Chen yang duduk di sana, wajahnya berkeringat dan tampak tegang.
"Ha-Halo, Tuan Haku," Chen menjawab, suaranya bergetar.
"... Di mana Kage?" Haku menatap kesal, perasaannya campur aduk. Lalu Nian datang sambil memegang kakinya, membuat Haku terkejut dan melihat ke bawah. Seketika, Chen menggendong Nian dengan lembut, namun wajah Chen tetap tampak gelisah.
"Siapa bayi itu, Chen?" tatap Haku dengan serius, merasa bingung dan curiga.
"Ini, ini bayiku hehe, Tuan Haku, ini bayiku," Chen menjawab, berusaha terdengar percaya diri meski keringatnya semakin mengucur deras.
"Kenapa kau membawanya ke kantor Kage? Dan di mana adikku yang keras kepala itu?" Haku menuntut jawaban, merasa bahwa ada sesuatu yang tidak beres.
"Maaf, Tuan Haku, tapi Tuan Kage sedang menjalani urusan dengan direktur lain. Dia akan pulang tiga hari lagi," Chen menjelaskan, berusaha mempertahankan ketenangan di tengah situasi yang tegang.
"Omong kosong, Chen. Kau pikir aku ini bodoh? Bayi ini sama sekali tidak mirip denganmu. Memangnya kau sudah menikah?" Haku menginterupsi, tatapannya tajam.
"Tuan Haku, dengarkan penjelasanku dulu," Chen mendesak, tetapi ketegangan semakin meningkat.
"Gege sedang pergi bersama ibu ke Juo," Nian menyela dengan polosnya, tanpa menyadari betapa pentingnya informasi itu, membuat Chen terkejut tak berkutik.
"Ibu mu?" Haku menatap Nian dengan rasa ingin tahu dan kekhawatiran.
Lalu Nian mengangguk cepat dengan wajah polosnya, ketidakpahaman anak kecil itu membuat Haku semakin bingung.
Haku masih bingung, siapa ibu yang dimaksud, lalu dia bertanya lagi. "Siapa nama ibu mu?" Haku menatap.
Tapi ketika Nian akan menjawab, mendadak Chen menutup mulutnya dengan cepat. Seketika Haku melirik ke Chen, merasakan ada yang tidak beres.
"Ibunya... Em... Sedang berbisnis dengan Tuan Kage, jadi, ini juga kepentingan," tatap Chen, berusaha mengalihkan perhatian.
Tapi Haku menyingkirkan tangan Chen dari mulut Nian. Lalu Nian mulai berbicara. "Hikari...."
Seketika Haku dan Chen terkejut, keduanya saling berpandangan, terkejut dengan nama yang disebut Nian.
"Ouh, jadi kau sudah pandai berbohong, Chen. Jabatanmu di sini adalah mengawasi dan menyarankan hal yang masuk akal untuk Kage. Kenapa kau juga berbohong padaku? Aku ini juga yang telah memasukkanmu." Haku menatap tajam, perasaan marah dan kecewa menyatu.
"Maafkan aku, Tuan Haku. Aku tidak bermaksud menentangmu, tapi aku ini adalah pendukung Tuan Kage. Apapun yang dia pilih dan mau adalah pilihannya sendiri, bukan pilihan Anda maupun Tuan Besar." Chen berusaha menjelaskan, tetapi Haku sudah berada di ambang kemarahan.
Haku menatap Chen dengan pandangan tajam yang penuh amarah. "Chen, kau pikir bisa terus menutupi semuanya dariku? Kau bahkan berani membawa anak ini, yang jelas bukan anakmu, untuk menutupi rahasia adikku. Berapa lama kau pikir bisa mempertahankan kebohongan ini?"
Chen menelan ludah, mencoba menenangkan dirinya sendiri. "Tuan Haku, aku hanya melakukan apa yang aku anggap terbaik untuk Tuan Kage. Dia memiliki alasannya sendiri mengapa memilih jalan ini, dan aku tidak bisa mengungkapkannya begitu saja."
"Oh, jadi kau sekarang berpikir kau lebih tahu apa yang terbaik daripada aku, ya?" Haku mendengus sambil melipat tangannya. "Aku ini saudaranya, Chen! Adik kandungku sendiri yang sedang kau lindungi dari apa, huh? Dari keluarganya sendiri?"
Chen menggelengkan kepala. "Ini bukan soal melindunginya dari Anda, Tuan Haku. Ini soal mendukung keputusan hidupnya. Dia memilih bersama Nona Hikari karena—"
"Karena apa? Kau pikir aku tidak tahu siapa Hikari? Gadis polos yang hanya akan memperkeruh segalanya! Apa yang dia bisa bawa pada Kage? Kau terlalu buta pada keinginan adikku, Chen, bahkan kalau itu akan membawanya pada kehancuran!" Suara Haku semakin meninggi, membuat Nian yang berada di pangkuan Chen hanya bisa menatap polos dengan bingung.
Chen menggenggam Nian erat-erat, berusaha menenangkan anak kecil itu. "Tuan Haku, dengan segala hormat, aku percaya Tuan Kage tahu apa yang dia lakukan. Nona Hikari bukanlah orang yang Anda bayangkan. Dia… dia adalah wanita yang mampu mengisi hidup Tuan Kage dengan cara yang tidak bisa dilakukan siapa pun."
Haku tertawa sinis. "Isi hidup? Kau pikir adikku butuh 'mengisi hidup'? Dia sudah memiliki semuanya. Yang perlu ia lakukan adalah tetap fokus pada tanggung jawabnya, bukan terbuai oleh… perasaan bodoh yang hanya akan mengacaukan segalanya!"
Chen mendesah panjang, mencoba bertahan. "Maaf, tapi aku tidak bisa menyampaikan itu pada Tuan Kage. Dia adalah pria yang dewasa dan tahu apa yang dia inginkan. Bukan hak kita untuk memutuskan—"
"Dan kau, Chen, bukan siapa-siapa untuk menghakimi apa yang benar untuk keluarga ini!" Haku membalas tajam. "Kau pikir kau bisa bersikap seperti ini hanya karena Kage mempercayaimu? Jika bukan karena aku, kau bahkan tak akan punya posisi di sini!"
Chen mengepalkan tangan dengan erat, namun tetap berusaha mempertahankan nada suaranya. "Aku berterima kasih untuk semua yang Tuan Haku lakukan. Tapi jika itu berarti aku harus mengkhianati Tuan Kage dan mengabaikan kebahagiaannya, maka aku… tidak bisa melakukannya."
Nian yang masih duduk diam di pangkuan Chen, menatap Haku dan Chen bergantian, dengan matanya yang besar dan polos. "Gege dan ibu bahagia…"
Haku menghela napas, menatap Nian dengan pandangan sinis. "Bocah ini bahkan tidak tahu apa yang terjadi. Chen, kau benar-benar akan mengorbankan posisi dan tanggung jawabmu hanya demi satu kebahagiaan palsu adikku?"
Chen menarik napas dalam-dalam, menahan ketegangan yang meluap. "Jika itu demi kebahagiaan Tuan Kage, aku rela. Aku di sini bukan untuk keuntungan pribadi, Tuan Haku, dan aku tidak akan mundur hanya karena ancaman Anda."
Haku mendengus lagi. "Kau semakin berani, Chen. Baik, jika kau ingin mempertahankan kesetiaanmu pada Kage, kita akan lihat seberapa jauh kau sanggup. Tapi ingat ini, Kage adalah bagian dari keluarga ini. Dan keluarga ini tidak akan membiarkan keputusan bodoh seperti itu menghancurkan semua yang telah dibangun."
Chen menatap Haku dengan tekad yang kuat. "Kalau begitu, kita akan lihat siapa yang benar, Tuan Haku. Apakah keputusan Tuan Kage memang bodoh, atau justru itu yang terbaik untuknya."
Nian, masih duduk diam dengan tatapan polos, mengerutkan alis. Ia tidak mengerti apa yang terjadi, tapi suasana di sekitarnya begitu tegang hingga ia merasa perlu untuk menggenggam tangan Chen lebih erat.
"Hmp, sudah berani kau padaku, Chen. Aku akan tunjukkan seberapa lemahnya adikku itu," kata Haku sambil berjalan pergi, meninggalkan Chen yang merasa tertekan.
Chen menurunkan kelopak mata sambil kecewa. Nian yang menengadah melihatnya menjadi bingung dan polos.
"Ada apa dengan ibu?" Nian menatap polos, ketidaktahuannya menambah ketegangan di antara mereka.
"Nian, ibu mu mungkin tidak bisa tenang nantinya, dan ini salah mu," Chen menatap panik, tetapi Nian tampak polos, seolah-olah tidak mengerti dampak dari kata-katanya.
"Kage pasti memarahiku sejadi-jadinya..."