Suasana dalam gedung rapat semakin memanas seiring banyaknya bisik-bisik yang terdengar dari para pengusaha yang datang menyaksikan Kage, atau Tuan Monoyaki, tampil di depan. Setiap gerakannya menarik perhatian semua mata yang terarah padanya, menciptakan aura berwibawa yang membuat Hikari merasa semakin cemas. Dia tidak bisa lepas dari bayangan bahwa Kage memiliki dua identitas yang berbeda. Nama "Monoyaki" yang mereka panggil tidak sejalan dengan apa yang dia lihat di kartu identitas polisi milik Kage. Hikari menatap sekitar dengan gugup, tak menyangka mendapati Chen di sampingnya begitu tiba-tiba.
Chen sendiri terlihat begitu santai, bahkan tersenyum bodoh seperti biasanya. "Aku juga ingin melihat Kage, kau harus memperhatikan betul-betul. Lihat, dia benar-benar sangat percaya diri dan berkarisma," ucap Chen dengan kekaguman yang terpancar jelas. Hikari hanya mengangguk kaku, pikirannya dipenuhi tanda tanya tentang apa yang sebenarnya sedang terjadi.
Saat perhatiannya kembali terfokus ke Kage, tiba-tiba Hikari merasakan seseorang menariknya. Sentuhan kasar dan kuat membuatnya terkejut, tubuhnya terseret cepat keluar dari ruangan tanpa sempat meminta bantuan. Suasana gedung rapat yang formal seketika digantikan oleh koridor panjang yang sunyi. Hikari berusaha menahan langkahnya yang dipercepat oleh orang itu, tetapi genggamannya terlalu kuat. Ketika akhirnya mereka sampai di sebuah ruangan, Hikari mengenali orang itu—Haku, pria yang sepertinya punya niat tersembunyi di balik senyum sinisnya.
Saat Chen menyadari Hikari tak ada lagi di sebelahnya, dia menoleh dengan kebingungan. "Bukankah Kage keren... Hah? Di mana Hikari?" gumamnya heran. Dia baru sadar bahwa gadis itu telah hilang dari pandangannya.
Di dalam ruangan yang sunyi, suasana canggung segera muncul di antara Hikari dan Haku. "Kenapa kau membawaku ke sini?" tanya Hikari dengan suara agak gemetar. Rasa malunya muncul kembali ketika ia teringat bahwa ia pernah mengatakan sesuatu yang bodoh pada Haku kemarin. Wajahnya memerah sedikit.
"Duduklah dulu," Haku memerintahkannya dengan nada dingin, sambil menunjuk ke sofa. Di meja sudah tersedia sepotong kue stroberi yang terlihat segar. Haku menggeser piring itu ke arah Hikari tanpa banyak bicara.
Hikari ragu-ragu, tetapi perutnya yang lapar membuatnya sulit menolak. "E-eh... Terima kasih..." gumamnya sambil bertanya-tanya dalam hati, "(Dari mana dia tahu kalau aku suka stroberi? Apakah ini kebetulan, atau dia sengaja menyelidikiku?)" Kecurigaan itu membuat Hikari semakin gugup.
"Makan saja," Haku berkata dengan tatapan tajam yang sulit diterjemahkan. Suasana itu membuat Hikari semakin berkeringat dingin. "(Tidak ada racunnya, kan? Dia tidak akan membalas dendam karena kejadian kemarin, kan?)" pikirnya waswas, namun ia tetap memotong sedikit kue dan memasukkannya ke dalam mulut.
Sekali gigitan, Hikari terkejut. Rasa manis dan lembut memenuhi lidahnya, membuatnya sedikit lupa pada kekhawatirannya. "(Uhm... Ini enak sekali... Krimnya sangat lembut, dan stroberinya segar... Rotinya pun empuk,)" gumamnya dalam hati, sementara ekspresi puas muncul di wajahnya tanpa sadar.
"Kau suka apa dari kue itu?" Haku tiba-tiba bertanya, suaranya datar namun dengan sorot mata yang tajam, seolah meneliti setiap gerakan Hikari.
"(Eh, ini pertanyaan yang aneh... Apa dia sedang basa-basi?)" pikir Hikari. "U-uh... Stroberinya..." jawabnya ragu, merasa pertanyaan itu tak biasa.
"Stroberi, ya..." gumam Haku sambil meliriknya tajam. Hikari semakin merasa tidak nyaman. Suasana di ruangan itu mulai terasa semakin menekan.
"Untuk gadis sepertimu, menyukai stroberi, apakah itu hal yang wajar?" Haku bertanya lagi, tatapannya tidak pernah lepas dari Hikari.
Pertanyaan itu membuat Hikari semakin bingung. "(Apa maksudnya? Apa ada yang salah dengan menyukai stroberi?) Eh... Apa ada masalah? Memangnya ada hal lain yang seharusnya kusukai selain stroberi?" tanya Hikari dengan suara kecil, tidak tahu harus merespon bagaimana.
Senyum kecil mulai terbentuk di sudut bibir Haku. "Kage seharusnya lebih menyukai wanita yang tidak menyukai hal-hal manis. Wanita yang lebih suka anggur, misalnya... Ketika mereka mabuk setelah meminum anggur, mereka siap untuk digunakan di tempat tidur."
Kalimat itu membuat darah Hikari mendidih. Jelas Haku sedang berusaha memprovokasinya. "Apa maksudmu? Mas Kage tidak mungkin melakukan itu pada wanita, kecuali padamu," balas Hikari, kemarahan tersirat dalam suaranya.
"Oh, kau masih mempertahankan keyakinanmu yang polos itu, ya?" Haku tertawa kecil, tatapan seringainya semakin tajam. "Kau tahu? Hanya dengan segepok uang, wanita-wanita itu menerima perlakuanku. Semudah itu. Kau pikir Kage akan berbeda?"
"Kau salah besar kalau berpikir aku seperti mereka. Aku bukan wanita murahan yang akan menyerah pada uang atau kekuasaan. Aku masih bersih, dan aku tidak akan membiarkan diriku menjadi seperti wanita-wanita yang kau ceritakan." Tatapan Hikari yang tajam membalas sombongnya Haku.
Haku terdiam sejenak, terkejut dengan kejujuran Hikari. Di dunia yang penuh tipu daya ini, menemukan seseorang yang "bersih" memang langka.
"Aku ingin kau menjauhi Kage," ujar Haku tiba-tiba, memotong ketegangan di antara mereka. Perkataan itu membuat Hikari terpaku, hatinya berdegup kencang. "(Apa yang dia maksud? Apakah dia takut aku akan mengambil posisi penting dalam hidup Kage?)" pikir Hikari, matanya mulai berair oleh ketakutan.
"Aku tahu kau hanya seorang pendatang dalam hidupnya, tapi kau tidak tahu siapa dia sebenarnya," lanjut Haku dengan suara rendah, seolah mencoba mengintimidasi Hikari. "Dia bukan hanya pria baik-baik yang kau pikirkan. Kau tahu apa pekerjaannya yang sebenarnya, bukan?"
Hikari menggelengkan kepala. "Aku tidak tahu, tapi—" sebelum ia bisa melanjutkan, pintu tiba-tiba terbuka dengan keras. Kage berdiri di ambang pintu, tatapannya menusuk langsung ke arah Haku dan Hikari.
---
"Tu, tunggu Mas Kage," Hikari melepas tangannya, tubuhnya sedikit gemetar akibat derasnya dorongan emosi yang bercampur aduk. Mereka sudah sampai di ruang kantor. Ruangan itu hening, hanya diterangi oleh lampu meja yang memancarkan cahaya redup, menambah kesan misterius yang mengelilingi Kage. Suara langkah kaki mereka di lantai kayu terdengar jelas dalam keheningan.
Sudah jelas Kage tadi menarik Hikari untuk pergi dari tempat tadi.
"Aku peringatkan padamu, Hikari, jangan sesekali kau mendekatinya. Dia hanya menyebar kebohongan," suara Kage terdengar tegas, meski rendah. Kata-katanya menusuk tajam di hati Hikari, membuat dadanya terasa sesak.
Hikari menyandarkan punggungnya ke dinding, terpojok oleh sosok Kage yang mendekat. Ia bisa merasakan hawa dingin dari tembok yang bersentuhan dengan kulitnya, kontras dengan panas yang tiba-tiba menyelimuti wajahnya akibat kedekatan Kage. Tatapan pria itu tajam, seakan menembus pertahanan Hikari yang mulai runtuh.
"Apa maksudmu? Mas Haku orang baik-baik, tapi, em... Perkataannya juga... panas..." Suara Hikari terdengar ragu, hampir tak terdengar. Ia merasakan detak jantungnya berdetak lebih cepat, seakan berlomba dengan kekhawatirannya. Ia mencoba memahami situasi, namun kebingungan terus meliputinya.
Kage tidak menjawab, hanya menatap Hikari dengan pandangan yang sulit diartikan. Wajahnya tanpa ekspresi, tapi ada sesuatu dalam mata hitamnya yang menyiratkan perasaan yang jauh lebih dalam, mungkin kemarahan, atau... perlindungan?
"Tetap saja, jangan mendekatinya," Kage memotong Hikari dengan suara lebih keras, seolah tak ingin memberikan ruang untuk pertanyaan lebih lanjut.
Hikari menggigit bibirnya, lalu menunduk, merasa bersalah meski tak sepenuhnya mengerti kenapa. Kenapa dia harus menjauhi Haku? Mengapa Kage bersikap begitu protektif? Berbagai pertanyaan berkecamuk di benaknya, tapi ia tak bisa mengeluarkan satu pun kata. Tiba-tiba, tanpa peringatan, Kage mendekatkan wajahnya dan mencium Hikari. Sebuah ciuman yang singkat, cepat, namun cukup kuat untuk menghentikan aliran pikiran Hikari.
"Umh..." Hikari terkesiap, belum siap menerima keintiman mendadak itu. Tangannya secara refleks bergerak ke depan, berusaha menjauhkan Kage, tapi tubuhnya tak berdaya. Tanpa sengaja, Hikari menggigit bibir Kage, menyebabkan darah mengalir dari bibir pria itu. Rasa asin darah memenuhi mulutnya, dan ia segera menjauh.
Kage terdiam. Sorot matanya berubah, lebih serius. Alisnya berkerut sedikit, tapi tak ada kemarahan dalam tatapannya, hanya keheningan yang sulit diuraikan. Perlahan, dia menyentuh bibirnya yang berdarah, melihat jejak darah di ujung jarinya. Dia tetap diam, seolah sedang memikirkan sesuatu yang dalam, sesuatu yang tak bisa disuarakan.
"Ma... Maafkan aku," Hikari menunduk dalam-dalam, mencoba menghindari tatapan Kage yang semakin menusuk. Dia merasa sangat bersalah, meski dia sendiri tidak sepenuhnya mengerti kenapa Kage tiba-tiba menciumnya. Apa ini caranya mengekspresikan perasaannya? Ataukah hanya sebuah bentuk peringatan yang lebih kuat?
"Aku akan mendengarkanmu... sebagai gadis kontrakmu... Aku tak akan mendekati Mas Haku lagi," suara Hikari terdengar lemah, namun tekadnya jelas. Dia tahu, di balik semua keraguan dan ketidakpastian, Kage mungkin memiliki alasan tersendiri, alasan yang tak dia pahami sepenuhnya. Namun, saat ini, Hikari memilih untuk percaya, memilih untuk mengikuti apa yang Kage katakan, meski hatinya masih dipenuhi pertanyaan.
Kage perlahan-lahan meraih dagu Hikari, mengangkat wajahnya hingga mata mereka bertemu. Pandangan itu... begitu dalam, seolah ada sesuatu yang Kage ingin ungkapkan, namun tak pernah mampu ia ucapkan dengan kata-kata. "Gadis baik..." gumamnya pelan, hampir seperti bisikan.
"(Mulutnya sangat manis...)" pikirnya dalam hati, tapi kali ini dia menahan diri. Kage menciumnya lagi, kali ini lebih lembut, lebih lambat, seolah mencoba menenangkan badai yang berkecamuk di hati mereka berdua.
Dalam kegelapan ruangan itu, hanya ada mereka berdua, terjebak dalam lingkaran emosi yang begitu rumit. Hikari bisa merasakan ketegangan di tubuh Kage yang terus menahan diri. Ciuman ini... meski penuh dengan keintiman, bukanlah sebuah tindakan yang asal. Kage jelas-jelas menjaga jarak, meski fisiknya begitu dekat. Dia belum mau menodai Hikari. Ada sesuatu yang ditunggu, suasana yang tepat, atau mungkin... waktu yang lebih aman.
Hikari, di sisi lain, merasa dadanya semakin berat. Ciuman ini memang meredakan sedikit ketegangan, tapi pertanyaan-pertanyaan yang menghantuinya belum juga hilang. Apa sebenarnya yang terjadi di antara Kage dan Haku? Mengapa ia harus menjauhi Haku? Dan, yang paling membingungkannya, mengapa Kage memilih untuk melindunginya dengan cara seperti ini?
Waktu seakan berhenti dalam ruangan gelap itu. Kage dan Hikari tetap di tempatnya, terperangkap dalam dunia kecil mereka sendiri, di mana kata-kata tak lagi diperlukan.