Hari selanjutnya, Hikari mengeluarkan dua koper. Lalu Yuki datang. "Apa kau benar-benar yakin akan pergi?"
"Yah, aku juga tidak mau mengganggu kalian," Hikari membalas. Lalu, ada mobil hitam mewah datang. Hikari terpelongoh melihatnya karena itu milik Kage. Sudah jelas Kage keluar dari bangku sopir mobil hitam itu.
"(Perasaan Mas Kage tidak memakai mobil kemarin.)"
"Kage, terima kasih telah mengizinkannya menumpang," Yuki menatap Kage yang keluar dari mobil. Kage hanya mengangguk padanya lalu menatap Hikari yang masih terpelongoh.
Ia mendekat dan mengambil koper itu.
"Berpamitanlah dengan baik pada Yuki," tatapnya dengan serius.
Hikari menjadi sadar dari terpelongohnya dan mendekat ke Yuki, lalu memeluknya. "Kakak, jangan khawatir. Fokuslah pada kehidupan barumu... Dan ingat... Tidak ada selingkuh," Hikari menatap.
Lalu Yuki mengangguk cepat dan memeluk erat adiknya. Tapi Hikari mendengar Yuki berbisik. "Semoga kamu dapat hati Kage..."
Seketika Hikari melepas pelukan nya. "Apa maksudmu?!"
"Hehe... Kamu tahu kan, yang kita bicarakan kemarin itu... Aku harap kamu bisa menjalin hubungan dengan nya agar kamu bisa baik kedepan nya..."
"Haiz... Terserah... (Sebenarnya kakak tak tahu bahwa aku dan Mas Kage menjalin kontrak di malam salju pertama kemarin...)"
Di dalam mobil, Hikari hanya termenung. "(Aku benar-benar ragu dengan hubungan yang akan datang, bersama Mas Kage... Aku tak tahu harus apa... Sikap apa yang akan kutunjukkan padanya nanti... Sebagai gadis kontrak... Aku harus apa... Apa aku harus bertanya padanya?)"
Kage menatapnya dengan agak bingung. "Ada apa denganmu?"
"Hm... Em... Sebenarnya apa yang harus kulakukan sebagai gadis kontrakmu... Karena aku tak pernah melakukannya sebelumnya."
"Itu mudah saja, hanya perlu melakukan apa yang kau suka di rumahku nanti. Sambutlah aku dengan baik dan aku harus melihat masakan yang kau buat terlihat penuh dengan cinta," balas Kage.
Seketika Hikari terdiam mengingat saat Kage memojoknya di dapur itu. "(Jadi dia... Menatap masakanku... Dia menilai sangat bagus... Oh... Hatiku berdegup kencang,)" dia berwajah sangat merah. "Se... Seharusnya kau tidak perlu melakukan ini padaku, lagi pula kenapa kau harus seperti ini."
"Karena aku menyukaimu," Kage membalas tanpa basa-basi, membuat Hikari berwajah merah.
"... Tapi... Aku tidak tinggi... Tubuhku tak seperti wanita lain... Sepertiku... Kau mau?"
"Bukan masalah itu, jika kau tidak mau, aku bisa membatalkan kontraknya."
"Tidak bisa, kau telah merebut ciuman pertamaku, aku tidak akan memaafkanmu, dasar aneh."
"Kalau begitu, jadilah gadis baik dan dengarkan orang yang memberimu kontrak ini...."
"(Hiz... Dia menjengkelkan juga... Tapi... Bisa bersama lelaki tampan sepertinya memanglah sangat beruntung... Menurutku... Aku takut dia akan kecewa padaku itu saja...)" Hikari menjadi terdiam cemas.
"Ngomong-ngomong, dua hari lagi ulang tahunmu bukan?"
"Hah... Bagaimana kau bisa tahu... Oh pasti kakakku yang memberi tahu... (Dia benar-benar membuatku tak nyaman.)"
"Umurmu akan 19 tahun, bukan? Masih sangat muda."
"E... Memangnya kenapa... Apa kau lebih suka gadis dewasa?"
"Aku suka gadis muda juga."
"Kau suka gadis muda! Memangnya berapa umurmu itu... Pasti sudah dewasa... Kau harusnya mencari wanita yang lebih dewasa!" Hikari menjadi berteriak kesal.
"...Gadis dewasa belum tentu pilihan terbaik untukku," kata Kage, seketika Hikari terkejut dan salah tingkah mendengarnya.
"(Oh astaga... Lama kelamaan hatiku meledak...)"
Sesampainya di tempat, Hikari terpelongoh lagi karena rumah Kage benar-benar besar, lebih besar daripada yang ia bayangkan sebelumnya. Struktur megah dan indah dengan halaman yang luas serta arsitektur yang elegan membuatnya merasa seolah berada di sebuah istana. Nyatanya itu adalah mansion yang besar, tak ada tetangga dan tak ada interaktif sosial lain.
"Ini aneh, kupikir kau hanya orang biasa. Apa ini hasil jerih payahmu sendiri?" Hikari menatap Kage dengan rasa ingin tahu, mempertanyakan keanehan situasi ini.
"Kenapa? Ragu? Bukankah kau juga membuat ekspresi yang sama saat melihat mobilku?" kata Kage, menyeringai sedikit, seperti menikmati kebingungan Hikari.
"Aku hanya curiga kau melakukan sesuatu." Suara Hikari sedikit bergetar, menyiratkan keraguan yang mendalam.
"... Dengar, ini rahasiaku. Aku dulu membunuh orang untuk mendapatkan uang," Kage mendekat, tatapannya serius dan dalam. Namun, Hikari terdiam bingung, tidak bisa membayangkan apa yang baru saja dia dengar.
Tapi hal aneh terdengar. "Pft hahaha, membunuh, hahaha orang aneh, kau membunuh orang? Mana ada pekerjaan kayak gitu?" kata Hikari sambil tertawa, berusaha menutupi ketidaknyamanan yang mulai menggerogoti hatinya.
Kage membisu sambil mengangkat satu alisnya, jelas tidak terpengaruh oleh candaan Hikari, sebelum akhirnya berjalan masuk duluan ke dalam rumah.
"Ini kamarmu," Kage membuka sebuah pintu kamar di lantai dua rumah itu. Saat pintu dibuka, Hikari terpesona oleh apa yang dilihatnya: kamar dengan ranjang putih yang besar, perabotan modern, dan jendela besar yang menghadap pemandangan luar yang menakjubkan.
Hikari terdiam sangat terkesan dalam hatinya, mencermati setiap sudut ruangan yang tampak sempurna.
"Kopermu sudah aku letakkan di dalam. Jika satu malam kau tak bisa tidur, kau bisa menghampiri kamarku yang ada di seberang lorong ini," Kage menunjuk pintu yang tak jauh dari kamar Hikari, suaranya datar namun mengandung nada perlindungan.
"(Eh... Dia mengizinkanku masuk ke kamarnya...)" Hikari terdiam sendiri, merasakan getaran aneh di dalam hatinya.
"Aku akan ke ruanganku sebentar. Nikmati waktumu untuk melihat-lihat...." Kage berjalan meninggalkan Hikari, masuk ke sebuah ruangan.
Dari sana, Hikari tampak tersenyum senang, dia langsung berjalan untuk melihat sekitar mansion besar itu. Dengan setiap langkah yang diambilnya, rasa ingin tahunya semakin meningkat. Dinding-dinding ruangan dihiasi lukisan-lukisan indah yang tampak seperti karya seni mahal, sementara langit-langit tinggi membuatnya merasa kecil dalam keanggunan bangunan itu.
Dia melangkah ke ruang tamu yang luas, di mana sofa-sofa empuk dan meja marmer berkilau menunggu. Hikari mendekati jendela besar dan terpesona oleh pemandangan halaman yang luar biasa. Taman yang terawat dengan baik, penuh dengan bunga berwarna-warni dan pepohonan rindang, terlihat seolah-olah diciptakan dari mimpi.
"(Ini seperti di film,)" pikirnya, tidak bisa menahan senyum. "Tidak mungkin ada tempat seperti ini di dunia nyata." Hikari merasa seolah sedang berada di dalam sebuah dongeng, di mana segala sesuatunya tampak sempurna.
Ia melanjutkan penjelajahannya ke ruang makan yang megah, di mana meja panjang bisa menampung banyak orang dengan kursi-kursi kayu yang diukir dengan indah. Di dinding, terdapat lemari kaca yang menampilkan berbagai koleksi piring dan gelas kristal yang berkilau.
"(Wah hebat.... Eh tunggu... Aku baru sadar, rumah ini kan sangat besar, tapi kenapa hanya Mas Kage yang ada di sini? Apa yang di bilang kakak itu benar soal dia yang kesepian? Jika dia sendirian, kenapa harus membuat rumahnya tampak mewah bahkan meja makan dapur saja bisa menampung banyak orang.... Hm...)" dia tampak bertanya tanya dengan kebingungan
Saat dia berkeliling, Hikari menemukan pintu yang mengarah ke halaman belakang. Dengan hati-hati, ia membukanya dan keluar ke luar. Sejuknya udara malam menyambutnya, membawa aroma bunga yang semerbak. Halaman yang luas itu dipenuhi dengan jalan setapak berbatu yang membelah kebun, lampu-lampu kecil berkelap-kelip menghiasi jalur tersebut, memberi nuansa magis.
"(Wow...)" Hikari tampak sungguh terkesan, takjub melihat kolam kecil di sudut taman, airnya berkilau di bawah cahaya bulan. Dia berjalan mendekati kolam, melihat bayangannya yang tercermin di permukaan air.
Hikari berjongkok, mencelupkan jarinya ke dalam air yang jernih. Saat air mengalir melalui jari-jarinya, dia merasakan ketenangan yang luar biasa. "Tempat ini sempurna," gumamnya, merasa betah dan nyaman meskipun baru saja berada di sana.
Dia memutuskan untuk menjelajahi lebih jauh, berjalan menyusuri jalan setapak yang dikelilingi tanaman hijau. Dalam hatinya, dia merasa bersyukur atas kesempatan ini. Rasanya seperti menemukan sebuah dunia baru yang tidak pernah ia impikan sebelumnya, di mana semua keinginan dan harapannya bisa terwujud.
Namun, di dalam benaknya, masih ada sedikit keraguan. "(Apakah aku benar-benar pantas berada di sini?)" tanyanya pada diri sendiri, mencoba mencerna semua yang telah terjadi. Meski begitu, Hikari bertekad untuk menikmati setiap momen yang ada, menunggu Kage kembali untuk berbagi cerita tentang tempat indah ini.
Tanpa dia sadari, Kage melihatnya dari jendela ruangan, dia melihat Hikari yang tampak asik menikmati halaman mansion nya. Kage yang melihat ekspresi senang Hikari menjadi tersenyum tipis.
Malam itu, Hikari terus berguling-guling di tempat tidurnya, berusaha menemukan posisi yang nyaman. "(Uhk... Kenapa aku tidak bisa tidur, apa karena ranjang ini terlalu besar untukku... Haiz...)" Dia lalu bangun duduk dengan rasa putus asa, menggigit bibirnya sambil merenung.
Lalu dia berjalan membuka pintu kamarnya dan dari lorong gelap ia melihat pintu kamar Kage dari jauh, cahaya lembut yang menerangi ruangan membuatnya merasa lebih tenang.
"(Dia bilang... Aku bisa ke sana kan... Tapi... Aku benar-benar ragu,)" dia terdiam di tempatnya, menggigit kuku sambil mempertimbangkan keputusan yang akan diambil. Sebenarnya, Hikari ingin masuk dan tidur bersama Kage, merasakan kehadirannya di sampingnya. Namun, rasa tidak nyaman dan keraguan membuatnya menahan niat itu.
"(Aku tidak sepatutnya begitu kan.... Aku bukan wanita murahan.... Aku tak mau cari perhatian padanya... Aku bisa kok tidur sendiri...)"
Akhirnya, dia mengurungkan niatnya dan kembali ke kamar, menutup pintu dengan lembut, seolah mengunci semua pikirannya di luar.
Sementara itu, Kage terlihat di kamarnya, dia sedang duduk di ranjang dengan tenang dan membaca buku dengan kacamata yang ia pakai, meskipun tidak diperlihatkan dengan jelas. Ritual membacanya sebelum tidur adalah cara untuk menenangkan pikirannya setelah seharian beraktivitas.
Tidak seperti Hikari yang saat ini bahkan masih berguling-guling, Kage tampak fokus dan tenang.
"(Haaa... Lelah...)" Hikari akhirnya merasa lelah sendiri dan, setelah berusaha keras, ia tertidur begitu saja di ranjang empuk dan besar yang menyelimuti tubuhnya dalam kenyamanan.
Dalam tidurnya, Hikari terbayang berbagai hal yang membuat hatinya berdebar—tentang Kage, rumah ini, dan bagaimana hidupnya akan berubah mulai sekarang. Mimpinya mengalir, menciptakan jalinan antara kenyataan dan fantasi yang sulit dipisahkan.
"(Entahlah, aku tak tahu apa yang akan terjadi nantinya... Yang penting aku hidup enak di sini...)"