Di dalam rumah yang hening, suara tangisan Nian memecah keheningan, melantunkan nada kesedihan yang menggetarkan hati. Wajah mungilnya basah oleh air mata yang terus mengalir tanpa henti. Hatinya, begitu polos, hanya mengenal satu kata: "Ibu." Suara seraknya menggema, tak ada yang bisa menghentikan jeritannya, sementara Shiba memutar otak, tak tahu harus berbuat apa. Tangannya gemetar ketika mencoba menenangkan bocah itu, tapi tak ada hasil. Shiba tak bisa menebak, mengapa Hikari begitu lama. Bayangan kekhawatiran mulai menggelayut di pikirannya.
"Aduh, kemana sih Hikari... Ini sudah sangat lama!" bisik Shiba dengan nada putus asa, keringat dingin mulai merembes di dahinya.
Ketika bel pintu akhirnya berbunyi, suara itu bagaikan penyelamat yang tiba tepat waktu. Dengan nafas lega, Shiba bergegas membuka pintu tanpa memikirkan apa-apa lagi.
"Syukurlah kau sudah datang..." Ucapan Shiba terputus ketika tangannya yang hendak menyerahkan Nian terhenti, matanya terpaku pada sosok besar yang berdiri di ambang pintu. Mata gelap Kage menatap Shiba dingin, tangannya yang besar menerima tubuh Nian dengan mudah. Detak jantung Shiba berdetak cepat, tubuhnya seolah tersedot ke dalam aura mengerikan pria di hadapannya.
Kage berdiri tanpa ekspresi, hanya tatapan matanya yang menusuk, cukup untuk membuat Shiba merasa kecil.
"Mas Shiba, terima kasih sudah menjaganya," suara lembut Hikari muncul dari belakang Kage, seolah mengusir sedikit ketegangan yang sempat mencekam.
Namun, bagi Shiba, rasanya seperti kabur dari bahaya. "(Orang ini auranya mengerikan, sebaiknya aku pergi saja...)" pikirnya. Dengan kikuk, Shiba menundukkan kepala sedikit dan berbalik pergi. "Aku akan kembali, dah," ucapnya cepat-cepat, hampir tersandung di ambang pintu.
Di dalam rumah, keheningan menyelimuti sejenak, hanya suara napas Nian yang tersedu-sedu di pelukan Kage. Mata Kage yang tajam menatap bayi kecil itu dengan rasa heran yang tersembunyi di balik ekspresinya yang datar.
"Bayi ini, apa kau melakukan hubungan dengan lelaki itu?" Pertanyaan Kage yang dingin menusuk, suaranya datar tanpa emosi.
Hikari yang sudah terlalu lelah menahan amarahnya, langsung merampas Nian dari pelukan Kage. "Jangan bicara seperti itu," ucapnya tajam, perasaan marah dan kesal terselip di setiap kata yang keluar dari mulutnya. Kedekatan mereka membuat Hikari bisa merasakan panas tubuh Kage yang mendebarkan, sesuatu yang membuatnya bingung dan tak nyaman.
Namun Kage, seperti biasa, tak terganggu oleh kemarahan Hikari. Malah, ia menarik lengan Hikari dengan ringan, membuat tubuh wanita itu mendekat. Ujung bibirnya sedikit terangkat dalam senyum tipis. "Aku akan menginap di sini," ucapnya, nada suaranya tak membiarkan ada perlawanan.
"Apa kau bilang?" Hikari mendengar hal itu membuatnya menoleh ke Kage.
"Aku akan di sini sebentar.... Apa itu tak masalah?" Kage menatap dengan tatapan yang santai.
Hikari terdiam sejenak dengan ragu. "(Aku sudah memutuskan untuk membencinya saat itu, tapi untuk sekarang aku sedang malas mengatakan nya...)" ia akhirnya membiarkan Kage masuk.
---
Di dapur, suasana agak tenang. Hikari sedang mencoba mengalihkan pikirannya dari keberadaan Kage yang membuatnya merasa terganggu. Dia mengangkat kepalanya, melihat ke arah ruang tamu di mana Kage duduk di sofa. Nian yang kecil merangkak pelan ke arahnya, menempel di kaki kiri Kage dengan polosnya. Melihat itu, Hikari merasa tergerak untuk membiarkan interaksi yang aneh itu terjadi. Dia tahu, Nian butuh figur kuat yang bisa diandalkan, walaupun Kage bukanlah orang yang dia bayangkan sebagai figur tersebut.
Perlahan, tangan besar Kage terulur, mengangkat tubuh mungil Nian dengan mudah. Mata Kage yang biasanya dingin sedikit melunak saat dia menatap bocah kecil itu, dan Hikari memperhatikan dari kejauhan dengan perasaan campur aduk.
"Gege..." gumam Nian dengan suara kecil, memanggil Kage dengan sebutan yang membuat pria itu terdiam sesaat. Bibirnya bergerak sedikit, hampir seperti mencoba menahan senyum yang jarang muncul di wajah kerasnya. Untuk pertama kalinya, Kage tampak lebih manusiawi, jauh dari kesan dingin dan misterius yang selalu mengelilinginya.
Suara tawa Nian bergema di ruangan itu saat Kage mengangkatnya tinggi-tinggi, membiarkan bocah itu merasa seperti terbang. Hikari tak bisa menahan senyumnya melihat pemandangan yang tak biasa ini. Di balik semua sikap dingin Kage, ada sesuatu yang hangat, meskipun hanya sesaat.
Kage menurunkan Nian perlahan, tatapannya teralih pada buku cerita di meja. Saat Nian dengan mata polosnya meminta dibacakan cerita, Kage dengan enggan menuruti. Suara beratnya mulai mengalun dengan pelan, membacakan cerita dengan cara yang tak biasa. Setiap kata yang keluar dari mulutnya terasa asing baginya, tetapi Nian mendengarkannya dengan penuh perhatian, tertidur di pangkuan pria itu. Hikari, yang telah selesai masak, berdiri di ambang pintu dapur, memandang adegan itu dengan hati yang bercampur perasaan. Melihat Kage yang membacakan buku cerita, dia merasa ada hal yang tidak pernah dia duga dari sosok pria itu.
Kedekatan yang tak terduga antara Kage dan Nian menyisakan kesan mendalam dalam benak Hikari. Bagaimana mungkin seseorang seperti Kage, yang selalu membawa aura misteri dan ketidakpedulian, bisa menampilkan sisi lembut hanya dengan seorang anak kecil? Pikiran ini mengganggu Hikari, menambah lapisan kebingungan dalam hatinya.
Setelah semua selesai, ketika mereka duduk di meja makan, suasana kembali berubah canggung. Kage yang biasanya tampak tanpa emosi, kini terlihat aneh saat melihat makanan di hadapannya. Tatapan Hikari jatuh pada Kage yang terdiam, menatap makanannya seolah itu adalah hal yang baru baginya.
"Kau tidak suka wonton?" Hikari bertanya, mencoba mencairkan suasana.
"Aku... suka," jawab Kage dengan suara yang nyaris patah-patah, membuat Hikari heran. Itu jawaban yang sederhana, namun penuh dengan ketidakpastian, sesuatu yang jarang terlihat dari sosok Kage. Ada sesuatu yang tersembunyi dalam pria itu, sesuatu yang bahkan Hikari belum bisa sepenuhnya pahami.
Namun, di balik canda dan interaksi kecil itu, ada ketegangan yang tak kasat mata. Kage, dengan sikap dinginnya, seolah menyimpan rahasia yang lebih dalam. Sementara Hikari, di balik kekesalannya, mulai merasakan ada sesuatu yang berbeda dari cara Kage memperlakukannya. Kedekatan fisik mereka, walaupun sering kali terjadi tanpa disengaja, membawa perasaan aneh yang tak bisa diabaikan.
"Sebaiknya kau segera pergi," tatap Hikari pada Kage.
"Aku tidak akan pergi, bukankah aku sudah bilang akan menginap di sini."
"Aku tidak punya kasur lagi," Hikari menatap kesal.
"Kalau begitu aku akan tidur bersamamu."
"Tidak, kau tidur di sofa," Hikari menyela dengan kesal sambil berjalan ke kamar membawa Nian.
Kage terdiam dingin, lalu ia duduk di sofa. Tapi ponselnya yang berisi banyak pesan membuatnya harus melihatnya, ternyata itu dari Chen.
"Kage, bisa beritahu aku kau ada di mana? Pekerjaan menumpuk di sini," kata pesan itu, tapi Kage tak menghiraukannya sama sekali dan lebih memilih meletakkan ponsel itu di meja sofa.
Tak lama kemudian, Hikari datang membawa selimut.
"Kamu benar-benar ingin di sini?" tatapnya.
"Kenapa? Kau kemari untuk menemaniku," Kage menatap menggoda. Tiba-tiba Hikari melempar selimut ke wajahnya.
"Tidur sendiri dan jangan berisik!!" dia menatap kesal lalu berjalan pergi.
Keesokan harinya, Hikari keluar dari kamar, ia melihat Kage sudah tidak ada. "(Dia pergi... Kupikir dia akan tinggal untuk lebih lama.... Aku memang terlihat tidak menyukai nya, tapi jauh di lubuk hatiku, aku sangat ingin dia ada di sini....)" Ia menjadi agak sedih dan kecewa. Tapi siapa yang menyangka bahwa Kage muncul hanya mengenakan handuk saja.
"Hah, apa yang kau lakukan!! (K... Kupikir dia sudah... Pergi!!)" Hikari terkejut sambil menutup matanya.
"Aku hanya meminjam kamar mandimu yang kecil," kata Kage sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk.
"Kecil kau bilang...?! Ck.... Terserah kau mau bilang apa soal kamar mandiku," Hikari menyilangkan tangan sambil membuang muka.
"Baiklah, aku akan pergi jika kau memang tak mengizinkan aku di sini lagi," Kage mengambil bajunya di sofa.
"Pe... Pergi ke mana?!" Hikari menoleh dengan cemas.
Saat itu Kage tersenyum kecil. Itu karena Hikari begitu cemas dan terkejut ketika Kage mengatakan dia akan pergi.
"(E... Sialan aku dikerjai,)" Hikari berwajah merah lalu berjalan pergi ke dapur.
Beberapa lama kemudian, Hikari terlihat memasak di dapur. Kage di ruang tamu mengangkat telepon dari Chen. "Kage, di mana kau... Kenapa kau tidak kembali ke perusahaan? Apakah semalam baik baik saja?" tanya Chen.
"Aku sedang ada di luar, untuk sementara urus saja itu terlebih dahulu..."
"Apa kau ada di rumah Hikari?" kata Chen. Seketika Kage terkejut, ia lalu menghela napas panjang.
"Aku akan mengeluarkanmu," katanya dengan nada dingin, membuat Chen terkejut. Itu karena Chen terus mengganggunya.
"M... Maksudku kau ada di luar menemui orang penting, bukan untuk bisnis, hehe... Jadi sampai jumpa," Chen langsung menutup panggilan. Dia benar-benar telah memancing Kage.
Kage meletakkan ponselnya dan melangkah ke dapur. Mengintip Hikari yang sedang memasak, ia diam-diam berjalan di belakangnya dan akan memegang pinggang Hikari, tapi ia ketahuan. "Jangan mengganggu."
". . ." Kage terkejut dan berhenti. "Ehem, kau memasak apa?"
"Salmon," Hikari membalas, lalu ia mencicipi satu. Ia agak bingung. "Hmm, rasanya agak aneh. Bisa kau rasakan?" Hikari akan menyuapi Kage. Saat Kage akan memakannya, mendadak Hikari terkejut. "A-apa yang kulakukan?" Ia menarik kembali tangannya, tapi Kage menahan tangan Hikari, alhasil Hikari tetap menyuapi Kage.
"(Ini memalukan,)" ia bermuka merah.
Seperti ketika Hikari dengan malu-malu menyuapinya. Itu bukan soal makanan, tapi lebih kepada keheningan yang mengisi ruangan sesaat sebelum Hikari menarik tangannya. Hikari mungkin tidak tahu, tapi Kage bisa merasakan betapa ia berjuang untuk menyembunyikan kebingungannya. Itu yang membuat Kage tetap berada di sisi Hikari, keinginan untuk melihat sejauh mana Hikari bisa mempertahankan dirinya sebelum akhirnya mengakui apa yang sebenarnya ia rasakan.
Saat Hikari menyuapinya dengan tangan yang gemetar, Kage tidak memikirkan soal rasa salmon itu. Yang ia pikirkan adalah bagaimana momen itu membungkus keduanya.
Perasaan canggung di antara mereka bukanlah sesuatu yang perlu dihindari; itu adalah bagian dari permainan ini. Meskipun permainannya terlihat sederhana, kenyataannya jauh lebih rumit.
". . . Ini kurang perasan lemon," kata Kage.
"Eh, mungkin benar juga. Tapi ngomong-ngomong, bukankah kau harus bekerja? Kau akan terlambat nantinya."
"Beri aku satu ciuman dulu," Kage mendekat.
"Apaan, aku tidak mau, dasar aneh. Cepat berangkatlah kerja," Hikari mendorongnya dan menolaknya.
"Kenapa buru buru sekali jika aku bisa menikmati waktu di sini..." bisik Kage yang terus berdiri menemani Hikari yang memasak. Sementara Hikari bertambah berwajah merah.