Chereads / Romantika Gadis Kontrak / Chapter 31 - Chapter 31 Bersama Mu

Chapter 31 - Chapter 31 Bersama Mu

Hari selanjutnya, Hikari membuka mata dengan perlahan. Cahaya pagi yang lembut menyelinap masuk melalui celah tirai, memancarkan nuansa hangat di dalam kamar. Ia menatap langit-langit kamarnya yang dihiasi dengan warna biru cerah, mengingatkan pada langit di luar yang biasanya cerah di pagi hari. Hikari masih terbaring di ranjang, merasakan kehangatan selimut yang membungkusnya. Di sampingnya, Nian, si anak kecil yang tampak lucu dan menggemaskan, tidur pulas dengan ekspresi damai, rambutnya yang berantakan tampak seperti helaian sutra.

Hikari terdiam sejenak, menikmati momen tenang sebelum memulai harinya. Setelah beberapa saat, ia bangkit dan duduk di tepi ranjang. "(Rasanya... Tidurku enak sekali... Sepertinya Mas Kage sudah pergi tadi malam. Untungnya, dia tidak menginap...)" pikirnya dengan bingung, lalu ia keluar dari ranjang. Ketika melihat ke kalender di dinding, Hikari mendapati bahwa hari ini adalah hari libur. Senyumnya merekah, dan ia menghela napas panjang, merasakan beban dari rutinitas sehari-hari seolah menguap bersama udara segar pagi.

"Aku bisa bersantai di sini... Nian..." serunya lembut sambil membangunkan Nian. Suara lembutnya seakan menambah kehangatan pagi yang telah ada.

Tak lama kemudian, Hikari dan Nian duduk di ruang tamu yang nyaman. Televisi menyala di sudut ruangan, memancarkan cahaya cerah yang berkontras dengan suasana tenang. Hikari duduk di bawah sofa, posisi nyaman yang sudah biasa, sambil memakan cemilan ringan yang terletak di sampingnya. Nian, yang duduk di atas sofa, menatap layar dengan antusias, matanya bersinar penuh rasa ingin tahu. "Ibu, di mana Gege?" tanyanya, suaranya yang lembut terdengar penuh kepolosan.

"Hm... Dia sedang sibuk, dia juga tak akan kemari..." jawab Hikari sambil memikirkan tentang kehadiran Kage yang sering mengisi harinya. Pandangannya beralih ke sekitar, dan ia teringat akan keindahan mawar putih yang masih berserakan di sudut ruangan. Bunga-bunga itu, meskipun indah, kini menjadi pengingat pahit dari masa lalu.

"(Setiap kali aku melihat mereka, aku merasa ingin membuangnya saja.)" kenang Hikari, pikirannya melayang kepada Ray, si pemilik toko bunga yang selalu memberikan buket indah itu. Dengan tekad, ia berdiri dan mengambil satu per satu kelopak maupun buket mawar yang masih ada di vas hingga di gelas cantik lainnya, yang kini terlihat sepi tanpa kehadiran bunga. Saat itu, suasana di sekelilingnya terasa hampa, dan Hikari merasakan angin lembut yang masuk dari jendela, seakan menyemangati langkahnya. Dia membuang semua bunga itu, menyimpan tempat sampahnya agar tak ada satu pun bunga dari pemberian Ray yang terlihat di rumahnya, seolah ingin menutup lembaran lama dalam hidupnya.

"(Aku akan melupakan hal itu lagi...)" katanya dalam hati, menghela napas panjang saat kembali duduk di bawah sofa. Namun, suasana tenang itu segera pecah saat ia teringat sesuatu dan mengambil ponselnya yang terletak di sampingnya. Dengan ragu, ia menatap ponsel yang tampak sepi, tidak seperti hati yang kini bergejolak.

"(Aku belum membuka ponselku dan...)" Hikari menatap layar dan menemukan banyak pesan suara atau panggilan dari kakaknya yang terus menghubunginya semalaman. Hatinya berdebar saat melihat notifikasi itu, pertanyaan mulai muncul.

"(Astaga... Apa ada masalah?)" Hikari bingung, lalu segera menghubungi kakaknya lagi, harap-harap cemas.

"Halo?" suara Yuki terdengar langsung, menambah rasa lega sekaligus penasaran di hati Hikari.

"Kakak, ada apa sebenarnya? Kenapa menghubungiku banyak sekali?" Hikari bertanya dengan nada bingung, ingin mengetahui alasan di balik panggilan-panggilan itu.

"Ah itu, aku dan suamiku rencana akan ke kampung halaman orang tua kita, tapi sepertinya kami sibuk. Bagaimana jika kamu menjenguk mereka?" kata Yuki dengan nada yang terdengar penuh harap, seolah ingin memberikan dorongan kepada adiknya. Suaranya yang lembut dan penuh kasih selalu membuat Hikari merasa nyaman, meskipun sekarang terasa ada kesibukan yang menghalangi rencana mereka.

"Menjenguk mereka... Benar juga sih, kita sudah lama tidak menjenguknya," balas Hikari, pikirannya melayang ke momen-momen indah yang mereka habiskan bersama orang tua. Rindu mulai menyelimuti hatinya saat mengenang senyum hangat dan cerita-cerita yang sering dibagikan di meja makan saat berkumpul.

"Aku sebenarnya ingin menjenguk mereka, tapi aku dan suamiku sibuk. Aku minta bantuanmu ya, adikku. Oh iya, bagaimana keadaanmu dengan Kage?" Yuki tiba-tiba bertanya, mengubah arah percakapan. Hikari merasakan jantungnya berdegup lebih cepat, seolah pertanyaan itu membuka kembali banyak pintu yang ingin ia tutup rapat-rapat.

Seketika Hikari terkejut, kaget dengan pertanyaan yang tiba-tiba muncul. "Apa yang kakak bicarakan?!" tanyanya dengan nada tidak percaya, merasa ada sesuatu yang aneh dengan arah pembicaraan ini.

"Loh, kenapa? Kage bilang hubungan kalian semakin baik. Aku selalu menghubunginya, dan dia selalu melaporkan padaku bahwa Hikari itu cantik dan gampang menurut," jawab Yuki dengan nada ceria, seolah mengungkapkan sebuah rahasia manis. Namun, kata-kata itu seperti petir di siang bolong bagi Hikari.

Hikari terdiam, mulutnya terbuka sedikit, tidak tahu harus berkata apa. "Kakak... Tak berbohong kan?" tanyanya dengan suara yang hampir bergetar, hatinya bergejolak antara percaya dan skeptis.

"Eh, kenapa harus berbohong? Oh, kamu pasti kaget. Aku selalu menghubunginya. Jangan khawatir, aku hanya ingin meminta jawaban Kage soal hubungan kalian, dan rupanya hubungan kalian langgeng ya... Kakak bangga padamu," kata Yuki dengan senang, seolah sudah mendengar berita baik yang lama dinantikan.

Namun, Hikari masih merasa sulit untuk percaya dengan apa yang dia dengar. "(Apa maksudnya itu? Itu sungguh mengejutkan sekali... Mas Kage selalu bilang pada Kakak Yuki bahwa hubungan kita baik-baik saja. Jadi, dia tidak menceritakan saat dia menikah dengan Lily atau ketika kita berpisah, aku yang melarikan diri dan tidak mau mendengar masalahnya dulu. Kenapa dia bisa begitu...)" pikirnya, kebingungan dan keraguan bercampur dalam benaknya.

"Hikari?" tanya Yuki, suaranya membawa Hikari kembali ke dunia nyata.

"A... Em... Ya... Aku akan menjenguk mereka berdua, jadi jangan khawatir," kata Hikari, berusaha memberikan jawaban yang meyakinkan meskipun hatinya masih dipenuhi oleh banyak pertanyaan.

"Baguslah, terima kasih ya... Ajak Kage juga sana, hihi," kata Yuki dengan nada ceria sebelum mematikan panggilan. Suara beeping dari ponsel menandakan akhir percakapan, tetapi Hikari masih terdiam, otaknya mencerna semua informasi yang baru saja diterima.

Dia lalu menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikiran yang terus berputar. "Benar-benar begitu aneh... Mungkin aku harus menyiapkan barang-barang untuk ke kampung halaman dulu..." gumamnya, suaranya pelan dan penuh kebingungan. Dengan langkah berat, ia melangkah menuju kamar, sementara Nian masih asyik menonton televisi, tidak menyadari betapa besar beban yang mulai menghimpit hati Hikari.

Tak lama kemudian, Nian mendengar suara pintu terbuka dan tertutup kembali. Auranya langsung dingin, tapi Nian bisa mengetahui siapa itu.

Terlihat Kage tadi masuk apartemennya dan menatap ramah pada Nian.

"Gege!" Nian menyapa dengan senang.

"Halo, pria kecil. Di mana ibumu?" Kage mendekat.

"Ibu ada di kamar."

"Ah, baiklah," Kage berjalan menjauh, tapi ia ke dapur dan langsung membuat kopi seperti di tempatnya sendiri, lalu menuju ke kamar Hikari. Rupanya benar, Hikari tengah menyiapkan sesuatu di tas ranselnya.

Kage hanya diam bersandar di pintu dengan kopi hangat di tangannya. "Apa kau berencana pindah?"

"Akh!!" Hikari langsung terkejut, kemudian menoleh dengan cepat. "Ba... Bagaimana kau bisa masuk?!" Hikari tak sadar dari tadi ada Kage, bahkan Kage sudah membuat kopi seperti di tempatnya sendiri.

"Aku tahu pinmu kemarin, jadi aku masuk saja...." kata Kage.

"Kenapa kau ada di sini?" Hikari menatap dingin.

"Kenapa? Apa aku tidak boleh mengunjungimu?"

"Ya, em, ini agak aneh. Aku takut Chichi akan melihat ini."

"Gege!!" Nian menyela dengan senang dan mendekat padanya.

"Biarkan saja dia melihat ini. Chichi sangat mengaturku dan melarangmu mendekat, lagi pula, dia koma di rumah sakit," kata Kage sambil mengambil Nian dan menggendongnya dengan satu tangan karena satunya memegang cangkir kopi yang ia bawa tadi.

"Hah?! Koma?!" Hikari terkejut mendengarnya.

"Itu bukan masalah sepele."

"Apa maksudmu bukan masalah sepele? Ada apa denganmu? Ayahmu sendiri berada di rumah sakit dan kau malah kemari... Kenapa kau mendekatiku?" Hikari menatap panik sambil berdiri mendekat.

Tapi, seketika Kage juga mendekatkan wajahnya dan menciumnya. Nian yang akan menengadah ditutupi wajahnya oleh tangan Kage sendiri.

"Ah... em, Mas Kage, kita bukan lagi kekasih," Hikari menatap lemas. Tapi Kage tetap menciumnya sambil memeluknya.

"Um, hentikan ini, Nian akan melihat," Hikari mendorongnya. "Aku sebentar lagi akan pergi ke kampung," tambahnya dengan wajah yang merona.

"Kampung? Untuk apa?"

"Aku ingin mengunjungi makam orang tuaku di Desa Juo. Aku akan menitipkan Nian padamu, tolong ya."

"Aku tidak bisa menjaga anak kecil."

"Apa maksudmu? Kamu saja bisa menidurkan Nian dengan mudah. Dia bisa ikut kamu dan dia tidak rewel ketika ikut kamu kok," Hikari menatap.

"Alasanku mungkin, aku akan ikut denganmu," kata Kage.

Seketika Hikari terkejut mendengarnya. "Hah? Ikut denganku? Tapi Desa Juo sangat terpencil, jauh, dan berbahaya. Bagaimana jika kau dicari Chichi dan Mas Haku?"

"Hei, justru yang seharusnya terkena bahaya itu adalah kau sendiri karena seorang gadis. Aku akan ikut denganmu dan akan mengatur semuanya," kata Kage.

"Baiklah, jika kau bilang begitu," Hikari membuang muka sambil malu-malu kucing.

Tapi ia teringat. "Mas Kage," dia memanggil, dan Kage membalas dengan manis.

"Hm~?"

"E... Kamu belum memberitahu padaku kenapa Chichi bisa koma, sampai kapan dia akan bangun?" Hikari menatap.

Tapi seketika wajah Kage menjadi suram dan membalas dengan nada berat. "Aku tak peduli jika dia bangun atau tidak... Dia seperti itu karena salahnya sendiri. Dia terkejut berat ketika mengetahui Lily benar-benar murahan di depan semua orang. Kau sudah tahu berita itu, kan? Itu adalah cara di mana aku bisa membalas dendam seperti yang aku janjikan padamu," kata Kage.

Hikari yang mendengar itu menjadi terdiam. "(Aku tak tahu harus berpikir ini baik atau tidak. Aku jadi merasa bersalah pada Chichi, tapi tetap saja, aku mungkin juga merasa kesal seperti Mas Kage karena Chichi juga yang memisahkan kita saat itu. Dan sekarang, apakah aku harus tenang di sisinya... Tapi kita tidak memiliki hubungan apa-apa....)"