Chereads / Romantika Gadis Kontrak / Chapter 20 - Chapter 20 Jangan Pergi

Chapter 20 - Chapter 20 Jangan Pergi

Kembali ke masa sekarang dimana Hikari dan Shiba masih berjalan bersama di pusat perbelanjaan itu. "Hikari, bisa kau dekap tanganku? Aku kedinginan," suara Shiba terdengar lembut namun sarat dengan kesan manja. Tatapannya tajam, menyiratkan harapan bahwa Hikari akan segera menurut. Ada sesuatu yang berbeda dalam cara dia berbicara, sesuatu yang membuat Hikari tersenyum simpul. Di balik permintaan itu, Hikari merasa ada niat tersembunyi, seperti embusan angin dingin yang tidak bisa dilihat, namun terasa menusuk kulit.

"Ihh, Mas Shiba, lemah banget. Sini, aku dekap," jawab Hikari tanpa ragu, meski dalam hatinya sedikit geli mendengar permintaan itu. Senyumnya mengembang, matanya sedikit menyipit seolah mencoba membaca pikiran Shiba. Langkahnya pelan namun pasti saat dia mendekat. Udara dingin malam itu seolah memudar, digantikan dengan kehangatan yang membuncah dari interaksi mereka.

Namun, suasana yang awalnya hangat berubah dalam sekejap. Seperti petir yang tiba-tiba menggelegar di tengah langit yang cerah, Kage melangkah maju dengan cepat. Tatapannya penuh amarah dan ketegasan. Tanpa aba-aba, tangannya terulur, mencengkeram bahu Shiba dengan kuat, membuat pria itu terkejut. Sebelum ada waktu untuk protes, Kage mengayunkan pukulannya, menghantam Shiba tanpa ampun.

"Hah, Mas Kage, apa yang kau lakukan?!?!" teriak Hikari, matanya melebar dalam keterkejutan. Pukulan itu tidak hanya menghantam Shiba, tapi juga menghantam perasaan Hikari. Dia tidak mengerti. Kenapa Kage melakukan ini? Apa yang salah?

"Sejak kapan kau menjadi seperti ini, Hikari?!!" bentak Kage. Nada suaranya rendah namun penuh emosi. Bukan sekadar kemarahan, tapi juga rasa kecewa yang dalam, seolah-olah Hikari telah mengkhianati sesuatu yang sangat berarti bagi Kage. Mata Kage menatap Hikari dengan intens, tatapan yang lebih tajam dari biasanya, seolah mencoba menembus hatinya, mencari jawaban yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

"Apa maksudmu? Kita sudah tidak ada hubungan apa pun lagi!!" Hikari membalas dengan suara yang penuh dengan kepahitan. Kata-kata itu terasa dingin, seperti salju yang turun di tengah musim panas, memadamkan api kemarahan Kage untuk sesaat, tapi hanya untuk memperbesar bara di dalamnya. Ada rasa sakit yang tak terucapkan dalam suara Hikari, seolah-olah dia sedang mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa hubungan mereka benar-benar sudah berakhir.

"Hikari, jangan kau dekati lelaki ini," kata Kage lagi, kali ini dengan nada lebih rendah, lebih tajam. Peringatan itu terdengar lebih seperti perintah. Ada sesuatu dalam caranya berkata-kata yang membuat Hikari sejenak terpaku. Meskipun mereka sudah tidak bersama, Kage masih memperlihatkan sisi protektifnya. Tapi kenapa? Apa yang Kage tahu tentang Shiba yang Hikari tidak tahu?

"Kenapa, hah, kenapa? Apa kau mau aku sendirian lagi, hah? Bilang!!" Hikari berteriak marah, matanya bersinar dengan emosi yang terpendam. Amarahnya memuncak. Dia merasa Kage mencoba mengatur hidupnya lagi, seperti dulu. Perasaan ditinggalkan, kesendirian yang menghantuinya, kini kembali menguasai dirinya. Itu membuat Hikari merasa terpojok, terdesak hingga tak ada tempat untuk melarikan diri selain melawan.

Kata-kata itu menghantam Kage, membuatnya terdiam. Bibirnya terkatup rapat, matanya memerah menahan emosi yang bergolak. Ada kesedihan di balik kemarahannya, yang sulit ia sembunyikan.

"Kau bukan siapa-siapa lagi bagiku... Aku tak mau berurusan denganmu lagi... Tak ada yang mau menolongmu meskipun kau seorang maniak!!!" Kata-kata Hikari terlontar dengan kejam, menusuk dalam. Hikari tahu kata-katanya berlebihan, tapi emosi yang memuncak telah mengambil alih logikanya.

Kage terdiam sejenak. Mendengar Hikari menyebutnya sebagai "maniak" membuat sesuatu di dalam dirinya runtuh. Bukan karena kata itu menyakitkan, tapi karena itu datang dari Hikari, orang yang dulu dia pedulikan. Wajah Kage, yang biasanya tenang dan dingin, menunjukkan kilatan ketidakpercayaan. Dia tahu mereka telah berubah, tapi tak pernah menyangka perubahan itu akan sedalam ini.

"Hikari...." Kage memanggil pelan. "Aku tahu, aku tahu kau sedang terluka... Tapi, aku mencoba berusaha membuat takdir benang merah di jari kita.... Dan aku tahu, kau juga menginginkan hal itu..." tatap Kage. Tatapan nya sangat dalam membuat Hikari terdiam melihat itu, sekarang dia bisa berpikir bahwa pandangan Kage sangat kosong, sangat gelap dan sangat dalam tanpa cahaya apapun.

Lalu Hikari bertanya sesuatu. "Sebelum kau mendapatkan ku, apa kau pernah bermain dengan wanita?" tatap nya.

Di saat itu juga adalah kesempatan Kage mengatakan nya untuk mendapatkan kepercayaan Hikari.

"Hikari, aku sudah bilang, aku tidak melakukan apapun apa yang dikatakan Haku! Aku tidak sama sepertinya.... Aku sudah mempersiapkan apapun bahkan untuk mu, untuk meyakinkan mu...."

"Dan sekarang kau menikah dengan orang lain tanpa mempedulikan kondisi ku?" Hikari menyela membuat Kage terkejut mendengar itu. Lalu Hikari menambah. "Tanpa mempedulikan bahwa aku hampir mati terjun ke jembatan yang dalam... Apa yang kudapatkan! Kau tidak ada di sana untuk menyelamatkan ku dan kau berkata padaku untuk melindungi ku!! Kau benar benar keji!!" teriak Hikari.

Kage memang tidak tahu Hikari saat itu jatuh dalam jembatan, tapi takdir membantu Kage berpikir melalui perasaan nya yang tak nyaman, hanya saja Kage tidak tahu apa yang terjadi pada Hikari, tentu saja situ wajar.

"Hikari, ayo pergi," Shiba yang sejak tadi hanya terdiam, kini menarik lengan Hikari. Dia tampak tegang, tapi berusaha menyembunyikan kekhawatirannya.

"Tunggu, Hikari, jangan pergi!" Kage berteriak, suaranya serak. Ini bukan lagi perintah, tapi permohonan. Namun, Hikari tak menoleh. Dia tak ingin melihat wajah Kage yang penuh dengan rasa sakit.

"(Hikari... Kenapa kau.... ?)" Kage hanya bisa berbisik dalam hati, saat melihat punggung Hikari menjauh. Dia mengepalkan tangannya, mencoba menahan dorongan untuk mengejarnya. Tubuhnya kaku, seperti diikat oleh beban emosinya sendiri. Ada begitu banyak hal yang ingin dia katakan, tapi tak satu pun yang bisa keluar dari bibirnya.

---

BRAAK!!

Kage tampak mendobrak meja Chichi yang ada di kantor, suara benturan membuat seluruh ruangan bergetar. Di dinding, lampu neon berkelap-kelip, menciptakan suasana yang semakin panas. Wajah Kage terbalut emosi, menyiratkan kegelisahan yang telah lama terpendam.

"Ada apa, Kage?" Chichi menatap serius, perasaan cemas muncul di matanya saat melihat ekspresi putranya yang penuh tekad.

"Chichi, aku ingin cerai dengan Lily dan kembalikan Hikari padaku!" Suara Kage bergetar, campuran antara kemarahan dan kesedihan meluap, menginginkan kejelasan atas hidup yang terasa semakin rumit.

"KAGE, kau ini anak kecil atau bukan? Lihatlah selera orang-orang yang lebih tinggi, gadis sepertinya tidak akan cocok untuk dirimu. Yang ada, malah keluarga kita yang akan kena pembicaran. Aku sudah bilang padamu, kau boleh bermain dengan wanita, tapi jangan bermain sampai mempermalukan dirimu sendiri." Nada Chichi penuh frustrasi, jelas terlihat bahwa dia berusaha melindungi Kage dari dirinya sendiri.

"Itu tidak adil, Chichi. Aku hanya ingin Hikari, dia adalah cahaya untukku. Bukankah aku sudah bilang! Kau tak berhak memberiku perintah, aku layak mendapatkan apa yang aku mau...." Kage menggelengkan kepala, merasakan ketidakadilan di dalam dirinya yang semakin menyiksa.

"Dia memang gadis yang terpilih. Tapi nyatanya, dia bukanlah gadis cahaya. Dia hanya gadis jalang," kata Chichi sambil berjalan pergi, langkahnya menampakkan keputusan yang tak bisa diganggu gugat.

"(Jalang... Jalang dia bilang... Sialan, berani sekali,)" Kage berteriak, emosi yang terpendam seolah meledak menjadi sebuah orasi. "Chichi!! Kenapa kau terus menahan ku?!" Kage akhirnya berteriak dengan lebih kencang, membuat Chichi berhenti sejenak, merasakan beratnya setiap kata yang terucap.

"Bagaimana jika Hikari memanglah pilihan untukku... Apa kau lupa kisah cinta apa yang kau jalani hingga membuatku seperti ini? Ini adalah kesalahanmu dalam mendidikku! Aku tak butuh sesuatu seperti jeratan gelap milikmu!" Kage menatap dengan kesal, keberanian yang jarang ia tunjukkan membuat Chichi terkejut.

"Kau juga harus tahu, Kage... Ini semua kesalahanmu... Membunuh pemilik kediaman, dan hanya karena hal itu, kau menjadikan ibumu sebagai alasan untuk menjadi pembunuh bayaran... Dalam usiamu yang masih muda dulu, jika aku mengabaikanmu begitu saja... Kau mungkin sudah menjadi seseorang yang tak mau dilihat oleh gadis polos seperti dia," kata Chichi. Kalimatnya menggantung, meninggalkan kesedihan di antara mereka.

Kage terdiam, merasakan beban yang semakin berat di pundaknya. Semua pilihan dan jalan hidupnya tampak bersilangan, menciptakan labirin yang membingungkan. Lalu dia memilih pergi, tetapi sebelum melangkah, dia mengeluarkan pernyataan yang mengguncang ketegangan di ruangan itu.

"Apa kau sadar, ini sudah ada 2-4 tahun pernikahanku dengan Lily, tapi ini sama sekali tak membuahkan hasil bahkan untuk permintaan orang tua sepertimu," kata Kage, suaranya menurun, tetapi tegas. Keberaniannya kembali memudar di hadapan Chichi yang bersikeras.

Hal itu membuat Chichi terdiam. Seketika, dia terpikirkan sesuatu yang membuatnya mendukung perkataan Kage tadi. "(Benar juga... Lily belum memiliki bayi...)" pikirnya, wajahnya berkerut sejenak.

Kemudian, di saat itu juga, pikirannya menjadi terbuka, dia berdiri dari kursinya dan berjalan menatap jendela dengan wajah serius, seolah mencari jawaban di luar sana. Rasa sakit yang tak terlihat menghampiri keduanya, dan pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab memenuhi pikiran mereka.

"(Sudah hampir empat tahun, Lily sama sekali tak memberikan bayi... Kage tidak mungkin gagal membuat bayi, yang harus diragukan mungkin Lily,)" dia mulai berpikir ragu, menggigit bibirnya, menyadari bahwa realitas tidak selalu sejalan dengan harapan.

Sementara Kage kembali ke ruangan kantornya, dia tampak masih kesal bahkan mengingat bagaimana Hikari begitu membencinya. Seketika dia mendekat ke meja nya dan bahkan langsung menjatuhkan semua barang barang yang ada di mejanya, termasuk laptop, ponsel bahkan kertas kertas dokumen yang terlihat penting.

Setelah itu dia bernapas cepat meremas erat meja itu. "Sial.... Sial... Sial... Aku mendapatkan apa yang ku inginkan karena aku melakukan semua sendirian... Tanpa bantuan siapapun..."

Lalu ada yang membuka pintu, yakni Chen. "Tuan Kage?" tatapnya dan dia terkejut melihat suasana suram tempat itu. Aura suram telah di isi oleh aura milik Kage yang sangat bercampur aduk, bahkan Kage saat ini menatapnya tajam.

Hal itu membuat Chen terkejut gemetar. "(Biasanya, dia memang selalu terlihat suram, tapi rasa suram nya tak pernah di tunjukan begini... Apalagi aku merasa sakit merasakan auranya... Auranya seperti membunuh jiwaku...)" Chen benar benar tampak ketakutan.