Kemudian memutuskan untuk menemui Lily di restoran mewah. Di sana Lily sudah menunggu.
Dia terduduk bermain ponsel di kursi mejanya. Lalu menoleh kebetulan pada Chichi yang datang. "Chichi," dia langsung berdiri dan mendekat dengan centil.
"Lily, ada yang ingin aku bicarakan denganmu," Chichi menatap serius.
"Apa itu?" Lily menatap antusias karena dia sudah terbiasa mendengar kabar baik dari Chichi, tapi kali ini, dia tidak akan bisa tersenyum.
"Kapan kalian berdua berencana memiliki bayi?" tatap Chichi. Seketika senyum Lily benar-benar turun, dia mulai berkeringat dingin dan membuang wajah dengan ragu.
"Um... Aku sudah merayu Tuan Kage untuk melakukannya... Yah, um... Dia selalu menggunakan pengaman, itu saja hehe," jawab Lily dengan nada alasan.
"Pengaman? Apa Kage benar-benar melakukan itu?" Chichi berpikir serius.
Sementara itu, Cahaya redup senja menembus tirai jendela kantor Kage, menciptakan bayangan lembut di lantai kayu. Ruangan itu terisi keheningan yang sunyi, hanya suara detak jarum jam yang terdengar samar, seolah berdetak bersama detak jantung Kage yang tenang. Di tangannya, selembar kertas dengan tulisan berderet, tapi pandangannya kabur. Bukan karena ia tak mampu membaca, tetapi pikirannya sedang berkelana jauh.
Kage menarik napas panjang, berat, seakan udara yang ia hirup tak mampu sepenuhnya meringankan beban yang menggantung di dadanya. Sejenak, ia menutup mata, merasakan kesunyian yang mencekam, dan mungkin, sedikit rasa penyesalan yang tak pernah ia akui kepada siapapun. Kertas di tangannya berdesir pelan saat jemarinya sedikit mengendur, tapi ia tak melepaskannya.
Suara ketukan pintu yang mendadak memecah kesunyian, menginterupsi momen kesendiriannya. Kage menoleh perlahan, tatapannya kosong, lalu dengan sedikit kerutan di dahi, ia memberikan isyarat agar pintu dibuka.
Pintu kayu itu berderit pelan saat terbuka, dan sosok Chen muncul dari baliknya, wajahnya membawa ekspresi khawatir yang sulit disembunyikan. Ada sesuatu yang berat dalam langkah Chen ketika ia masuk ke ruangan, seperti orang yang tahu bahwa berita yang akan disampaikan tak akan diterima dengan mudah.
"Kage," panggil Chen, suaranya rendah dan ragu. Dia menggenggam kertas di tangannya, sedikit gemetar, lalu mendekatkan diri ke meja Kage.
"Aku ingin memberitahumu sesuatu…" lanjut Chen, sambil menyodorkan kertas yang dibawanya dengan hati-hati, seolah kertas itu adalah bom waktu yang siap meledak kapan saja.
Kage hanya menatapnya sekilas, tanpa minat, sebelum menerima kertas itu dengan gerakan lamban. Ruangan itu dipenuhi ketegangan yang tak terucapkan.
"Kau dan Lily pernah melakukan pemeriksaan kesehatan beberapa bulan lalu, ingat?" Chen memulai dengan suara pelan, hampir berbisik. "Dokter menemukan sesuatu…"
Chen berhenti sejenak, mengumpulkan keberanian untuk melanjutkan. Matanya berkeliaran seolah mencari tempat berlindung dari tatapan dingin Kage.
"Dokter bilang… bahwa Lily mungkin tidak bisa mengandung," kata Chen akhirnya, suaranya pecah oleh rasa bersalah yang ia rasakan untuk sekadar menyampaikan fakta ini. "Dan… dia juga mengatakan bahwa Lily telah bersama banyak pria sebelumnya, jadi dia mungkin tidak perawan lagi."
Kata-kata itu menggantung di udara, berat dan dingin. Kage tetap tidak bereaksi, hanya menatap kertas yang ada di depannya. Mata hitamnya yang selalu tajam tak menunjukkan sedikit pun kejutan, seolah apa yang dikatakan Chen hanyalah hal biasa yang sudah ia ketahui.
"Aku sudah tahu…" jawab Kage akhirnya, suaranya datar dan tenang, seolah ia sedang membicarakan sesuatu yang tidak signifikan.
Chen terkejut mendengar jawaban itu. "Kau sudah tahu?!" tanyanya, matanya melebar dalam ketidakpercayaan.
"Malam yang kebetulan itu…" Kage memulai dengan nada yang nyaris tanpa emosi, tatapannya jauh, seolah mengenang sesuatu yang sudah lama terjadi. "Saat aku dan dia melakukan hubungan, aku sadar ada yang aneh. Tidak seperti yang pernah aku lihat sebelumnya… Dia tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa dia perawan."
Chen menatap Kage dengan rasa tak percaya yang semakin mendalam. Bagaimana mungkin seseorang bisa begitu tenang saat dihadapkan dengan kenyataan seperti ini?
"Kalau begitu," Chen mencoba melanjutkan, meskipun suaranya sedikit goyah. "Beritahu Chichi. Mungkin ini waktu yang tepat untuk kalian bercerai. Dia hanya menginginkan cucu, kau tahu itu."
"Biarkan saja dia tahu sendiri," balas Kage tanpa berpaling, seolah topik ini tidak penting lagi baginya. Suaranya tetap dingin, seakan dia sedang membicarakan hal yang tak ada hubungannya dengan hidupnya.
Tiba-tiba, pintu terbuka lagi, kali ini lebih pelan namun terasa mengancam. Chen menoleh dengan kaget, bibirnya mendadak terkatup rapat. Chichi berdiri di sana, wajahnya keras seperti baja, matanya menatap langsung ke arah Kage. Chen tahu ini adalah tanda baginya untuk mundur.
"Suatu kebetulan sekali…," gumam Chen dalam hati, sebelum dia perlahan melangkah keluar dari ruangan, meninggalkan Kage dan Chichi berhadapan.
Kage tetap tidak bergerak dari kursinya. Chichi melangkah lebih dekat, membawa aura otoritas yang selalu ia pancarkan. Dia berhenti tepat di depan meja Kage, menatapnya dengan tatapan tajam.
"Kage," katanya, suaranya rendah namun tegas. "Kau harus bicara padaku. Kenapa Lily belum juga mengandung? Apakah kau tahu seberapa penting hal ini bagiku?"
Kage mendongak, menatapnya dengan dingin. Matanya tak menyiratkan emosi apapun, hanya kelelahan yang tersembunyi di balik tatapan tajamnya.
"Setiap kali kau bersamanya, kau menggunakan pengaman, kan?" lanjut Chichi, nadanya semakin tajam. "Kau menyia-nyiakan kesempatan ini! Kau tahu aku hanya ingin cucu!"
Kage menghela napas perlahan, seolah mencoba mengumpulkan kesabaran yang hampir habis. "Siapa yang sudi melakukannya bersamanya setiap saat?" Kage menjawab dengan nada rendah namun menusuk. "Aku hanya melakukannya sekali… itu pun karena kebetulan. Suatu kebodohan, sebenarnya. Aku tidak memakai pengaman karena saat itu aku tak sempat, tapi…"
Kata-kata Kage menggantung di udara. Chichi tertegun, wajahnya yang biasanya kuat kini menunjukkan keterkejutan.
"Jadi…" Chichi menatapnya, berharap jawabannya akan berbeda.
"Kau sudah tahu sendiri…" Kage bangkit dari kursinya, gerakannya tenang namun tegas. "Ceraikan saja aku dengan dia. Ini belum terlambat meskipun sudah 4 tahun lama nya."
Dia berjalan pergi tanpa menoleh lagi, meninggalkan Chichi yang kini termangu di tempatnya. Tangannya terkepal erat, dan untuk pertama kalinya dalam dua tahun, Chichi mulai meragukan keputusannya. Apakah pilihan yang ia buat untuk Kage selama ini benar? Pertanyaan itu mulai menghantui pikirannya saat ia berdiri di sana, sendirian.
--
Cahaya lampu restoran yang lembut menghangatkan suasana malam itu, memantulkan ke kilauan perabotan kayu dan piring porselen di atas meja. Udara dipenuhi aroma masakan yang baru saja disajikan, tetapi ada sesuatu yang lebih pekat di udara saat Chichi melangkah mendekati Lily, raut wajahnya tegang.
Lily, yang masih duduk dengan santai di salah satu meja, mengangkat kepalanya saat melihat sosok Chichi mendekat. Dengan tawa kecil yang hampir terdengar sinis, dia bertanya, "Astaga, Chichi, kenapa harus repot-repot datang lagi? Apa ada hal lain yang ingin kau bicarakan?"
Chichi tidak menanggapi canda Lily. Wajahnya tetap dingin, matanya lurus menatap Lily. Dia berhenti di depan meja, tangan yang terkepal di samping tubuhnya seolah menggambarkan berat kata-kata yang akan ia lontarkan.
"Lily," Chichi memulai, suaranya berat dan serius, "aku ingin bicara serius padamu."
Nada suara itu langsung memotong suasana ringan yang sebelumnya dipelihara Lily. Wajah Lily mendadak berubah kaku, matanya terpaku pada Chichi yang tampak begitu formal dan serius. Sejenak, ada keheningan yang menegangkan di antara mereka, seolah dunia di sekeliling mereka melambat.
Chichi melanjutkan, menatap lurus ke mata Lily. "Kau akan bercerai dengan Kage."
Kalimat itu menusuk udara seperti bilah pisau tajam, membuat waktu seakan berhenti di tempat. Mata Lily membelalak, bibirnya bergetar seakan tak percaya apa yang baru saja dia dengar.
"Apa...?" Lily akhirnya mengucapkan, suaranya nyaris berbisik. "Apa maksudmu?"
"Aku sudah bicara dengan Kage," jawab Chichi dengan nada tegas, tanpa sedikit pun keraguan. "Keputusan ini sudah dibuat. Hubungan kalian tidak bisa dilanjutkan."
Lily terdiam, dadanya terasa sesak seolah semua udara di restoran tiba-tiba lenyap. Jantungnya berdetak cepat, dan tangannya mulai gemetar, meski ia berusaha menutupi kegelisahan itu. Ia merasakan panas mulai naik ke pipinya, bukan karena marah, tapi ketakutan yang mendalam.
"T-tidak... Tidak bisa seperti ini..." Lily memaksakan senyum, meskipun air mata mulai berkumpul di sudut matanya. "Tuan Kage tidak akan melakukan ini... dia... dia tidak bisa meninggalkan aku begitu saja. Kami bisa memperbaiki ini, kami hanya butuh waktu..."
Chichi menggeleng, wajahnya tetap tidak berubah. "Waktu takkan mengubah kenyataan, Lily. Kage sudah mengambil keputusan."
Lily bangkit dari kursinya, hampir tersandung dalam kegugupan. Dia berjalan mendekati Chichi, tangan gemetarnya mencoba meraih tangan Chichi, berharap ada secercah harapan di balik kata-kata dingin itu. "Tolong, Chichi, jangan biarkan ini terjadi... Kumohon, aku bisa memperbaiki ini. Aku bisa membuat Kage bahagia! Aku hanya butuh kesempatan!"
Chichi menatapnya dengan tatapan keras, tapi di balik mata itu, ada sedikit rasa iba yang terpendam. "Kau tahu ini bukan tentang kesempatan lagi, Lily. Kage tidak mencintaimu. Kau harus menerima kenyataan ini."
"Tidak! Aku tidak percaya itu!" teriak Lily, air mata mulai mengalir di pipinya. Dia menggenggam lengan Chichi lebih erat, seolah dengan menggenggamnya, dia bisa menghentikan peristiwa ini dari terjadi.
Chichi terdiam, melihat Lily yang tampak begitu hancur di depannya. Namun, meski ada rasa kasihan yang muncul di hatinya, dia tahu bahwa keputusannya tetap harus dipegang teguh.
"Lily..." Chichi akhirnya berkata dengan suara lebih tenang, hampir lembut. "Kau wanita yang aku harapkan bisa menjalin hubungan dengan putraku, tapi inikah yang kau berikan pada keluarga kami tanpa malu? Kau seharusnya malu karena kau tidak memiliki keturunan..."
Lily terisak semakin keras, kata-kata Chichi semakin menghujam hatinya. Dia merasa seperti segalanya runtuh di sekelilingnya, masa depannya dengan Kage, impian yang ia bangun bertahun-tahun lamanya, semuanya sirna dalam sekejap.
Dia terus menangis, suaranya bergetar, namun tetap penuh harapan yang putus asa, "Tidak... Kumohon, tolong aku, Chichi... Aku masih ingin menjalani hubungan, kita bisa mengadopsi anak bukan."
"Lagi? Kau benar benar tidak tahu malu..." Chichi menatap tajam membuat Lily benar benar terpaku tak tahu lagi harus mengatakan apapun untuk membela dirinya.
Chichi berbalik, meninggalkan Lily yang kini terisak di mejanya, berusaha meraih kembali mimpi yang kini semakin jauh dari jangkauannya. Air mata jatuh tanpa henti, membasahi meja di depannya. Kini dia berhasil mendapatkan karma nya.