Empat tahun telah berlalu, namun bagi Hikari, rasanya seperti hanya kemarin saat hidupnya berubah begitu drastis. Hari ini, langkah kakinya terasa berat saat ia membawa dokumen menuju gedung megah itu. Bukan hanya karena ia gugup akan wawancara yang menantinya, melainkan karena kenyataan bahwa tempat ini adalah milik seseorang yang dulu begitu dekat dengannya. Ia berusaha menyembunyikan rasa bimbangnya di balik senyum tipis, namun gemuruh di hatinya tak bisa diabaikan.
Sesampainya di ruang tunggu, Hikari mengambil tempat di salah satu kursi. Kursi itu dingin, seolah mencerminkan suasana hatinya. "(Huft, aku benar-benar gugup,)" batinnya, matanya menatap kosong ke arah pintu kantor. "(Mencari pekerjaan sendiri memang sangat sulit, dan ini sudah dua tahun lamanya... Sekarang, aku di sini, di tempat yang dulu tak pernah kubayangkan akan kudatangi dengan cara seperti ini. Mas Kage… kenapa harus perusahaanmu?)"
Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Tapi bayangan masa lalunya dengan Kage terus menghantuinya. Dulu, mereka sering tertawa bersama, bermimpi bersama, namun kini, semua itu hanyalah kenangan yang terasa begitu jauh. Sekarang ia hanya seorang pencari kerja, dan yang lebih parah, tempat yang ia tuju adalah perusahaan milik mantan kekasihnya. "(Yang harus kulakukan hanyalah bersikap formal dan normal, tidak lebih... Aku bisa melewati ini, aku pasti bisa,)" gumamnya dalam hati, meskipun rasa takut dan ragu terus menghantui.
Saat ia dipanggil masuk ke dalam ruangan, langkahnya mendadak terhenti. Di balik meja besar yang seharusnya diisi oleh manajer, berdiri sosok yang tak asing—Lily, dulu yang mengaku sebagai tunangan Kage. Hikari hanya bisa memandang kosong ke arah wanita itu, sementara rasa kesal dan tidak nyaman mulai merayap perlahan.
"Oh, pagi. Ternyata mantan kekasih Tuan Kage ya," kata Lily dengan nada yang tidak bisa lebih menyakitkan lagi. Tatapannya dingin, namun ada kilatan kemenangan di sana. Hikari menahan napas, berusaha menahan emosinya yang meluap-luap. Kepalannya mengepal erat di samping tubuhnya, seolah jika ia tidak melakukannya, tubuhnya akan bergetar karena amarah.
"(Kenapa dia harus ada di sini? Apa dunia ini sekecil itu sampai-sampai aku harus berhadapan dengan dia sekarang?)" pikir Hikari sambil berusaha tersenyum sopan. Namun senyum itu terasa getir di bibirnya. Ia teringat momen-momen menyakitkan di masa lalu, saat hubungan mereka dengan Kage perlahan retak, dan Lily masuk ke dalam kehidupan mereka seperti badai yang menghancurkan segalanya.
Lily, yang sepertinya menikmati keheningan canggung ini, kembali membuka mulutnya. "Oh iya, kau kan hanya mantan, hanya kekasih lama. Hari ini, Tuan Kage akan mengumumkan ulang tahun pernikahan kami yang kedua. Tentu saja, aku harap kau tidak datang—aku tidak ingin ada drama tak perlu, hahaha..."
Setiap kata yang keluar dari mulut Lily bagaikan duri yang menusuk hati Hikari. Tapi Hikari menolak menunjukkan kelemahannya. "Aku tidak akan datang, Nona Lily. Jadi jangan khawatir," jawabnya datar, namun di balik kata-kata itu, ia menahan rasa sakit yang menusuk di dadanya. Ia bisa merasakan kegetiran menyusup dalam setiap napas yang diambilnya.
"Oh ya, tentu saja. Aku bahkan tak bisa membayangkan kau hadir dengan tubuh miskinmu itu. Aneh sekali Tuan Kage pernah menyukaimu... Memangnya apa sih yang dilihatnya dari dirimu? Gadis kecil yang tak tahu apa-apa. Kau datang ke sini untuk mengemis pekerjaan, ya?"
Hikari menggigit bibir bawahnya. Ia tahu bahwa berdebat dengan Lily hanya akan memperburuk situasi. "Maaf, Nona Lily. Aku ke sini memang untuk melamar pekerjaan, bukan untuk mendengar bualan tak penting," jawabnya dengan nada sopan, namun sindiran halusnya tak bisa disembunyikan. Lily mengepalkan tangan, terlihat marah dengan balasan Hikari yang tenang namun menusuk.
"Oh, begitu ya. Perusahaan ini milikku, dan aku yang memegang kendali di sini. Jadi jika kau ingin bekerja di sini, khusus untukmu, aku akan pastikan kau mendapat banyak lembur," balas Lily dengan tatapan tajam. Hikari bisa merasakan hawa dingin dari sikap Nona Besar itu, tapi ia tahu bahwa melawan Lily hanya akan membuat posisinya semakin sulit.
Hari-hari pun berlalu dengan berat. Hikari bekerja keras di meja kantornya, menatap dokumen yang menumpuk di depannya. "(Haiz... Aku benar-benar tak mengerti apa yang terjadi... Kenapa dia begitu menyebalkan? Aku ingin sekali mendorongnya jatuh... Hiz,)" pikir Hikari sambil menggigit pena di tangannya. Di balik sikap tenangnya, kemarahan itu terus membara, namun ia tak bisa melakukan apa-apa. Dunia kerja tidak memberi ruang untuk melampiaskan emosi pribadi.
Tiba-tiba, tumpukan dokumen baru diletakkan di mejanya. Hikari terkejut dan menatap manajer perempuan yang membawa dokumen itu. "Maaf, Hikari, ini dari Nona Lily," katanya singkat sebelum berjalan pergi tanpa memberikan kesempatan Hikari untuk berbicara.
"Haiz..." Hikari hanya bisa menghela napas berat. Hari-hari penuh tekanan ini terasa begitu melelahkan. Ia terjebak di antara masa lalunya dan kenyataan pahit di depannya. Setiap jam yang berlalu seperti duri yang menusuk perlahan, mengingatkannya pada apa yang telah hilang dan apa yang tidak bisa ia capai.
---
Pintu ruang kerja terbuka dengan perlahan, engselnya mengeluarkan bunyi halus yang mengisi kesunyian ruangan. Lily, yang sedang sibuk memeriksa beberapa dokumen di meja, menoleh dengan kesal. Ia yakin itu Hikari yang selalu muncul tanpa peringatan, mengganggu konsentrasinya. Namun, wajahnya yang tadinya penuh dengan rasa jengkel tiba-tiba berubah saat melihat sosok Kage berdiri di ambang pintu. Sosoknya tinggi, dengan sorot mata yang dingin dan penuh wibawa, membuat siapapun yang melihatnya merasa segan.
"Tuan Kage," suara Lily tiba-tiba terdengar ceria, seakan kemarahan tadi tak pernah ada. "Kamu datang... Apa ada yang bisa kubantu?" Wajahnya berseri-seri saat ia berjalan mendekat dengan langkah cepat, berharap bisa segera membantu apapun yang Kage perlukan.
Kage, yang selama ini selalu bersikap tenang, tidak langsung menjawab. Tatapannya lurus, tanpa ekspresi. "Aku membutuhkan berkas dokumen..." suaranya dalam dan tegas, tapi terhenti tiba-tiba. Pandangannya jatuh ke meja Lily, di mana sebuah dokumen tergeletak, dokumen yang tak seharusnya berada di sana. Identitas Hikari. Ia segera meraihnya, namun tangan Lily dengan cepat menyambar dokumen itu lebih dulu.
"Berikan itu padaku, Lily." Kage mengucapkannya dengan nada yang rendah namun penuh tekanan. Matanya yang tajam menatap lurus ke arah Lily, seakan tak ingin ada perdebatan lebih lanjut.
"Tuan Ka... Kage," Lily tergagap. Wajahnya tampak sedikit pucat saat ia mencoba menenangkan diri. "Ini hanya dokumen yang tidak berguna, tidak perlu melihatnya." Tangannya sedikit gemetar saat mencoba menyembunyikan dokumen itu di balik punggungnya, tetapi tatapan Kage tidak teralihkan.
"Apa kau menerima Hikari di sini? Dia bekerja di bagian mana?" suara Kage berubah dingin, nada otoritasnya membuat Lily merasa terpojok.
Lily menelan ludah, merasa terancam oleh pertanyaan Kage. "Tuan Kage, aku sama sekali tidak mempekerjakannya kok... jadi kamu jangan mencarinya..." suaranya bergetar, namun ia berusaha terdengar tenang. Namun, Kage sudah tahu ada sesuatu yang disembunyikan. Ia tak menjawab, melainkan bergerak dengan mantap keluar dari ruangan, meninggalkan Lily yang tampak panik.
"Tuan Kage, kau mau ke mana?!" Lily memanggilnya sambil bergegas mengejar, tapi Kage tidak menggubrisnya. Langkahnya membawa dia menuju ke area kerja umum, di mana matanya langsung tertuju pada Hikari, yang sedang duduk di depan komputernya, tampak sibuk dengan pekerjaannya.
"Hikari!" panggil Kage dengan suara yang lebih keras kali ini, membuat beberapa karyawan di sekitarnya menoleh. Hikari yang mendengar panggilan itu segera berdiri, tubuhnya kaku, seolah baru saja ditangkap basah melakukan sesuatu yang salah.
Lily segera menyusul dan menahan lengan Kage, mencoba menghentikannya. "Tuan Kage, dia hanya gadis pembantu di sini," katanya dengan cemas, matanya melirik ke arah Hikari yang masih berdiri dengan kaku.
Kage tak mengalihkan pandangannya dari Hikari, seolah tak memedulikan kata-kata Lily. "Hikari, aku sudah mencarimu ke mana-mana," kata Kage lagi, nada suaranya lebih lembut namun tetap tegas. Tapi Hikari hanya berdiri diam, menundukkan kepala, tak mampu menatap balik ke arah Kage. Tatapan karyawan lain mulai berubah, bisik-bisik kecil mulai terdengar. Suasana ruang kerja yang tadinya tenang berubah menjadi penuh ketegangan dan rasa ingin tahu.
Lily yang melihat situasi itu tiba-tiba merasa sebuah ide licik muncul di kepalanya. Matanya menyala, dan tanpa peringatan, ia berteriak keras. "Tuan Kage, apa kau berusaha selingkuh dengan gadis ini?! Aku ini istrimu, Tuan Kage!!!" Suaranya menggema di ruangan, membuat semua orang terdiam dan menoleh dengan kaget. Gosip langsung menyebar seperti api, menyulut lebih banyak tatapan tak enak yang diarahkan pada Hikari.
Kage, yang biasanya sangat tenang, tiba-tiba kehilangan kesabarannya. "Lily, apa yang kau katakan..." ia menghela napas panjang, suaranya serak dengan kemarahan yang ditahan. "Apa kau sadar, aku menikahimu karena terpaksa?!"
Ruangan terasa semakin mencekam. Karyawan-karyawan yang tadinya hanya mengintip dari balik meja mereka, kini benar-benar memperhatikan dengan serius. Lily membalas dengan wajah pucat, tapi amarahnya lebih besar dari rasa malunya. "Tuan Kage, aku ini istrimu... Meskipun begitu, aku ini tunangan sahmu juga!!"
Kage menatapnya dingin. "Pikirkanlah lagi sebelum berbicara. Meskipun kau istriku, aku tidak pernah mengejar-ngejarmu." Suaranya penuh kemarahan yang ditekan, membuat Lily semakin geram.
"Tuan Kage, apa yang kau katakan?! Sudah jelas wanita ini pelakor! Apa kau lebih memilih gadis pendek dan rata ini, hah?!" Suara Lily semakin meninggi, penuh hinaan yang sengaja ia lontarkan. "Akulah yang lebih sempurna!!!"
Langkahnya mendekati Hikari, yang masih berdiri diam, berusaha menahan semua rasa malu dan sakit hati yang menghantamnya. "Hei, kau, gadis kampungan," Lily melangkah maju lagi, kali ini jaraknya sangat dekat dengan Hikari. "Aku akan mempermalukanmu karena telah merebut Tuan Kage!" Ia mengangkat tangannya dan, tanpa peringatan, menampar Hikari dengan keras. Suara tamparan itu menggema di ruangan, membuat semua orang terkejut.
Hikari terjatuh, tangannya memegangi pipinya yang mulai memerah. Matanya penuh dengan air mata, tapi ia tetap diam, menahan semua rasa sakit dan penghinaan yang datang bertubi-tubi. Kage yang melihat itu langsung bereaksi. "Lily, apa yang kau lakukan?!" teriaknya dengan marah.
Namun sebelum ia bisa bergerak lebih jauh, Chichi muncul. Langkahnya pelan tapi penuh otoritas, matanya mengamati situasi yang sedang memanas. "Chichi," Lily tiba-tiba tersenyum, berpikir bahwa kedatangan Chichi akan memihaknya. "Chichi, gadis itu telah merayu suamiku," katanya dengan nada manja, seakan ingin mendapatkan dukungan dari wanita yang lebih tua itu.
"Kage..." Chichi menatap Kage dengan sorot mata tajam. Namun, Kage tidak menghiraukannya. Matanya tetap tertuju pada Hikari yang masih duduk di lantai, terlihat sangat terpukul. Kage mendekat, ingin menolongnya berdiri. Namun, yang tak diduga, Hikari menepis tangan Kage, menolak bantuannya. Semua orang yang melihat itu langsung terkejut.