Malam itu begitu hening, hanya ditemani oleh desiran angin lembut yang merayap di sepanjang jalan setapak. Cahaya bintang-bintang menghiasi langit yang begitu luas, membentuk kanvas gelap yang mempesona. Di atas sana, bulan bersinar terang, seakan menjadi saksi bisu atas percakapan yang terjadi antara Kage dan Hikari.
Kage menutup laptopnya dengan perlahan, membiarkan kehangatan layar yang tadinya bersinar itu padam. Ia berdiri, melihat Hikari yang sudah menunggu dengan sabar di luar. Senyum kecil terlukis di wajahnya ketika dia mendekati Hikari, yang kini sedang menikmati angin malam sambil memandangi langit.
Mereka mulai berjalan bersama, kaki mereka hampir tak bersuara di atas jalan setapak yang dipenuhi kerikil kecil. Ada sesuatu yang tenang dalam cara mereka bergerak, seolah-olah malam ini hanya milik mereka berdua, dikelilingi oleh kesunyian yang damai.
Hikari, yang tak pernah terlalu jauh dari Kage, secara perlahan merangkul lengannya. Ada kehangatan yang mengalir di antara mereka. Tangannya menggenggam lembut, seolah takut untuk melepaskan. Wajahnya, dengan sorot mata yang lembut, berkali-kali mencuri pandang ke arah Kage, meskipun ia sendiri tak pernah berani menatap terlalu lama.
"Kau suka apa pada langit itu, Hikari?" Kage akhirnya memecah kesunyian, suaranya begitu dalam dan penuh makna, meskipun nadanya tetap tenang. Tatapannya terfokus pada bintang-bintang di atas, tapi sebagian pikirannya tertuju pada gadis di sampingnya.
Hikari tersentak pelan, tidak menyangka pertanyaan itu datang begitu tiba-tiba. Ia menunduk sebentar, seakan mencari jawaban di dalam hatinya, sebelum akhirnya berkata, "Um... Mungkin aku lebih terkesan pada bulan itu. Dia bercahaya... dan bisa menerangi langit malam. Bintang-bintang kecil itu... seperti hiasan, melengkapi kisah langit yang luas ini."
Ada sesuatu yang melankolis dalam suaranya, seolah-olah Hikari sedang mengungkapkan lebih dari sekadar kekaguman terhadap langit. Matanya bersinar lembut saat ia menatap ke atas, memandang bulan yang tinggi di cakrawala. Malam ini, baginya, bulan itu lebih dari sekadar benda langit. Ia menjadi simbol harapan, cahaya yang hadir di kegelapan, sama seperti apa yang ia rasakan dalam hidupnya saat bersama Kage.
"Langit malam memang sangat gelap," lanjutnya, suaranya sedikit lebih pelan, "tapi dia tak pernah bisa membuat dunia benar-benar gelap jika bulan masih bersamanya. Itu seperti... cahaya yang bisa menerangi kegelapan."
Kage mendengarkan dengan tenang, seolah meresapi setiap kata yang keluar dari mulut Hikari. Pandangannya tidak lagi tertuju ke langit, melainkan pada gadis yang berdiri di sampingnya. Ada sesuatu dalam cara Hikari berbicara yang membuat hati Kage bergetar. Mungkin, pikirnya, ini adalah alasan mengapa ia selalu merasa tertarik pada Hikari, bahkan sejak pertama kali mereka bertemu.
"Kalau begitu, kau bisa menerangi kegelapan," kata Kage sambil menatap Hikari. Ucapannya sederhana, namun penuh arti. Suaranya seperti angin malam yang menyapu lembut, tapi memiliki kekuatan untuk menyentuh hati.
"Eh... Kenapa begitu?" Hikari menoleh dengan mata yang sedikit terbuka lebar, penasaran.
"Namamu... Hikari = cahaya," jawab Kage dengan nada tenang namun meyakinkan.
"Oh... Haha, itu benar," Hikari terkekeh pelan. Tapi tawanya terdengar sedikit gugup, seolah-olah ia merasa malu dengan perhatian yang tiba-tiba ini. "Tapi aku tidak tahu, sih. Itu hanya sebatas nama," tambahnya sambil menyembunyikan rasa canggung yang mulai menyelinap.
Kage berhenti berjalan, dan tanpa berkata apa-apa, dia menatap Hikari dalam-dalam. Dalam keheningan malam itu, tatapannya mengatakan lebih banyak daripada kata-kata. "Itu bukan sebatas nama... Itu adalah takdir," katanya dengan nada yang lebih pelan, namun penuh keyakinan.
Hikari terdiam sejenak. Kata-kata Kage menggema di dalam hatinya, menggugah perasaan yang selama ini ia simpan dalam-dalam. "(Apakah ini benar?)" pikir Hikari dalam hatinya. "(Apakah aku memang ditakdirkan untuk bersama dengannya?)" Perlahan, ia merasakan jari-jari Kage yang dingin menyentuh helaian rambutnya. Sentuhan itu begitu lembut, seolah Kage sedang mencoba merasakan setiap helai rambut yang panjang itu.
"Cahaya sangat cocok untukmu, Hikari," bisik Kage. Dia mendekat, dan tanpa peringatan, ia mencium helaian rambut Hikari. Keheningan malam menjadi saksi atas keintiman kecil yang baru saja terjadi.
Wajah Hikari berubah merah seketika, seperti bunga yang mekar di bawah sinar bulan. Dalam hatinya, ribuan pikiran berlarian tanpa kendali. "(Sebelumnya, aku tak pernah mendapatkan hal seperti ini...)" pikirnya, mencoba mengendalikan kegugupan yang meluap. Ada sesuatu tentang Kage yang selalu membuatnya merasa spesial, berbeda dari semua orang yang pernah ia temui.
Tapi apa yang membuat perasaan ini begitu kuat? Apakah hanya karena tatapan tajam Kage yang seolah mampu menembus hatinya? Atau mungkin karena setiap kata yang keluar dari mulutnya selalu terasa penuh makna? Hikari tak tahu pasti. Yang ia tahu hanyalah, setiap kali ia berada di dekat Kage, ia merasa hangat. Bukan hanya karena cinta, tapi karena ada rasa nyaman yang tak bisa ia jelaskan.
"Mas Kage..." bisiknya pelan, masih berusaha mencari keberanian untuk melanjutkan ucapannya. Namun, sebelum ia bisa berkata lebih banyak, ia merasakan tangan Kage menyentuh pipinya. Sentuhan itu lembut, seolah-olah Kage sedang mencoba menenangkan debaran di hatinya.
Malam itu, di bawah langit yang dipenuhi bintang, keduanya berdiri dalam keheningan yang bermakna. Tidak ada kata yang benar-benar perlu diucapkan lagi. Hanya ada tatapan, sentuhan, dan perasaan yang semakin dalam.
"Hikari..." Suara Kage terdengar lembut, namun cukup kuat untuk memecah kesunyian malam. Dia memanggil nama gadis di sampingnya, membuat Hikari menoleh, menatap wajah Kage yang diselimuti cahaya remang bulan.
"Apa kau menikmati tempat ini?" tanya Kage sambil menatap langsung ke dalam mata Hikari, seakan mencoba membaca apa yang ada di pikirannya.
Hikari terdiam sejenak, menarik napas panjang sebelum menghembuskannya perlahan. Tatapannya kembali ke langit, mencoba merenungi perasaannya. "Yeah, tempat ini sangat indah... Terima kasih..."
Kage tersenyum tipis, namun ada sesuatu dalam senyumnya yang selalu tampak misterius, penuh rahasia yang tersimpan dalam hati yang tak mudah terbaca. "Aku tahu kau akan menyukainya. Tempat ini selalu memberi kedamaian, seperti malam dan bulan yang tak pernah mengecewakan."
Hikari mengangguk, masih menatap langit. "Iya, bulan itu... selalu ada di sana, ya? Tak peduli seberapa gelap malamnya, dia selalu setia muncul. Aku rasa, kita semua butuh sesuatu seperti itu dalam hidup kita. Sesuatu yang bisa menerangi jalan, bahkan ketika segalanya tampak suram."
Kage memperhatikan Hikari dengan seksama. "Kau berbicara tentang bulan seperti kau berbicara tentang dirimu sendiri."
Hikari tertawa kecil, meskipun wajahnya menunjukkan sedikit keraguan. "Mungkin, tapi aku rasa aku bukan seistimewa itu. Lagipula, aku hanya manusia biasa, Kage. Aku bukan cahaya seperti bulan yang bisa menerangi semuanya."
"Tapi namamu berarti 'cahaya', bukan?" Kage menatap Hikari lebih dalam. "Hikari, dalam bahasa Jepang, artinya 'cahaya'. Dan kau, bagi orang-orang di sekitarmu, kau adalah terang yang membuat mereka merasa hangat. Seperti bulan, kau mungkin tak selalu menyadari dampakmu, tapi kau selalu hadir di saat yang tepat."
Hikari tersenyum tipis mendengar kata-kata itu, meski di dalam hatinya ada perasaan campur aduk. "Dan kamu, Kage... namamu berarti 'bayangan', kan?" Ia menatap Kage, penuh keingintahuan. "Bukankah itu berarti kita seperti dua hal yang bertolak belakang? Cahaya dan bayangan."
Kage mengangguk perlahan. "Ya, 'Kage' berarti 'bayangan'. Tapi tanpa bayangan, cahaya tak akan pernah terlihat sejelas ini. Cahaya hanya bisa menyinari sesuatu jika ada kegelapan untuk dibandingkan. Mungkin itulah mengapa kita saling melengkapi. Kau adalah cahayanya, dan aku... aku adalah bayangan yang selalu mengikutimu."
Ada keheningan yang mendalam di antara mereka setelah Kage berkata demikian. Hikari merenungi kata-kata itu, matanya kembali menatap langit. Bulan yang terang di atas tampak begitu tenang, dikelilingi bintang-bintang kecil yang berkilauan, seperti butiran perhiasan di atas kanvas gelap.
"Kau tahu," Hikari akhirnya berkata, suaranya hampir seperti bisikan, "bulan itu juga bergantung pada bayangan. Cahaya bulan yang kita lihat, sebenarnya datang dari pantulan sinar matahari. Bulan sendiri tak bersinar, tapi ia memantulkan cahaya dari sumber lain. Mungkin... mungkin aku seperti bulan itu. Aku butuh sesuatu, atau seseorang, untuk memantulkan cahayaku."
Kage mendekatkan dirinya sedikit, membuat jarak di antara mereka semakin sempit. "Lalu, apa yang memantulkan cahayamu, Hikari? Apakah kau sudah menemukannya?"
Hikari terdiam. Ia tak tahu harus menjawab apa. Apakah benar Kage adalah orang yang memantulkan cahayanya? Atau mungkin, perasaan ini belum sepenuhnya jelas baginya. Ia merasa ada sesuatu yang spesial tentang Kage, namun terlalu cepat untuk disimpulkan. Tapi malam ini, di bawah langit yang terang, semuanya terasa seolah memiliki tempatnya masing-masing.
"Aku belum tahu," jawab Hikari akhirnya, dengan suara yang pelan tapi jujur. "Mungkin aku masih mencari."
Kage menatapnya sejenak, lalu mengulurkan tangannya, dengan lembut membelai pipi Hikari. "Kita semua mencari, Hikari. Tapi ingat, bayangan tak pernah bisa sepenuhnya lepas dari cahaya. Di mana ada cahaya, pasti ada bayangan yang selalu mendampinginya."
Hikari tersenyum, meski sedikit bingung dengan filosofi yang tersirat dalam kata-kata Kage. Ia tahu ada makna yang lebih dalam di balik ucapannya, namun malam ini, ia memilih untuk menikmati momen ini, tanpa terlalu banyak bertanya.
"Lalu, bagaimana denganmu, Kage?" Hikari tiba-tiba bertanya. "Apa bayangan seperti dirimu juga membutuhkan cahaya? Atau kau lebih nyaman berada dalam kegelapan?"
Kage tersenyum kecil, seolah sudah siap dengan pertanyaan itu. "Setiap bayangan butuh cahaya, Hikari. Bayangan mungkin tampak kuat, tapi tanpa cahaya, ia tak akan pernah ada. Mungkin aku sering terlihat nyaman dalam kegelapan, tapi aku selalu membutuhkan sesuatu untuk menerangi jalanku... bahkan jika itu hanya sedikit kilauan dari cahaya seseorang."
Hikari merasakan dadanya berdebar mendengar kata-kata itu. Ada sesuatu yang begitu mendalam dalam cara Kage berbicara, seolah-olah ia sedang mengungkapkan sesuatu yang lebih dari sekadar metafora. Hikari menatapnya lagi, kali ini lebih lama, mencoba memahami siapa Kage sebenarnya.
Mereka kembali memandang bulan, diam-diam berbagi kehangatan di bawah cahaya lembut yang menyinari mereka. Dalam heningnya malam itu, ada percakapan tak terucap yang mengalir di antara mereka—sebuah pemahaman diam-diam bahwa meskipun mereka adalah dua sisi yang berbeda, mereka membutuhkan satu sama lain untuk menemukan keseimbangan di dunia yang sering kali penuh dengan kebingungan dan ketidakpastian.
Dan dalam keheningan itu, bulan dan bintang-bintang menjadi saksi dari percakapan dua hati yang saling melengkapi, meskipun mereka masih belajar memahami apa yang sebenarnya mereka cari di dalam diri satu sama lain.