Chereads / Romantika Gadis Kontrak / Chapter 18 - Chapter 18 Bersama Siapa

Chapter 18 - Chapter 18 Bersama Siapa

"Aku baik-baik saja. Terima kasih, Mas Ray, untuk hari ini," ujar Hikari sambil menerima bunga itu. Tangannya bergerak dengan hati-hati, menyentuh kelopak mawar merah yang tampak segar dan mekar sempurna. Bunga itu begitu cantik, hampir seperti cerminan dari perasaan yang diam-diam ia simpan di dalam hatinya. Sejenak, ia tersenyum kecil sebelum akhirnya mengalihkan pandangannya ke bayi yang kini digendongnya dengan penuh kasih.

Bayi itu menatap Hikari dengan mata yang besar dan bersinar, seperti dua permata hitam yang penuh rasa ingin tahu. Senyumnya mungil tapi tulus, membuat Hikari merasa seolah seluruh dunia di sekitarnya terasa lebih ringan dan damai.

Sementara itu, di sudut ruangan, Shiba yang berdiri dengan wajah kebingungan tiba-tiba dikejutkan oleh pemandangan di depannya. "(Oh, jadi dia yang memberi bunganya... Eh, tunggu... bayi itu?! Jangan-jangan... bayi itu miliknya?!)" pikirnya dengan mata yang melebar. Tubuhnya sedikit tegang, namun ia berusaha menyembunyikan perasaan aneh yang mulai menguasai pikirannya.

Tak sengaja, Ray melirik ke arah Shiba yang berdiri di belakang Hikari. Tatapan mata mereka bertemu sejenak, ada percikan ketidaknyamanan yang samar tapi jelas terlihat di mata Ray. "Oh... apa dia...?" gumam Ray dengan nada yang sedikit ragu.

"Dia, Mas Shiba... Hanya tamu di sini," kata Hikari dengan cepat, seolah ingin meredam segala potensi salah paham yang mungkin muncul di antara dua pria itu.

Ray tersenyum tipis, meski ada sedikit tanda tanya yang tertinggal dalam benaknya. "Oh, baiklah. Kalau begitu, aku pergi dulu, ya, Hikari," ucapnya lembut, sambil melambai pelan ke arah Hikari, lalu berbalik untuk pergi. Langkah kakinya terdengar ringan namun teratur, seolah ia telah terbiasa dengan situasi seperti ini.

"Terima kasih sekali lagi sudah menjaga bayinya," ujar Hikari sambil menutup pintu dengan lembut. Seketika ruangan menjadi hening. Udara di dalam terasa lebih berat, bukan karena suasananya, tapi karena berbagai perasaan yang tak terucapkan. Hikari kemudian memutar tubuhnya, tatapannya jatuh pada Shiba yang masih berdiri diam di sana.

"Mas Shiba, maafkan aku... Aku akan membuat teh untukmu," katanya, mencoba memecah keheningan. Dengan gerakan lembut, ia meletakkan bayi itu di sofa. Bayi itu, yang kini duduk dengan tenang, tampak penuh keceriaan dengan senyum yang tak pernah pudar dari wajah mungilnya.

"Ah, terima kasih, Hikari," jawab Shiba sambil duduk di kursi yang tak jauh dari sofa. Ada keraguan dalam suaranya, seolah-olah ia masih memproses semua yang baru saja dilihatnya. "Ngomong-ngomong, siapa lelaki tadi? Apa tadi pacarmu?" lanjutnya, mencoba mengalihkan pembicaraan meskipun rasa ingin tahunya jelas.

"Pacar?" Hikari tertawa kecil, terdengar sedikit getir meskipun ia berusaha menyembunyikannya. "Tidak... Dia bukan pacarku... Dia hanya pemilik kedai bunga yang bagus di seberang sini."

Shiba mengerutkan kening, merasa ada sesuatu yang aneh. "Tapi kenapa dia selalu memberimu bunga mawar yang sama?"

Pertanyaan itu menggantung di udara, memaksa Hikari untuk mencari jawaban yang tepat. Ia terdiam sejenak, mencoba menyusun kata-kata yang tak terlalu mengungkapkan apa pun. "Um.... Mungkin kau harus cari tahu sendiri," jawabnya sambil tersenyum, namun senyumnya itu terasa samar dan menyimpan banyak rahasia yang tak ingin ia bagi. Tangannya pun bergerak menyentuh helai rambutnya, seolah ingin menyembunyikan kegugupan yang mulai menyelimuti dirinya.

Shiba hanya mengangguk pelan, tak ingin mendesak lebih jauh meskipun hatinya masih dipenuhi rasa penasaran. Pandangannya berpindah ke arah bayi yang duduk di sofa, lalu kembali ke Hikari. "Hikari, apa ini bayimu?"

Hikari terdiam, seolah pertanyaan itu menusuk langsung ke hatinya. Ia menunduk sejenak, lalu menggeleng pelan. "... Bukan kok," jawabnya akhirnya, suaranya sedikit melemah, tapi cukup tegas untuk menunjukkan kebenaran yang ingin ia sampaikan.

"Ah... (Syukurlah, kupikir ini bayinya... Mungkin aku bisa menambah pertemanan dengan Hikari)," batin Shiba dengan lega. Ia merasa ada beban yang terangkat dari dadanya. "Hikari, maukah besok aku ajak jalan-jalan?" tanyanya dengan suara yang lebih ringan, mencoba membawa suasana kembali menjadi ceria.

"Ah, boleh-boleh. Aku juga mau belanja besok, aku akan menitipkan Nian," kata Hikari sambil tersenyum.

Shiba mengangguk senang. "Ah, bagus... (Kenapa mudah sekali....)" pikirnya sambil tersenyum kecil, merasa beruntung.

Keesokan harinya, Hikari tampak sedang sibuk di dapur, apron merah mudanya terlihat kontras dengan kulit putihnya yang halus. Tangan-tangannya yang terampil bergerak lincah, memotong sayuran dan menyiapkan bahan-bahan untuk sarapan. Wangi masakan yang sedap mulai memenuhi ruangan, menciptakan suasana hangat dan nyaman.

Tiba-tiba terdengar suara lembut memanggil dari arah kamar. "Ibu, ibu..."

"Ah, Nian sudah bangun, ya," gumam Hikari sambil mematikan kompor. Dengan langkah ringan, ia berjalan menuju kamar, di mana Nian, bayi mungil dengan mata bersinar, duduk di kasur, menatap ibunya dengan tatapan penuh kasih.

"Nian, apa kamu sudah bermimpi indah?" tanya Hikari lembut, mendekati anak itu. Senyum lembut menghiasi wajahnya.

"Ya, Ibu. Aku bermimpi Ibu mendapat kasih sayang dariku," jawab Nian, meski suaranya masih terdengar lugu, ada ketulusan yang terpancar jelas dari kata-katanya.

Hikari tertawa kecil, wajahnya dipenuhi kebahagiaan. "Uuh, kau benar-benar imut," gumamnya sambil menggendong Nian erat, membawanya keluar kamar. Keheningan yang nyaman meliputi mereka, seperti dunia luar tak lagi penting.

Namun, bel pintu rumah tiba-tiba berbunyi, memecah keheningan itu. "Nah, itu pasti Mas Ray," pikir Hikari sambil melangkah menuju pintu. Saat pintu dibuka, benar saja, Ray berdiri di sana, dengan senyum ramah yang biasa ia tunjukkan.

"Halo, halo Nian, mari ikut paman lagi," ucap Ray, sambil menatap bayi itu dengan penuh kasih sayang.

"Nian, kamu ikut paman Ray dulu, ya," kata Hikari lembut. Nian kecil mengangguk, seolah memahami dan dengan patuh mengikuti Ray.

"Jangan khawatir, Hikari, aku akan menjaganya lagi," kata Ray, kali ini dengan nada yang lebih hangat.

"Terima kasih, Mas Ray. Kamu sangat baik," Hikari tersenyum, rasa terima kasih yang tulus terpancar dari matanya.

"Haha, tak masalah. Kalau begitu, sampai jumpa," dia menatap. Lalu Nian juga melambai. "Sampai jumpa, Ibu!"

"Dadah," Hikari juga melambai, lalu kembali menutup pintu, kemudian melanjutkan beres-beres rumah. Tapi di benaknya, mendadak terpikirkan pekerjaannya. "(Aku mungkin harus memutuskan keluar dari pekerjaanku, aku tidak sanggup bekerja di sana. Selama 4 tahun ini, aku cukup pandai memasak, aku jadi terpikirkan sesuatu....)" pikirnya dengan ragu.

Ketika bel berbunyi lagi, Hikari sedikit terkejut. Dia buru-buru melangkah menuju pintu. Di sana, senyum Shiba yang cerah menyambutnya. "Mas Shiba!" Seru Hikari, suaranya terkesan lebih gembira daripada yang ia sadari.

Senyuman Shiba semakin melebar saat dia melihat semangat Hikari. "Halo, Hikari. Sudah siap belanjanya? Aku akan menemanimu," katanya dengan nada yang ringan namun penuh perhatian. Hikari mengangguk cepat, seperti terlepas dari beban pikirannya sesaat, dan tanpa sadar membiarkan senyum lebar menghiasi wajahnya.

Perjalanan menuju pusat perbelanjaan tak jauh, tapi terasa berbeda kali ini. Suasana yang tenang seolah berbanding terbalik dengan pergulatan batin Hikari yang masih mencoba mencari kejelasan atas apa yang dia rasakan. Meski demikian, Shiba dengan santai mengajaknya berbincang, seakan tahu bahwa kata-katanya mampu mengalihkan sejenak kekalutan di kepala Hikari.

"Hikari, apa kau selalu kemari?" Shiba bertanya, matanya melirik ke arah Hikari yang berjalan sangat dekat di sampingnya.

Hikari mengangkat bahu sedikit. "Hanya jika aku membeli kebutuhan masak di sini. Aku akan ke mari sebentar."

Shiba mengangguk-angguk pelan. "Jadi kau tak pernah kemari bersama lelaki lain?" Nada suaranya agak main-main, tapi jelas ada rasa ingin tahu di balik pertanyaannya.

"Um... sepertinya begitu," jawab Hikari, bibirnya menipis dalam senyuman kecil yang tak terlalu ingin diuraikan. Sebenarnya, pertanyaan Shiba mengingatkannya pada banyak hal yang ia pendam. Tentang kesendiriannya, tentang bagaimana kehidupannya bergulir tanpa terlalu banyak dinamika. Tapi sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, sesuatu yang tak terduga mengalihkan perhatiannya.

Di kafe terbuka di seberang jalan, Kage sedang duduk, terlibat dalam percakapan yang tampak serius dengan seorang pria. Namun, percakapan itu terhenti begitu Kage melihat sosok Hikari berjalan dengan pria lain. Seolah-olah ada ledakan kecil yang terjadi di dalam dirinya, emosi menggelegak tanpa peringatan. Matanya menajam, dan tangannya mengepal kuat di atas meja. Sejenak, percakapan yang ia jalani tak lagi penting. Hanya ada satu hal yang memenuhi pikirannya: Hikari.

"Tuan Kage, apa ada sesuatu?" Rekan bicara Kage bertanya, tak menyadari perubahan sikapnya.

Kage mengangkat wajah, berusaha menenangkan dirinya. "... Maafkan aku, sepertinya aku ada rapat," katanya sambil berpura-pura memeriksa jam tangan.

Rekan bicara itu tampak bingung, tapi ia hanya mengangguk. "Kalau begitu, kita lanjutkan ini besok."

"Terima kasih," Kage berkata cepat, tidak terlalu peduli pada kata-katanya sendiri. Pria itu berlalu pergi, meninggalkan Kage yang masih terpaku menatap Hikari dari kejauhan. Tatapan Kage berubah semakin gelap, semakin tajam, dan di dalam hatinya, perasaan cemburu yang dulu pernah dia tinggalkan kini kembali menguasai.

Dia segera merogoh ponselnya, mencoba menelepon Hikari. Ponselnya berbunyi sekali, dua kali, tiga kali—dan Hikari terlihat ragu. Shiba yang berada di sampingnya menyadari kejanggalan itu.

"Ada apa?" tanya Shiba, suaranya terdengar sedikit khawatir.

"Seseorang terus menghubungiku," Hikari menjawab, bingung antara ingin mengabaikannya atau mengangkat panggilan itu.

"Angkat saja, tidak apa-apa," Shiba menasihati. Suaranya terdengar tenang, tapi dia jelas memperhatikan.

Akhirnya, Hikari menghela napas dan menekan tombol hijau di layar ponselnya. "Hikari, kau di mana?" Suara Kage terdengar dingin di ujung telepon.

"Ma... Mas Kage? Bagaimana kau dapat nomorku?!" Hikari terkejut mendengar suaranya. Matanya melebar, dan perasaannya campur aduk.

"Kau belum menjawab pertanyaanku tadi," balas Kage dengan nada mendesak.

Hikari terdiam sejenak. "Aku... ada di... di... pusat perbelanjaan, kok."

"Bersama siapa?" suara Kage semakin tajam, memaksa jawaban yang jelas.

"Aku, sendirian. Sudah, ya, aku sibuk," Hikari buru-buru menutup telepon, tangannya sedikit gemetar. Entah kenapa, perasaan takut dan kesal bercampur dalam dirinya.

Dari kejauhan, Kage hanya bisa melihat layar ponselnya yang mati. Tatapan dinginnya berubah semakin gelap. Dia melihat Hikari dan Shiba berjalan semakin jauh, namun emosi dalam dirinya mulai tak terkendali. "(Dasar gadis jalang,)" gumamnya lirih, sebelum ia mulai melangkah, mengejar keduanya.