Chereads / Romantika Gadis Kontrak / Chapter 11 - Chapter 11 Bulan Putih

Chapter 11 - Chapter 11 Bulan Putih

Akhirnya mereka sampai di penginapan ala kuno.

Di sana sangat tenang dan nyaman, berbau khas sakura yang manis dan lembut. Ada rumah tradisional Jepang yang sangat cantik dan tenang.

"(Waw... Ini benar-benar pilihan yang sangat bagus, tidak salah memilih tempat ini... Selera Mas Kage bagus juga,)" Hikari terkesan melihat tempat itu.

"Mereka akan membawakan barang kita ke kamar. Kau bisa melihat di luar dulu," Kage menunjuk halaman penginapan yang sangat indah.

"Tapi... Bagaimana dengan Mas Kage?"

"Aku harus menyelesaikan yang tadi dulu... Jangan khawatir, aku akan menyusulmu nanti," kata Kage sambil mengelus kepala Hikari. Lalu, ia berjalan duluan ke kamar.

Hikari terdiam melihat Kage pergi. Ia lalu berjalan ke arah sebaliknya dan keluar menuju halaman penginapan. Di sana ada jalan setapak yang mengarah ke bukit sakura; di samping jalan setapak ada pohon-pohon seperti hutan kecil.

"(Suasana ini sangat jarang aku lihat... Penginapan ini tidak ramai karena ini memang pribadi, milik Mas Kage... Aku benar-benar heran... Apa dia sengaja membawaku kemari hanya untuk melihat pohon sakura itu?)" Hikari terdiam berpikir sambil terus berjalan sedikit menanjak, melihat satu pohon sakura besar yang hanya tumbuh di bukit dengan rumput hijau itu.

"(Sangat indah,)" ia menangkap bunga sakura yang jatuh berterbangan. Dengan suasana yang hampir sore, ia benar-benar merasakan kesenangan di sana.

Namun, ia tiba-tiba terdiam ketika melihat sesuatu di pohon sakura itu.

"(Apa ini?)" dia melihat ada bekas goresan di batang pohon itu. Goresan itu bertuliskan kata kanji dalam bahasa Jepang yang dibaca "Mania."

"Kata ini lagi?!" Hikari terkejut. Dia merasa dipermainkan dalam teka-teki kata dari Mania.

"(Kenapa dengan kata ini... Apa ada sesuatu di sini... Sebenarnya apa Mas Kage menyimpan sesuatu dariku...)" dia mulai curiga.

Lalu dari atas sana, ia bisa melihat di balik pagar penginapan ada sebuah rumah kediaman.

"(Huh... Rumah kediaman... Apa rumah itu yang punya penginapan ini... Jika memang benar, berarti kediaman itu juga milik Mas Kage...)" dia terdiam.

"(Jika diingat-ingat... Mas Kage lama sekali kemari... Dia bilang dia akan menyusul... Haiz... Jika tahu dia sibuk, kenapa dia mengajakku...)" Hikari menghela napas panjang.

Lalu, ia berjalan kembali ke penginapan, meninggalkan teka-teki kata di pohon itu.

Sementara itu, terlihat Kage fokus pada laptop-nya. Hikari yang baru saja masuk melihatnya dan menghela napas.

"Kenapa Mas Kage tidak menyusul, bahkan ketika sampai malam aku tunggu?" tatap Hikari.

"Maafkan aku, aku akan menyelesaikan ini dengan cepat," Kage membalas tanpa menoleh.

Hikari kembali menghela napas panjang, sambil membawa handuk perendaman.

"Lupakan saja, kau sibuk. Aku akan berendam."

"Huh, kenapa tidak di depan kamar ini? Di situ ada pemandian milik kita," Kage menunjuk kolam air panas di samping kamar penginapan pribadi mereka.

"Tidak, aku memilih pemandian umum saja," Hikari membalas sambil berjalan keluar.

Kage hanya terdiam di tempatnya sambil membiarkan Hikari pergi, karena dia masih terikat dengan pekerjaannya.

Di tempat perendaman, Hikari terus melamun. "Haiz, katanya liburan, kenapa Mas Kage malah sibuk sendiri," ia kesal sendiri.

Lalu, ia melihat ke jendela atas yang langsung menunjukkan bulan malam.

"(Bulan... Hanya dia yang bercahaya putih dari langit yang gelap. Kenapa dia bisa menerangi semuanya, padahal langit sangatlah gelap... Apa cahaya memang bisa menerangi kegelapan?)" dia terdiam.

"(Aku bahkan masih bertanya-tanya bagaimana ini semua terjadi... Yang aku ingat hanyalah sesuatu soal hal yang tak pernah bisa aku bayangkan, yakni melakukan kontrak hanya karena ciuman. Aku akui, dia memang tampan, dia lelaki yang mapan dan juga agak sibuk... Tapi, aku menerima hal ini juga merasa kasihan padanya setelah kakak mengatakan dia adalah lelaki yang kesepian. Aku mungkin berpikir bahwa lelaki kesepian butuh seseorang yang dapat menemani di samping maupun di sisinya... Di saat dia bekerja, di saat dia lelah, dan di saat dia melakukan aktivitas lainnya... Aku berpikir mungkin itu akan sangat mudah, apalagi aku gadis yang cepat akrab dengan orang lain, tapi memahami sikap dari Mas Kage mungkin butuh waktu yang ekstra...)" pikirnya dengan wajah yang khawatir.

Lalu dia menoleh ke sekitar, tak ada orang sama sekali. "(Dia bilang ini pemandian umum, tapi kenapa dari tadi bahkan di bagian lain penginapan ini tak ada sama sekali orang? Ini sama sekali bukan penginapan, ini pasti tempatnya Mas Kage... Atau ini tempat penginapan pribadi?)" ia berpikir lagi.

Lalu kembali menghela napas panjang. "(Aku ingin sekali berada di sampingnya, aku ingin menarik perhatiannya karena mau bagaimana lagi, dia sudah membuatku menerimanya bahkan sampai saat ini... Tidak diragukan lagi bahwa aku memang ditakdirkan untuknya... Atau dia yang memaksa takdir?)"

Selesai berendam, Hikari kembali berjalan ke kamar hanya dengan handuk yang melilit tubuhnya. Udara malam yang sejuk menyapu kulitnya, menambah kehangatan dari air panas yang baru saja dirasakannya. Matanya tertuju pada sosok Kage yang duduk di ujung ruangan, berjarak hanya beberapa langkah dari tempat tidurnya. Hikari memiringkan kepalanya, mengamati bagaimana cahaya layar laptop memantulkan wajahnya yang serius. Suara ketikan jari Kage pada keyboard terdengar monoton, seolah tak pernah berhenti.

Hikari menghela napas. Sudah larut malam, tapi Kage masih tenggelam dalam pekerjaannya, tak sedikit pun terganggu oleh kehadirannya. Dia memejamkan mata sejenak, mencoba menenangkan dirinya, namun kegelisahan di dadanya semakin membuncah. Setelah menimbang-nimbang sejenak, ia akhirnya memutuskan untuk berbicara.

"Mas Kage, apa kau tidak mau berendam?" suara Hikari terdengar lembut, namun penuh harapan bahwa Kage akan menoleh.

"Nanti saja," Kage hanya membalas dengan singkat, masih terpaku pada layarnya. Hikari mengerutkan kening.

Ia mendekat ke meja kecil di dekat tempat tidur, di mana sudah tersedia beberapa makanan ringan yang sejak tadi belum tersentuh. "Mas Kage, apa kau tidak mau makan malam ini?" tanyanya lagi, kali ini suaranya sedikit lebih tegas, mencoba menarik perhatian Kage dari pekerjaannya.

"Nanti saja," jawaban yang sama. Datar, tanpa ekspresi.

Hikari mulai merasa frustrasi. Tangannya menyentuh poci kopi yang terletak di atas meja, pikirannya berkecamuk. "Mas Kage, apa kau tidak mau dibuatkan kopi?" tanyanya, berharap ada respons yang berbeda kali ini.

"Tidak usah, biar aku nanti saja," jawab Kage dengan nada yang sama, tak beranjak sedikit pun dari posisi semula.

Ketika pertanyaan keempat keluar dari mulutnya—"MAS KAGE, apa kau tidak mau jalan-jalan!?"—kesabarannya sudah mulai menipis. Nada suaranya kini lebih keras, menggema di ruangan yang sepi.

Namun Kage, dengan tenang dan tanpa mengangkat kepala, menjawab, "Nanti bisa... Lampu penerangan masih menyala hingga besok." Kembali, jawaban yang datar dan tanpa emosi.

Hikari berdiri kaku di tempatnya, mengamati Kage yang tetap tak bergeming. Detak jantungnya mulai berdebar lebih cepat. Frustrasinya berubah menjadi dorongan yang tak tertahankan. Tanpa berpikir panjang, ia mendobrak meja di depannya, suaranya menggema dalam ruangan yang sepi. Kage tersentak, matanya melebar sedikit karena terkejut. Mereka saling memandang, suasana tiba-tiba berubah tegang.

"Mas-Ka-ge,-apa-ka-u-ti-dak-mau-memper-hati-kan-ku?" Hikari mengucapkannya perlahan, dengan nada marah yang ditekan. Ia berdiri di sana, hanya berbalut handuk, dan menatap Kage dengan mata yang dipenuhi rasa kecewa dan kesal.

Kage hanya tersenyum, senyum yang berbeda—ada sedikit kelicikan di dalamnya, sesuatu yang membuat Hikari merasa tidak nyaman. "Kenapa, apa kau mau aku peka padamu? Tapi kenapa kau yang perhatian duluan?" tanyanya sambil memiringkan kepalanya, seolah-olah dia yang menantang.

Hikari mendadak merasa terpukul oleh kata-kata itu. Sesaat ia terdiam, mencoba memproses maksud dari ucapan Kage. "A... Apa maksudmu? Ehem, tidak ada, aku hanya...." Hikari buru-buru membalik badan, wajahnya memerah. Dia mencoba mengalihkan pembicaraan, tapi dalam hatinya, dia tahu bahwa kata-kata Kage tadi telah menghantam titik lemahnya.

"Aku hanya, hanya mau kau tetap fit, ya fit," katanya pelan, mencoba menutupi rasa malunya. Ia berbalik, bermaksud meninggalkan Kage dan kembali ke tempat tidur, tapi tiba-tiba tangannya ditarik oleh Kage.

"Uwhhh..... Ah," Hikari terkejut, dan sebelum ia bisa bereaksi, ia sudah duduk di pangkuan Kage. Tubuhnya terasa kaku, dan napasnya tersengal ketika perlahan-lahan handuk yang membalut tubuhnya mulai melorot.

"Mas Kage, apa yang kau lakukan?!" Ia buru-buru menutup mata Kage dengan tangannya, wajahnya memerah karena panik.

Kage hanya tersenyum lagi, kali ini lebih lembut namun penuh arti. "Kau hanya ingin aku memperhatikanmu, bukan?" tangannya yang besar dan kokoh memegang pinggang Hikari, membuat gadis itu semakin terperangah.

"Ah..... Apa yang... Kau mesum!" protes Hikari, tapi tangannya tetap menutupi mata Kage. Wajahnya kini semakin merah, hampir seperti warna sakura yang mekar di luar.

Kage tetap tenang, meskipun mendekatkan wajahnya ke leher Hikari, mendesah pelan sebelum akhirnya berkata dengan nada yang lebih serius, "Katakan padaku, ada apa denganmu hari ini?" Sentuhan bibirnya yang lembut di leher Hikari membuat jantung gadis itu berdebar kencang.

"A.... Aku hanya... Bertanya-tanya kenapa kau harus membawaku liburan menikmati ini semua jika kau tetap sibuk dengan pekerjaanmu di sini..." ucap Hikari sambil tersendat. Air mata mulai menggenang di matanya. "Seharusnya kau melihat pohon sakura di sana, mengambil kelopak bunga dari kepalaku, dan melihat bulan dengan langit yang berbintang," lanjutnya dengan nada penuh kesedihan.

Mendengar itu, Kage terdiam, menundukkan wajahnya dengan rasa bersalah yang tak terucap. Ia menyadari bahwa ia telah mengabaikan Hikari, bahwa perhatiannya yang terus-menerus tertuju pada pekerjaan membuat Hikari merasa tidak dihargai. Rasa penyesalan mulai menghantamnya.

"Mas Kage?" tanya Hikari pelan, merasa bingung dengan keheningan Kage yang mendadak.

"Maafkan aku," Kage menyela, suaranya terdengar penuh penyesalan. "Aku seharusnya menemanimu... Ini semua memang kesalahanku, tak mencari waktu yang tepat."

Hikari terdiam, merasakan kehangatan dari tubuh Kage yang masih menempel di tubuhnya. Ia melingkarkan tangannya di kepala Kage, memeluknya dengan erat, seolah ingin meredakan perasaan bersalah yang mengalir dari lelaki itu. Sambil memandang ke luar, Hikari melihat langit malam yang cerah, dihiasi oleh ribuan bintang yang bersinar terang.

Langit di luar mungkin sudah berubah menjadi malam yang indah, tapi suasana di dalam ruangan kini terasa jauh lebih hangat dari sebelumnya. Kage dan Hikari saling memahami dalam keheningan yang damai, tanpa perlu kata-kata lebih lanjut.