"(Aku dari tadi belum melihat Deana Senpai sama sekali... Apa dia tak masuk akhir-akhir ini... Setelah kejadian itu... Aku memang tak terima jika dia menggoda Mas Kage... Aku takut dia akan membenciku nanti,)" Hikari terdiam sambil berjalan memegang bunga itu di tangannya.
Ia mengantri di tiket kereta, tapi orang yang ada di depannya kebingungan. Hikari pun juga merasa terhambat. "(Haiz... Kenapa dia lama banget...)"
"Anu, apa aku bisa membantu?" ia menatap.
Pria itu seperti berusia paruh baya. Ia mengangguk menerima pertolongannya dengan wajah datar. Akhirnya, mereka duduk di kereta yang sama.
"(Kenapa aku merasa déjà vu?)" Hikari teringat Haku yang juga pernah ia antar seperti ini.
"Terima kasih atas bantuanmu, aku tidak pernah naik kereta sebelumnya," kata pria itu.
"Tidak masalah, Tuan, aku juga mengalami hal yang sama saat membantu orang seperti Anda... (Itu termasuk Mas Haku,)" Hikari membalas.
"Kau membawa bunga untuk siapa?"
"Ini, hanya untuk seseorang."
"Apakah itu mawar putih? Kenapa kau memilih mawar putih?"
"Eh, kenapa ya, em, mungkin karena mawar putih terlihat suci dan bersih, cahaya juga bisa," Hikari membalas dengan ragu.
"Jadi, putih artinya cahaya dan bersih."
"Em, ya begitulah. Apa Anda punya masalah? Wajah Anda terlihat penuh pikiran dari tadi."
"Haiz, sebenarnya aku jauh dari putraku. Dia tertutup dan tidak mau mengajak bicara keluarganya. Dia lebih pantas disebut bayangan gelap daripada dirimu yang bercahaya."
"... Berapa umur putra Anda?" Hikari menatap.
"29."
"(Orang ini, aneh,)" Hikari terkejut mendengarnya. Setelah sampai, mereka turun berdua.
"Karena kau tadi telah membantuku, bagaimana jika kutraktir teh atau kopi?" pria itu menatap.
"Bisa, Tuan, aku akan menerimanya dengan senang hati," Hikari membalas sambil tersenyum, tapi ponsel pria itu berbunyi. Ia mengangkatnya lalu menutupnya kembali.
"Maafkan aku, sepertinya aku sudah dijemput. Padahal aku mau mentraktirmu," ia menatap.
"Tidak apa-apa, Tuan. Kalau begitu, aku sekalian keluar stasiun bersama Anda," kata Hikari, lalu pria itu mengangguk.
Tapi Hikari terkejut saat melihat Haku yang berdiri di luar mobil. Ia menatap mereka. "Chichi, kau sudah sampai," ia menatap pria itu.
"(C... Chichi!: A, ayah,)" Hikari terkejut.
"... Oh, kau juga bersamanya," Haku menatap Hikari.
"Eh, em, ti... tidak, aku... aku harus pergi... Maafkan aku," Hikari berlari menjauh.
"Kau kenal gadis sopan itu?"
"Ya, dia pacarnya Kage."
"Huh, teman perempuan!?" Chichi terkejut.
"Yah, mereka sudah beberapa minggu tinggal bersama," kata Haku. Mendadak, kerahnya ditarik oleh Chichi.
"Kenapa dia tidak pernah bilang padaku?" tatapnya dengan sangat serius.
"Kau tahu kan, putramu yang satu itu benar-benar menjengkelkan dari dulu, susah diatur dan ingin membuat kisahnya sendiri..."
"Aku tak peduli. Bilang pada Kage, jauhi gadis polos itu. Dia akan kutunangkan dengan Lily, putri dari kawan bisnisku. Meskipun dulu dia susah diatur, tapi dia sudah menunjukkan pada kita bahwa dia bisa bekerja menjadi yang teratas tanpa bantuan apa pun dariku."
"Tapi, Chichi, Kage akan menolaknya. Aku juga sudah bilang dari dulu padanya, tapi dia terus saja membela gadis itu."
"Dia tidak akan menolak jika ini perintah dariku!" Chichi membalas.
--
Hikari terdiam di sudut jalan setelah berlari dari stasiun. Nafasnya masih tersengal, dan kepalanya penuh dengan perasaan tak menentu. "(Pacar Mas Kage... Kenapa Haku bilang begitu? Memang kami tinggal bersama, tapi... pacar?)" pikirannya berkecamuk, dan tatapannya jatuh pada mawar putih di tangannya.
Perasaan gugup dan ragu mulai menyelimuti. Mawar itu, yang awalnya ia bawa dengan niat baik, sekarang seakan menjadi simbol ketidakpastian. "(Apa benar Mas Kage merasa hal yang sama denganku? Kenapa aku selalu meragukan posisiku di hatinya?)"
Saat itu, suara notifikasi ponsel Hikari memecah lamunannya. Ia segera mengeluarkannya dari tas dan melihat pesan singkat yang baru masuk. "Hikari, kau di mana? Aku ingin bicara." Itu dari Kage.
"(Apa yang akan dia bicarakan? Apa ini ada hubungannya dengan Haku dan pria di stasiun tadi?)" Hikari ragu sejenak, namun ia akhirnya membalas singkat, "Aku akan pulang sekarang."
Ketika Hikari sampai di rumah, langkahnya melambat. Jantungnya berdegup semakin cepat ketika ia melihat Kage duduk di sofa dengan ekspresi yang tak terbaca. Aura di sekelilingnya terasa tegang, hampir mengintimidasi. Hikari menelan ludah dan mencoba menenangkan diri.
"(Ada apa dengannya? Kenapa suasananya terasa begitu berat?)" pikir Hikari dengan cemas. Dengan tangan gemetar, ia mengangkat buket mawar putih yang dibawanya. "Mas Kage, aku membawakan ini untukmu," katanya dengan senyuman yang dipaksakan.
Namun, Kage hanya berdiri dan berjalan mendekat tanpa berkata apa-apa. Tatapan matanya begitu intens hingga membuat Hikari semakin gugup. Begitu ia mendekat, mawar putih itu, yang tadinya segar, perlahan-lahan mulai layu di tangan Hikari. Seakan mawar itu merasakan aura Kage yang suram. Hikari tercekat, napasnya terhenti sejenak. "(Apa yang terjadi?)"
Tiba-tiba, tanpa peringatan, Kage memeluk Hikari erat-erat. Pelukan itu begitu mendadak, namun juga penuh kehangatan yang aneh. Mawar yang sempat layu di tangan Hikari mendadak menjadi segar kembali, seolah-olah pelukan Kage mengembalikan kehidupan pada bunga itu.
"Mas Kage?" Hikari merasa kebingungan.
Kage memeluknya semakin erat, dan Hikari bisa merasakan tubuh Kage yang sedikit gemetar. Air mata yang tak diduga mulai menetes dari sudut mata Kage, membasahi bahu Hikari. "Aku tidak mau pergi darimu," kata Kage dengan suara yang terdengar penuh ketakutan.
Hikari mendorong tubuh Kage sedikit, ingin melihat wajahnya yang penuh dengan kekhawatiran. "Mas Kage, apa yang kau bicarakan?" tanyanya, bingung.
Sebelum Kage bisa menjawab, pintu rumah terbuka dengan keras, dan seorang wanita masuk dengan penuh percaya diri. "Kage-sama!" Suaranya ceria dan tak kenal malu. Wanita itu langsung menghampiri Kage, memeluknya dan mencium pipinya dengan lembut. Lipstik merahnya meninggalkan jejak di pipi Kage, membuat Hikari tercengang.
Hikari berdiri terpaku, mata membelalak tak percaya. "Apa yang terjadi?" gumamnya lirih, suaranya nyaris tak terdengar.
Kage dengan cepat mendorong wanita itu untuk menjaga jarak. "Hikari, maafkan aku... ini bukan seperti yang kau pikirkan," katanya dengan nada penuh penyesalan. Namun, Hikari tidak bisa menahan emosinya. Amarah yang ia pendam selama ini akhirnya meledak.
Dengan tangan gemetar, Hikari mengangkat tangannya dan menampar Kage dengan keras. Suara tamparan itu memenuhi ruangan, membuat wanita tadi menahan napas kaget. "(Berani sekali dia menampar Kage-sama... Dia pasti akan marah,)" pikir wanita itu dengan terkejut.
Kage terdiam dengan posisinya dan wajah yang tak percaya. Lalu Hikari mengambil buket bunga mawar putih dan melemparkannya pada Kage hingga kelopak-kelopak mawar itu berjatuhan ke mana-mana. Kelopak yang jatuh menjadi layu dan kering, bahkan anehnya, sebagian menghitam.
"AKU MEMBENCIMU!!!" Hikari berteriak membuat Kage terdiam kaku mendengar itu. Setelah mengatakan itu, Hikari berbalik dan berlari keluar dengan air mata yang menetes tertinggal.
"Hikari, tunggu!!" Kage akan mengejar, tapi wanita tadi menahan tangannya. "Kage-sama, Chichi bilang kau akan berjanji menikahiku, kan?" Ia menatap centil.
Kage terbawa dalam hal yang sulit. Ia tidak bisa menolak perintah Chichi, yang merupakan ayahnya. Jadi, ia hanya terdiam sambil mengepalkan tangan.
Kage memandangi jalan yang terbentang di depannya, tangan yang memegang setir terasa dingin, hampir mati rasa. Pikirannya terus berputar, penuh dengan bayangan Hikari. Tatapannya yang lembut, senyumnya yang selalu menyapanya dengan kehangatan—semua itu kini terasa semakin jauh. Sementara di sampingnya, Lily tampak ceria, sesekali berbicara tentang masa depan mereka yang tampak terencana, namun tak satu pun dari perkataannya benar-benar terdengar di telinga Kage.
"(Aku sudah mengambil keputusan... Tapi kenapa rasanya begitu salah?)" batin Kage, mencoba mencari jawaban di balik pikirannya yang kacau. Bayangan wajah Hikari terus menghantui, terlebih saat dia melemparkan bunga layu padanya. Bunga yang dulunya putih bersih itu, kini tampak seperti simbol dari hubungan mereka yang perlahan pudar. Kage tak bisa menghapus rasa bersalah yang kini membebani hatinya.
"Hei, Kage-sama, kau mendengarku?" Suara Lily tiba-tiba membuyarkan lamunannya. Kage hanya menoleh sekilas tanpa banyak bicara, senyum palsu tersungging di bibirnya.
"(Lily... Dia tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Dia tak tahu seberapa dalam perasaanku pada Hikari.)" Kage berpikir, matanya kembali terpaku pada jalanan yang sepi. Meski Lily berada di sampingnya, kehadirannya terasa begitu jauh, kosong.
"Apa kau memikirkan sesuatu?" Lily bertanya, nada suaranya ceria, namun ada sedikit kecurigaan yang tersirat.
Kage hanya mengangguk tanpa banyak bicara. Ia tahu, setiap gerak-geriknya sedang diawasi oleh Chichi. Ayahnya selalu punya cara untuk memastikan Kage mengikuti setiap perintahnya, termasuk menikahi Lily. Baginya, pernikahan ini bukanlah sekadar ikatan pribadi, melainkan langkah besar dalam permainan bisnis keluarga yang penuh taktik dan intrik.
Lily kembali mendekatkan dirinya ke arah Kage, seolah tak menyadari beratnya situasi yang dirasakan oleh Kage. "Kage-sama, aku yakin kita akan menjadi pasangan yang sempurna. Kau tahu, aku sudah lama mengagumimu." Suara Lily terdengar manis dan lembut, namun di telinga Kage, setiap kata terasa hambar.
Kage hanya tertelan dalam diam, perasaannya tertahan oleh kenyataan yang semakin tak bisa ia hindari. Ia memikirkan bagaimana reaksi Hikari jika ia tahu tentang pernikahan yang diatur ini. Hikari, yang selama ini selalu mendukungnya, yang selalu ada saat dunia terasa terlalu berat untuk dihadapi, kini harus dia tinggalkan demi ambisi keluarganya.
Namun, di balik semua keraguan itu, Kage tahu satu hal. Ayahnya, Chichi, tidak akan membiarkan dia keluar dari pernikahan ini. Keluarga Kage adalah salah satu yang paling berkuasa, dan setiap keputusan yang dibuat Chichi selalu memiliki alasan bisnis di baliknya. Kage bukan hanya seorang anak; ia adalah aset dalam permainan besar yang dimainkan ayahnya.
"Jadi... kapan kita mulai merencanakan pernikahan kita, Kage-sama?" tanya Lily dengan penuh semangat.
Pertanyaan itu menusuk hati Kage. Kata 'pernikahan' membuatnya mual, karena bukan pernikahan inilah yang ia inginkan. Seolah-olah kata itu menjadi simbol dari semua yang akan hilang—kebebasan, cinta, dan terutama Hikari.
"Aku belum memikirkannya," jawab Kage dengan suara yang terdengar lebih dingin daripada yang ia maksudkan.
"Oh, aku mengerti. Mungkin kau hanya butuh waktu untuk terbiasa dengan gagasan ini. Jangan khawatir, aku akan membuat semuanya sempurna untuk kita," jawab Lily dengan riang, tanpa menyadari ketidaknyamanan Kage.
Kage menelan rasa frustrasinya. "(Ini bukan tentang waktu... Ini tentang hati yang tak bisa dipaksa,)"