Malam itu, Hikari menatap ponselnya yang bergetar. Sebuah pesan dari Ray muncul, singkat namun cukup mengejutkan, "Bisa kita bertemu di kafe sekarang?"
Hikari mengerutkan dahi, merasakan sedikit kegelisahan menghinggapi dadanya. "(Mengapa Mas Ray tiba-tiba ingin bertemu?)" Terlintas dalam benaknya untuk menolak, tapi rasa ingin tahu lebih besar dari keraguannya. Ia memutuskan untuk berangkat, namun pertama-tama, ia perlu memastikan Nian ada dalam tangan yang aman.
Berjalan menuju pintu rumah Shiba, Hikari membawa Nian yang sibuk dengan jeruk di tangannya. "Mas Shiba, boleh minta tolong?" Suara Hikari terdengar lembut namun penuh harap, sementara Shiba membuka pintu, menyambutnya dengan senyum kecil yang terlihat sedikit canggung.
"Ah, tentu… hehe…" Sahutan Shiba terdengar samar, namun ia menerima Nian dengan enggan, tatapannya menyiratkan perasaan tidak terlalu nyaman. Namun, demi Hikari, ia tetap mengangguk. Nian dengan mata bulatnya menatap Shiba seolah sedang mengamati seorang kenalan lama, lalu tanpa pikir panjang, kembali fokus pada jeruk di tangannya.
"Terima kasih, Mas Shiba. Kalau begitu, sampai jumpa. Sampai jumpa, Nian." Hikari tersenyum lembut sambil menatap anak kecil itu. Nian hanya mengangguk kecil, tetap asyik dengan buahnya, namun di dalam hatinya ia merasakan sedikit rindu yang aneh meski baru sebentar akan berpisah dari Hikari.
Melangkah pergi, Hikari mencoba menenangkan detak jantungnya yang tak menentu. Ada sedikit rasa khawatir, namun langkahnya terus membawanya ke kafe yang dituju.
Di sisi lain, di dalam kafe yang remang namun nyaman, Kage sudah lebih dulu tiba. Sosoknya terlihat tenang, meski ada ketegangan samar di balik matanya yang tajam. Di meja seberang, Ray mengamati kedatangan Kage dari balik kaca besar kafe. Senyum tipis penuh rencana terulas di bibirnya, memancarkan aura licik yang tak biasa terlihat di wajahnya. "(Lily dan aku sudah mengatur rencana ini dengan baik,)" pikir Ray sambil menatap puas, "(Dia akan merayu Kage, membuat Hikari merasa cemburu, dan Kage pasti akan merasa terhina saat melihat aku bersama Hikari. Biarkan hubungan mereka hancur; aku tahu Kage hanya peduli pada Hikari seorang.)"
Di dalam kafe, Kage duduk di hadapan Lily yang menunggu dengan segelas minuman di tangannya. Melihat Kage tiba, Lily tersenyum manis, senyuman yang tampak tulus namun menyimpan niat tersembunyi. "Tuan Kage, aku benar-benar senang kau bisa datang ke sini lagi. Mau aku tuangkan minuman?" ucap Lily dengan nada lembut, lalu tanpa menunggu jawaban, ia duduk lebih dekat, semakin memperkecil jarak di antara mereka.
"(Tak apa, jika aku lebih mendekat padanya. Lagipula, aku memang menyukainya,)" gumam Lily dalam hati, menatap Kage dengan pandangan yang sedikit lebih intens dari biasanya. Tangannya bergerak perlahan, menyentuh lengan Kage secara halus, seolah menandai wilayah yang sedang ia kuasai.
Namun, dari tempatnya berdiri di luar, Ray menatap adegan itu dengan rahang mengeras, kemarahan perlahan muncul di balik wajahnya yang dingin. "(Kenapa aku tak tahan sekali… Lily malah memilih Kage,)" pikirnya penuh amarah. Ia mengepalkan tangan, menahan diri untuk tidak menerobos masuk. "(Sial! Ini semua karena Hikari! Kalau saja dia tidak muncul, aku bisa merebut Lily sepenuhnya…!)"
Saat pikirannya bergelora, sosok yang ditunggunya akhirnya muncul. Hikari berjalan mendekat, masih mengatur napas setelah berjalan cepat untuk sampai tepat waktu. "Mas Ray, maaf ya, aku terlambat," ucapnya sedikit tersengal, wajahnya masih menunjukkan niat tulus untuk memenuhi undangan Ray.
Ray yang sedikit terganggu oleh kemarahannya pada Lily, sejenak teralihkan, dan dengan senyuman yang dipaksakan, ia menyodorkan sebuah buket mawar putih pada Hikari. "Tidak apa-apa, Hikari. Aku punya buket untukmu."
"Terima kasih," jawab Hikari sambil menerima buket itu dengan tatapan tulus. Namun ia segera menyadari ketidaknyamanan di wajah Ray. "Kenapa kau tidak masuk?" tanyanya, sedikit heran melihat Ray masih berada di luar kafe, tampak resah.
Ray mengalihkan pandangannya ke arah dalam kafe, menatap Lily yang terlihat semakin mendekati Kage dengan cara yang tak lagi masuk akal. "E… aku… (Kenapa aku terus khawatir pada Lily? Dia merayu Kage terlalu berlebihan,)" pikirnya sambil menahan geram. Tatapannya kembali ke Hikari, namun matanya tetap dipenuhi kegelisahan.
Ray memalingkan wajahnya, berusaha menyembunyikan kemarahannya, namun kata-kata itu terucap tanpa disadari, "Ini semua tidak akan terjadi kalau bukan karena kamu! Lily kira aku terlibat denganmu, jadi dia merasa harus mengejar Kage…" gumamnya, tangannya terkepal kuat, menyuarakan kekecewaan yang tak tertahankan.
Kata-katanya yang penuh amarah itu, entah sadar atau tidak, terdengar jelas oleh Hikari. Pandangan Hikari membesar, matanya menyiratkan kebingungan yang mendalam. Hatinya terasa teriris mendengar ungkapan Ray yang tak disangka-sangka. Dia merasa begitu terpojok, seolah disalahkan untuk perbuatan yang tak pernah ia lakukan.
Tanpa berkata apa-apa, Hikari membiarkan buket itu meluncur dari tangannya, melemparkannya tepat ke wajah Ray sebelum berbalik dan berlari pergi. Ray hanya tertegun, tangannya menyentuh bunga yang jatuh di depannya, matanya masih menatap kosong ke arah kepergian Hikari. "Hikari!!! (Astaga, apa yang baru saja aku bicarakan… Kenapa aku tadi mengatakan hal bodoh itu...)" pikirnya sambil terdiam kaku, merasakan rencana yang sudah ia bangun perlahan hancur di depan matanya sendiri.
--
Tatapan Kage membeku ketika Lily mendekat, menyiratkan sikap angkuh yang segera mengusik ketenangannya. Wajah Kage tampak gelap di bawah bayang-bayang cahaya lampu kafe, pandangannya berubah tajam, penuh dengan amarah yang terpendam. "Sebenarnya, apa yang kau mau di sini?" tanyanya dingin, suaranya penuh ketegasan yang menggetarkan.
Lily hanya tersenyum tipis, mencoba mempertahankan kendali. "Em... hehe... Aku hanya ingin bersama dengan Tuan Kage," jawabnya menggoda, suaranya seakan melintasi garis antara rayuan dan kesombongan.
Namun, Kage tetap tak bergeming. Tatapannya semakin tajam, memancarkan ketidaksabaran yang telah mencapai batasnya. "Kau pikir, iblis sepertimu bisa melakukan ini lagi? Jangan pikir aku tak berani melawanmu," balasnya dengan suara pelan namun tegas, seakan menyimpan amarah yang siap meledak kapan saja.
Lily, yang biasanya berhasil mengendalikan situasi, kali ini terkejut dengan respons Kage yang tajam. Amarahnya perlahan muncul, melukis wajahnya dengan kilat emosi yang terpendam. "Kalau begitu, aku minta tanggung jawabmu! Kamu telah memanfaatkanku, dan kamu harus membayar mahal!" ancam Lily, suaranya terdengar lebih lantang dari sebelumnya, penuh dengan kemarahan yang ia sembunyikan selama ini.
Kage hanya menghela napas pendek, ekspresinya datar namun jelas menunjukkan bahwa ia tak terpengaruh oleh ancaman Lily. "Baiklah, terserah saja, tapi aku tak akan membiarkanmu menemui aku lagi. Camkan itu," jawabnya, mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Dengan gerakan cepat, ia melemparkan kartu bank di atas meja, membuatnya berderak ringan di atas permukaan kayu. Lalu, tanpa menoleh lagi, ia berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Lily yang tertegun.
Lily menatap kartu itu sejenak, lalu senyumnya kembali terulas, kali ini lebih puas dari sebelumnya. Di antara ambisinya yang licik, ia memegang kartu itu seolah memegang kendali atas segalanya. "Sampai jumpa, Tuan Kage," ucapnya pelan sambil mengangkat kartu tersebut. "Lain kali jangan sungkan kalau ingin aku rayu." Nada suaranya terdengar penuh ironi, seolah mengejek keteguhan hati Kage yang tak pernah luluh olehnya.
Saat Kage meninggalkan kafe dengan mobilnya, Lily berdiri di sana, melambai dengan senyum sombong.
Namun tiba-tiba, Ray datang dari belakang, tatapannya penuh kemarahan yang tak bisa disembunyikan. "Lily, kau sudah kelewatan!" serunya, suaranya rendah namun penuh dengan nada kemarahan yang mendalam.
Lily hanya tersenyum licik, sama sekali tak merasa terancam. "Jangan khawatir, Sayangku, Ray," jawabnya dengan nada tenang dan sedikit angkuh. "Aku melakukan ini hanya untuk mendapatkan uang dari Tuan Kage. Aku masih mencintaimu kok." Kalimat itu terdengar ringan, namun tatapan matanya memancarkan ketidakpedulian yang membuat Ray semakin geram. Namun sebelum ia bisa membalas, Ray tiba-tiba menariknya ke dalam mobil, menekan tubuhnya ke sudut kursi dengan tatapan penuh amarah.
"Tunjukkan padaku rasa cintamu," ucap Ray dengan nada menantang, kemarahannya tertahan namun tetap nyata.
Tak ada lagi kata-kata, Lily merespons dengan mencium Ray penuh gairah, seakan menunjukkan bahwa ia masih memegang kendali meskipun situasinya seakan berbalik melawannya. Suasana di dalam mobil itu pun berubah menjadi intens, hanya terdengar deru hujan di luar yang semakin deras, menutup pandangan dari apa yang sedang terjadi di dalam.
Namun, tanpa sepengetahuan mereka, di sudut tersembunyi di dalam mobil, sebuah kamera kecil telah merekam semua kejadian itu.
Sementara itu, di dalam mobil yang lain, Kage duduk diam, menatap ponselnya sambil merenung. Hujan deras muncul di luar memantul di kaca, menyelimuti malam dengan kesan dingin dan kelam. Di bangku kemudi, Chen mengemudi dalam keheningan, namun pikirannya penuh dengan hal-hal yang belum terjawab.
"Kage, apa kau benar-benar menduga bahwa Nona Lily berselingkuh dengan lelaki itu? Bukankah Nona Lily terlihat lebih menyukai dirimu?" tanya Chen dari kaca tengah, suaranya terdengar hati-hati, seolah tidak ingin menyulut emosi Kage lebih jauh.
Kage hanya diam, tatapannya tetap dingin dan tak terbaca. Dia memandang lurus ke depan, lalu akhirnya berbicara dengan suara pelan namun penuh ketegasan. "(Dari awal, aku sudah tahu alasan Lily tidak perawan saat bersamaku. Aku telah mencari banyak informasi tentangnya... Karena itulah aku bisa bertanya pada Hikari siapa itu Ray, orang yang terus memberinya modus dengan mawar putih...)" pikir Kage sambil menatap jendela yang basah oleh hujan.
"Lelaki itu memang sejak awal mengincar Hikari," lanjutnya, menyembunyikan seutas kekesalan di balik ketenangannya. "Kau sudah melakukan apa yang aku minta?" tanyanya pada Chen, nada suaranya terdengar tenang namun menyiratkan ketelitian yang tak terbantahkan.
"Sudah," jawab Chen singkat, mengangguk kecil dari kaca tengah. Pandangannya kembali ke jalanan yang basah, memori tentang tugas yang baru saja ia lakukan perlahan muncul di benaknya.
Sebelumnya, mereka berdua keluar dari mobil di parkiran kafe tadi. Kage menatap Chen sejenak, menyampaikan perintahnya dengan nada tegas namun pelan. "Ingat, cari mobil Lily dan pasang kamera kecil. Seseorang butuh bukti akan sesuatu," ucap Kage sambil menatap Chen tajam, seolah memperingatkan bahwa ini adalah tugas yang penting dan rahasia.
Chen mengangguk patuh. "Ya, aku mengerti," jawabnya tanpa ragu, lalu segera menjalankan perintahnya.
Saat menemukan mobil Lily, Chen segera mengambil kamera kecil dari sakunya dan memasangnya di tempat tersembunyi di dalam mobil, tepat seperti yang diminta Kage. "(Kage memintaku melakukan ini untuk menunjukkan pada Hikari bahwa firasatnya benar. Wajar jika dia merasa tersaingi jika ada lelaki yang mendekati gadisnya,)" pikir Chen sambil memasang kamera dengan ketelitian yang sempurna.
Tak jauh dari sana, Chen mendapati pemandangan yang menarik perhatiannya. Dia melihat Hikari yang sedang berbicara dengan Ray di depan kafe. Tatapannya serius, penuh perhatian, seolah mencoba memahami apa yang sedang terjadi.
Namun, yang terjadi selanjutnya mengejutkannya. Hikari tiba-tiba melempar buket bunga yang diterimanya, ekspresi marah dan luka tampak jelas di wajahnya. Dia berlari pergi sambil menangis, meninggalkan Ray yang terlihat tertegun.
"(Astaga, dia membuat Hikari menangis... Benar-benar gadis polos,)" gumam Chen pelan sambil menggelengkan kepala, merasa iba pada Hikari yang terjebak dalam situasi penuh intrik ini.