Setelah selesai, mereka berdua kemudian berjalan pulang ke gerbang. "Apa dia akan menjemputmu lagi?"
"Sepertinya iya, dia seharusnya tidak melakukan itu sih, itu membuatku malu," kata Hikari.
"Malu? Itu sebaliknya lah, seharusnya kamu senang."
"Kenapa begitu?"
"Haha... Siapa yang tidak senang dijemput Bos paling berpengaruh? Hei, bagaimana jika hari ini ke rumahku?" tatap Deana.
"Ah, itu ide yang bagus," Hikari langsung menyetujui.
Tapi Hikari tiba-tiba berhenti dan terkejut karena Kage sudah menunggunya bersandar di luar mobil. "(Ke... Kenapa dia sudah sampai sini saja?!)" Hikari terkejut sendiri.
"Wah, lihat siapa yang peka," kata Deana.
"Senpai, jangan begitu... Haiz... Biar aku kenalkan," Hikari menarik tangan Deana mendekat ke Kage.
"Mas Kage, ini Deana Senpai," Hikari memperkenalkan.
"Halo, aku Deana, aku sudah tahu tentangmu sejak lama, kamu idaman banyak wanita," tatap Deana dengan nada yang merayu.
Tapi Kage hanya menatap dingin. "Aku tak peduli," balasnya.
"Aha hehe sepertinya tak mau diganggu," kata Deana.
"Apa yang kau katakan pada Senpai... Kau menyakiti perasaannya," Hikari menatap marah pada Kage yang hanya terdiam. Lalu Kage menghela napas panjang. "Cepatlah masuk...." Dia langsung menarik tangan Hikari masuk ke mobil.
"Ah, apa ini? Aku mau ke rumah Deana Senpai."
"Tidak untuk saat ini, kau harus pulang," Kage membalas sambil masuk ke bangku supir lalu menginjak gas dan pergi meninggalkan Deana.
"Apaan ini, kenapa denganmu?" Hikari menatap kesal.
"Kau bisa melakukannya besok, aku bisa membolehkanmu, tapi untuk sekarang, tidak bisa," kata Kage.
"(Cih... Menjengkelkan,)" Hikari menjadi kesal sendiri.
Sesampainya di rumah, Kage masuk dengan membuka dasinya.
Tapi Hikari mengikutinya dengan marah. "Kamu tak membolehkanku ke rumah Deana Senpai, kenapa kau begitu buruk sekali? Aku hanya ingin bermain, lagi pula aku tahu kau adalah orang yang sibuk, kenapa harus begitu?!" Hikari menatap tak terima.
Tapi mendadak Kage menoleh padanya dan langsung memojokkan dia di pintu, membuat Hikari terkejut, dia menengadah menatap Kage yang lebih tinggi darinya.
"Kau sudah cukup membual? Untuk saat ini, aku tak mengizinkanmu, tapi kau boleh pergi besok, karena saat ini, kau harus melayaniku. Pekerjaanku tertunda besok," kata Kage.
Hikari menjadi terdiam. "A... Apa yang kau mau aku lakukan agar aku besok bisa ke rumah Deana Senpai?"
Lalu Kage mundur dan duduk di sofa. "Kau harus mengetahui soal perusahaan Monoyaki, agar nanti jika ada sesuatu, kau tidak kaget dengan keadaanku," kata Kage.
"Apa kau ingin aku tahu seperti publik?"
"Yah, jika kau tahu perusahaan Monoyaki, maka kau juga akan bisa masuk ke sana."
"Eh, memangnya kenapa?" Hikari terdiam bingung.
"Tentunya aku butuh seseorang sepertimu, untuk selalu aku awasi agar tidak kehilangan kendali," Kage menatap tajam, membuat Hikari terdiam dengan wajah aneh.
"Lalu apa?" Hikari menatap sambil berjalan mendekat.
Kage lalu mengatakan sesuatu. "Kau harus tahu, bagaimana rasanya jika orang yang kau inginkan untuk kau sukai, dia selalu bersikap egois, aku hanya ingin kau mendengarkan ku, bahkan jika kau ingin meminta sesuatu, itu baik baik saja, itu tak akan membuat ku repot. Aku akan senang jika kau selalu bertanya soal aku bahkan di depan aku sendiri..." kata Kage.
Seketika Hikari terdiam mendengarnya. "(Apa yang dia bicarakan?) Apa maksudmu?" tatapnya.
Lalu Kage memegang tangan Hikari dan mencium nya membuat Hikari yang masih berdiri menjadi berwajah sangat merah.
"Aku hanya ingin tahu, bagaimana rasanya menjalin cinta dengan gadis cahaya... Seperti nama mu, aku memang kurang dalam hal ini, tapi aku mencoba untuk membuatmu tenang jika berada di dekat ku.... Jika aku bilang tidak, maka jangan lakukan, aku tahu mana keselamatan mu..." kata Kage, dia berdiri dan mendekat, dia juga mencium kening Hikari membuat Hikari benar benar terdiam di tempatnya.
"(Entah mengapa, perkataan nya itu berubah.... Dia menjadi sangat tenang dan dia seperti menyampaikan soal perasan yang mendalam.... Mungkin aku hanya harus belajar mengerti juga...)" Hikari mengangkat tangan nya dan memeluk Kage juga merasakan kehangatan.
"(Aroma parfum dan rokok yang menjadi satu... Aroma yang tidak nyaman, tapi ini membuat ku sangat hangat...)" pikirnya sambil menutup mata.
Tapi ia sadar apa yang dia lakukan sehingga dia mendorong Kage perlahan dengan wajah merah. "Kita... Tak bisa..." sambil membuang wajah.
Kage terdiam mendengar itu, lalu dia melepaskan Hikari juga. "Aku tahu itu... Aku hanya harus menunggu mu sampai siap..." tatapnya membuat Hikari juga menatapnya.
Tapi Hikari menggeleng cepat dan menyadarkan dirinya dari godaan itu. Mendadak dia langsung berlari pergi masuk ke kamarnya. Dia bahkan langsung bernapas cepat dengan wajah yang masih merah.
"(Kenapa... Kenapa...?)" ia menahan pintu dengan tubuhnya bahkan langsung berlutut di bawah pintu.
"(Kenapa tadi itu, perasaan nya sungguh berbeda....?)" dia tampak panik mencoba untuk tenang.
Hingga tak lama kemudian, dia memutuskan untuk keluar kamar dan mengintip, tapi ia bingung karena Kage tak ada di tempatnya tadi. "Oh... Apakah dia pergi?" gumam nya dengan bingung lalu memutuskan untuk ke dapur.
Hikari membuka lemari es. "(Aku ingin memasak, tapi bahan-bahan selalu habis... Aku akan membeli bahan-bahan,)" dia mengambil dompet dan barang-barang keperluan akan keluar dari pintu.
Tapi Kage tampak turun dari tangga dan langsung bertanya, "Mau kemana kau, Hikari?"
Hal itu membuat Hikari terkejut dan langsung menoleh. "Ma... Mas Kage! Kemana saja, kenapa aku tak melihatmu dari tadi?! Kupikir kamu pergi."
"Aku di ruanganku."
"Di ruangan? Tapi kamu tak ada di kamarmu."
"Di ruangan yang lain..."
"Eh..." Hikari masih bingung dan tak tahu mana ruangan Kage.
Kage hanya bisa menghela napas panjang dan bertanya. "Ngomong-ngomong, kau akan kemana?"
"A... Aku akan.... Membeli bahan-bahan untuk memasak nanti malam...."
"Kau terus membelinya beberapa kali, jika kau suka memasak, kau harus membeli banyak bahan, jangan setengah-setengah."
"Tapi, itu kan juga sesuai budget yang aku punya," Hikari menatap khawatir.
Kage lalu terdiam dan menghela napas panjang. "Aku tahu tempat yang cocok dan kau tak perlu membayar," dia malah mengambil mantel dan memakainya lalu menarik tangan Hikari yang terkejut tak percaya.
Mereka masuk mobil dan begitu Hikari berakhir dengan rasa malu dan canggung duduk di samping supir. Kage tampak mengemudi dengan wajah serius.
"Sungguh... Kamu tidak perlu melakukan hal yang sejauh ini..." Hikari tampak malu. "Ini... Ini hanya membeli bahan makanan, kenapa harus serepot ini...."
"Kita tidak membeli bahan makanan, kita berbelanja," kata Kage, seketika Hikari terdiam kaku.
Setelah sampai di pusat perbelanjaan, Kage mendorong keranjang melewati rak-rak sementara Hikari terdiam di belakang.
Lalu Kage menoleh. "Kenapa hanya diam? Ambillah barang yang ingin kau mau untuk memasak."
"Um...." Hikari berjalan mendekat lalu mengambil barang yang kecil dan akan dimasukkan ke keranjang, tapi Kage menahan tangannya.
"Letakkan itu kembali," tatapannya suram membuat Hikari terpaku, alhasil dengan ketakutan dia meletakkan barang itu kembali.
Seketika Kage mengambil barang yang sama tapi ukuran yang lebih besar, membuat Hikari terkejut.
"Ma... Mas Kage... Kamu tak perlu melakukan itu!!" Hikari panik.
Tapi Kage terus mengambil barang-barang yang bahkan sudah lebih dari cukup dari apa yang dicari Hikari.
"(Astaga, bagaimana caraku menghentikannya!!)" Hikari tampak panik.
Hingga di akhir, keranjang sudah penuh dengan barang-barang yang lengkap. Hikari mengamati keranjang yang dipenuhi dengan berbagai bahan makanan yang berwarna-warni, mulai dari sayuran segar, daging, hingga berbagai bumbu masakan. Semua ini terasa sangat berlebihan baginya, dan ia tidak bisa memahami mengapa Kage menghabiskan begitu banyak uang hanya untuk belanja sehari. Bahkan ketika pembayaran, Kage mengeluarkan kartu hitam pada kasir.
"(I... Itu kartu hitam!! Yang duitnya banyak banget!!! Hanya beberapa orang yang punya kartu hitam!!!)" Ia menatap tak enak. Kage tampak tenang seolah itu adalah hal yang biasa baginya, sementara Hikari merasa seperti sedang berada dalam mimpi yang tidak bisa ia bangunkan.
"Berikan kartu itu padanya," kata Kage pada kasir dengan suara yang tegas namun tetap santai. Kasir yang terkejut itu dengan cepat memberikan kartu hitam tersebut pada Hikari, yang bingung dan terheran-heran.
"Eh, apa maksudnya?" tanyanya, merasa tidak pantas menerima sesuatu yang sebesar itu. Kage hanya tersenyum tipis, seakan-akan dia tahu sesuatu yang tidak Hikari ketahui.
"Bawa itu agar ketika kau membeli sesuatu, tidak perlu mempertimbangkan harganya," kata Kage sambil berjalan pergi, meninggalkan Hikari yang berdiri terpaku di kasir.
Seketika, wajah Hikari berwarna merah padam. Kasir yang ada di sampingnya juga salting sendiri, matanya melirik Hikari sambil berkata, "Ehem... Anda beruntung sekali..." Nada suaranya mengandung nada menggoda yang membuat Hikari semakin tidak nyaman.
Seketika Hikari memasang wajah aneh pada kasir itu, merasakan campuran antara malu dan bingung, sebelum akhirnya memutuskan untuk mengikuti Kage keluar dari toko.
Setelah mereka berada di dalam mobil, Hikari terus menatap Kage dengan canggung. Perasaannya masih campur aduk. "Mas Kage... Bagaimana caraku, membalasmu?" tatapnya, mencoba menutupi rasa malunya dengan pertanyaan yang tampaknya sederhana.
"Bagaimana dengan ciuman?" kata Kage yang menjawab pertanyaan itu langsung, tanpa ragu sedikit pun. Seketika, Hikari kembali terkejut, wajahnya merah merona. "A... Apa yang kau katakan... Gilaaaa!!" Ia berteriak, suaranya melambung tinggi, penuh dengan keheranan dan kemarahan. Kage hanya tersenyum misterius, tampaknya menikmati reaksi Hikari.
Namun, saat lampu merah menyala, Kage mendekatkan wajahnya ke Hikari, dengan lembut mendorong kepala belakang Hikari untuk mendekat dan seketika mencium bibirnya. Hikari terdiam, matanya membelalak tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Rasanya seperti dunia berhenti sejenak, tidak ada suara lain selain detakan jantungnya yang berpacu dengan cepat.
Tak lama kemudian, suara klakson dari mobil di belakang mereka mengingatkan Kage bahwa lampu sudah hijau. Ia melepas Hikari, kembali ke kenyataan, dan melanjutkan perjalanan dengan suasana yang mendadak bisu. Hikari membuang wajahnya, merasakan panas di pipinya. "(Astaga... Aku bisa gila....!!!)" pikirnya dalam hati, tidak tahu bagaimana harus bereaksi terhadap perasaan yang baru saja terbangun dalam dirinya.
Ketika sampai di rumah, suasana tenang yang biasanya menyelimuti rumah itu kini terasa lebih berat. Namun, mendadak ada bunyi ponsel di saku Kage membuatnya menerimanya dengan cepat. Hikari mengamati Kage dengan penuh rasa ingin tahu, berharap agar pembicaraan di telepon tidak berlangsung lama.
Tapi saat ia menatap Kage, pria itu tampak serius dan fokus. "Turunlah, aku harus pergi," kata Kage dengan nada yang tegas, seolah-olah tidak ada ruang untuk berdiskusi.
"Apa?!" Hikari juga langsung terkejut.