Sebelum mobil pergi, tepatnya sebelum Kage keluar dari kafe, suasana malam itu begitu tenang. Di sisi lain, Chen berada di mobil hitamnya, duduk di kursi kemudi. Ia adalah orang yang selalu siap siaga. Wajahnya tampak tenang, meski dalam hati ia menyadari betapa kompleks situasi yang dihadapinya. Mobil berhenti di parkiran restoran mewah itu, cahayanya memantul di cat hitam mengkilap mobil Chen. Suara mesin yang bergetar halus hampir tak terdengar di antara gemuruh suara malam. Chen melirik cermin, memastikan semuanya siap. Ia tahu pekerjaannya malam ini tak boleh ada kesalahan sedikit pun.
"Ini semua beres..." gumamnya pelan, namun cukup jelas untuk dirinya sendiri. Gumaman itu mencerminkan rasa puas dan lega. Tapi di balik itu, ada rasa was-was yang tak bisa sepenuhnya dia singkirkan. Ketika dia kebetulan melihat Kage keluar dari restoran, jantungnya sempat berdegup lebih kencang. Bukan karena takut pada Kage, melainkan karena pertemuan itu selalu membawa atmosfer yang menegangkan.
Kage masuk ke mobil dengan gerakan tegas, tanpa ragu. Pintu mobil tertutup dengan bunyi yang nyaris tak terdengar, dan saat itu suasana di dalam mobil terasa dingin, tak hanya karena pendingin udara yang diatur pada suhu rendah, tapi karena aura Kage yang membawa kesejukan yang tajam.
"Kukira akan lama, ternyata sangat cepat ya," ucap Chen sambil melirik sekilas ke arah Kage melalui kaca tengah. Ada sedikit nada heran, namun ia menutupinya dengan cepat. Chen sudah terbiasa bekerja dengan orang seperti Kage—pria yang jarang bicara, lebih sering menatap, dan jika berkata-kata, kalimatnya langsung menohok ke inti.
"Sudah kau urus apa yang aku minta?" Suara Kage terdengar pelan namun jelas. Ada kekuatan di balik setiap kata, seolah setiap pertanyaan adalah perintah yang tak bisa diabaikan. Tatapannya dari kaca tengah mobil tajam, membuat siapapun yang berada di depannya merasa terpojok.
Chen menelan ludah sebelum menjawab. "Ya, tentu. Aku akan langsung mengantarmu menemuinya. Ngomong-ngomong, dia tambah cantik sekali..." ucapan Chen terhenti sejenak, tatapan Kage yang dingin dan menakutkan menusuknya. "(Tatapannya seperti membunuh, membuat tubuhku merinding,)" pikir Chen, meskipun dia mencoba menyembunyikan rasa takutnya. Ia tahu Kage bukan orang yang sabar dengan komentar tak relevan. Setiap kata harus dipilih dengan hati-hati di depannya.
Kage tak merespons lebih lanjut. Ia hanya terdiam, membiarkan suasana sunyi menyelimuti. Pandangannya kembali beralih ke luar jendela. Jalanan gelap yang basah oleh gerimis seakan mencerminkan kegelapan di dalam hatinya. Ia menatap jalanan yang lengang, hanya ada beberapa kendaraan yang berlalu-lalang. Di antara gemerlap lampu jalan, pikiran Kage mengembara jauh, terikat oleh rasa bersalah dan penyesalan yang mendalam.
"(Aku benar-benar melakukan sebuah kesalahan besar jika harus membiarkan Hikari pergi. Aku seharusnya lebih awal melindunginya...)" pikirnya. Wajah Kage sedikit menegang, bibirnya tipis tanpa senyum, dan matanya tampak berat dengan beban yang tak terlihat. "(Kenapa keadaan selalu mengalahkanku? Apa ini karena aku tak pernah berani berkata-kata?)"
Sementara itu, mobil bergerak ke arah gedung yang tampak megah di kejauhan. Gedung itu dikelilingi oleh taman yang terjaga rapi, dan dikelilingi oleh tembok tinggi yang menyembunyikan apa yang ada di dalamnya dari pandangan umum. Di depan gedung, beberapa penjaga berdiri tegak, mengenakan setelan hitam, menambah kesan misterius tempat itu. Saat Kage keluar dari mobil, mereka langsung menunduk dalam, menunjukkan rasa hormat yang tak bisa diragukan.
"Selamat datang, Tuan Besar," kata mereka serempak, dengan suara rendah namun penuh hormat. Setiap orang di tempat itu tahu siapa Kage, atau setidaknya, mereka tahu bahwa berurusan dengannya berarti berurusan dengan sesuatu yang jauh lebih besar daripada diri mereka sendiri.
Kage melangkah maju dengan tenang, langkahnya mantap. Di setiap gerakannya, ada ketegasan dan kendali penuh. Setiap orang di sekitarnya bisa merasakan bahwa pria ini bukan sembarang orang. Dia membawa aura kekuasaan yang tak perlu diucapkan. Tanpa bicara, dia sudah menguasai situasi.
"Kau benar-benar sudah lakukan apa perintahku?" tanyanya pada Chen, yang mengangguk cepat, tak ingin memperlambat proses apapun yang ada di hadapan mereka.
Lalu, Kage membuka pintu yang dijaga ketat. Di balik pintu, ada sebuah ruangan besar dengan penerangan redup, memberikan nuansa misterius dan suram. Di tengah ruangan itu, berdiri seorang perempuan dengan punggung yang membelakangi mereka. Kedua tangan perempuan itu terikat di belakang, dan suara rantai halus terdengar saat dia sedikit bergerak. Perlahan, perempuan itu menoleh, dan ekspresi terkejut terlihat di wajahnya sebelum berubah menjadi alis yang mengerut. Perempuan itu adalah Hikari.
Mengapa Hikari bisa ada di sana? Tidak ada yang tahu pasti. Tapi kehadirannya menambah lapisan ketegangan yang belum terjawab.
--
"Ibu... aku ingin jeruk…" suara kecil Nian memecah keheningan di kamar tengah, di mana Hikari sedang merawat wajahnya. Ruangan itu sederhana namun hangat, dipenuhi dengan nuansa pastel lembut yang menenangkan. Hikari duduk di depan cermin besar dengan lampu-lampu kecil di sekelilingnya, cahaya dari cermin memantul di wajahnya yang tenang. Di sisi lain, Nian, dengan wajah polos dan mata besar yang bersinar penuh keinginan, menatap Hikari dengan penuh harap. Ada ketulusan yang tak bisa diabaikan dalam permintaan kecilnya.
Hikari menoleh dengan senyuman lembut, mengusap pelan rambut Nian yang halus. "Oh, kalau begitu, aku akan membelikannya," jawab Hikari penuh kasih sayang, senantiasa ingin memenuhi keinginan putranya. Tanpa ragu, ia berdiri, mengangkat Nian dengan lincah. Gerakannya begitu alami, seolah setiap hari ia menggendong dunia dalam pelukannya—dunia kecilnya yang bernama Nian.
Saat Hikari hendak keluar, terdengar ketukan pelan di pintu apartemennya yang sederhana namun bersih. Ruangan itu tak besar, namun setiap sudutnya dipenuhi dengan kehangatan rumah yang nyaman. Hikari berjalan menuju pintu, sambil menyeimbangkan Nian di pinggulnya, dan membuka pintu. Di sana berdiri Shiba, sosok yang sudah tak asing lagi bagi mereka. Shiba selalu hadir dengan senyuman dan sikap ramah, membawa kehangatan ke dalam ruangan setiap kali dia datang.
"Hikari, aku mampir ya," ucap Shiba sambil melangkah masuk, tak perlu menunggu izin. Sudah menjadi kebiasaan baginya untuk merasa seperti di rumah sendiri di apartemen kecil itu. Ia langsung menuju sofa yang sudah familiar baginya dan duduk, melepaskan lelah setelah seharian beraktivitas. Ada kesan akrab yang menyelimuti setiap kunjungannya, seolah dia adalah bagian dari kehidupan sehari-hari Hikari dan Nian.
"Mas Shiba, kebetulan sekali..." Hikari berbicara sambil menggendong Nian, lalu menatap Shiba dengan mata penuh harapan. "Apakah bisa titip Nian sebentar?"
"Oh, tentu saja," jawab Shiba tanpa ragu. Ia dengan cepat membuka tangannya, siap menerima Nian yang mungil. "Kau akan pergi ke mana?" tanyanya, meski ia sebenarnya sudah terbiasa dengan titipan mendadak ini. Sejak lama, Shiba selalu siap membantu Hikari, terutama saat Nian membutuhkan pengawasan. Nian sendiri sudah akrab dengan Shiba, sehingga tak ada perasaan canggung atau takut di wajah anak kecil itu.
"Aku akan membeli jeruk sebentar. Nian ingin jeruk," kata Hikari sambil memberikan Nian kepada Shiba. Ada kehangatan di dalam apartemen itu, seolah waktu berjalan lebih lambat setiap kali mereka berbagi momen seperti ini. Hikari, dengan perhatiannya yang tak pernah habis untuk Nian, memastikan semua berjalan dengan baik sebelum akhirnya memutuskan untuk pergi.
"Oh, kalau begitu hati-hati," kata Shiba sambil menatap Hikari. Ada sedikit kekhawatiran di matanya, meskipun ia menyembunyikannya dengan senyum. Dia selalu peduli, meski Hikari tampak selalu mampu menjaga dirinya sendiri. Shiba tahu, meskipun Hikari tampak kuat dan mandiri, terkadang dunia di luar sana bisa menjadi terlalu kejam dan tak terduga.
Setelah memastikan semuanya baik-baik saja, Hikari mengangguk, lalu meninggalkan mereka berdua di dalam apartemen. Hikari melangkah keluar dengan langkah tenang, pintu tertutup di belakangnya. Udara di luar terasa sejuk, embusan angin malam yang lembut menyapu wajahnya. Jalan-jalan kota yang sepi memberi kesan kedamaian yang menenangkan. Hikari berjalan di trotoar yang basah setelah hujan sore, lampu-lampu jalan berpendar lembut di genangan air, menciptakan pantulan cahaya yang memanjang.
Saat Hikari menuju ke kedai buah, pikirannya hanya terfokus pada jeruk yang diminta Nian. Di setiap langkahnya, ada kesederhanaan dalam tujuan—membahagiakan Nian dengan hal kecil yang ia inginkan. Namun, di balik ketenangan malam itu, sesuatu yang gelap sedang mengintai. Di ujung jalan lain, sebuah mobil hitam berhenti dengan perlahan di sisi jalan. Mobil itu tampak mencurigakan, berhenti di sudut yang agak tersembunyi, seolah berusaha tidak menarik perhatian siapa pun yang lewat.
Chen, yang berada di dalam mobil, mengamati Hikari dengan tatapan dingin dari balik kaca gelap. Dalam bayang-bayang mobil itu, ia tampak seperti predator yang mengintai mangsanya dengan sabar. "(Kage memintaku untuk membawa gadis itu lagi...)" pikir Chen sambil memandangi Hikari yang berjalan dengan tenang, tak sadar akan bahaya yang mendekat.
"(Padahal dia tahu gadis itu benar-benar terlarang untuknya karena Chichi memang melarangnya. Tapi ya sudah, aku hanya harus menculiknya saja...)" Chen mendesah pelan, sedikit frustrasi dengan tugas yang diberikan padanya. Namun, sebagai orang yang profesional, ia tahu bahwa ini hanyalah bagian dari pekerjaannya.
Chen keluar dari mobil dengan gerakan halus, mengenakan topi dan masker yang menyembunyikan sebagian besar wajahnya. Dia berjalan mendekat dengan langkah tenang, seolah hanya seorang pejalan kaki biasa yang kebetulan melewati Hikari. "Hai, nona," sapa Chen dengan suara lembut, suara yang dibuat sedemikian rupa agar terdengar tidak mencurigakan.
Hikari menoleh, sedikit terkejut, tapi wajahnya tetap tenang. "Oh, ada yang bisa aku bantu?" tanyanya sopan. Hikari adalah tipe orang yang selalu berusaha ramah kepada siapa pun, meskipun dia tak mengenal orang tersebut. Mungkin karena itu pula, dia menjadi target yang mudah bagi orang seperti Chen.
Chen mengangkat saputangan putih yang ia pegang, seolah itu adalah alasan dia menghampiri Hikari. "Aku ingin meminta tolong. Tadi istriku bilang saputangan ini berbau wanita. Dia menuduhku selingkuh. Apa kau bisa pastikan? Sekarang istriku menunggu di mobil itu," kata Chen dengan nada meyakinkan. Dia memberikan saputangan itu kepada Hikari, dan dengan lihai, dia menutupi niat aslinya di balik cerita sederhana yang tampaknya tak berbahaya.
Hikari menerima saputangan itu dengan sedikit bingung, tapi tak ada kecurigaan di wajahnya. Ia mencium saputangan itu seperti yang diminta, namun seketika setelah itu, kepalanya terasa berat. "(A... Apa yang terjadi... Kenapa aku pusing?!)" pikir Hikari dengan panik. Pandangannya mulai buram, dan ia merasa tubuhnya goyah. "(Ke... Kenapa aku bisa bodoh sekali... Dia tentunya, orang penipu,)" gumamnya dalam hati dengan kesadaran yang perlahan memudar.
Chen, yang berdiri di sampingnya, dengan sigap menangkap tubuh Hikari yang oleng. Dengan mudah, ia mengangkat Hikari dan membawanya ke mobil hitam itu. Di sekitar mereka, orang-orang berjalan tanpa peduli, terlalu sibuk dengan urusan masing-masing untuk memperhatikan apa yang terjadi. Situasi itu membuat pekerjaan Chen menjadi lebih mudah, tak ada yang curiga, tak ada yang bertanya.
Dan begitulah, bagaimana Hikari berakhir di sana, dengan tangan terikat, di tengah rencana besar yang jauh dari pemahamannya.