Hikari merasakan kehangatan matahari pagi menembus jendela kamar Kage, membuatnya merasa lebih hidup. Setiap sudut kamar itu dipenuhi dengan kesunyian yang aneh, tetapi sekaligus menenangkan. "(Astaga, belum pernah tidurku senyaman ini, padahal tadi tidak nyaman... Tapi lama kelamaan kasur ini sangat nyaman,)" dia meregangkan tubuh, merasakan kenyamanan yang belum pernah ia alami sebelumnya.
Lalu teringat harus melakukan sesuatu. "(Oh benar, aku harus melakukan rutinitas pagi sebagai gadis rumahan karena mulai hari ini, aku akan tinggal bersamanya.... Termasuk.... Melakukan apapun dilihat olehnya.... Um.... Mungkin tidak sampai segitu....)" Dia menggeleng, berusaha menghentikan imajinasinya yang tidak penting, lalu terlihat Hikari membersihkan lantai dengan alat vakum, berusaha menciptakan suasana yang nyaman di sekitar mereka.
Dia melirik ke arah rak buku yang terletak di sudut ruangan. Buku-buku bersampul tebal teratur rapi, sebagian besar terlihat baru. Hikari merasa penasaran dengan dunia yang disimpan di balik setiap halaman, membayangkan kisah-kisah petualangan yang tak terduga. "Aku harus bertanya pada Mas Kage tentang bukunya nanti," gumamnya, semangatnya kembali menyala.
Meskipun dia terobsesi dengan rutinitas pagi, pikiran Hikari tak bisa lepas dari pertemuannya dengan Kage. Ciuman itu masih membekas di bibirnya, menghangatkan hatinya di tengah kekhawatiran. "Apakah semua ini nyata?" tanyanya pada diri sendiri, merasakan getaran kecil di dadanya setiap kali dia membayangkan wajah Kage.
"Buku apa ini.... Mumpung Mas Kage belum bangun," ia mengamati dengan penasaran, memastikan tak ada Kage, lalu mematikan vakumnya dan mengambil buku itu. Seketika ia langsung terkejut, merasakan jantungnya berdegup lebih cepat.
"Braak!" ia mendobrak pintu kamar Kage. "Heeei.. bangun, apa maksudnya ini!!" Suaranya membahana di ruang yang sunyi, menciptakan suasana yang penuh ketegangan.
Karena teriakan itu membuat Kage terbangun dan menatapnya dengan tatapan yang tajam, seolah baru saja keluar dari mimpi buruk. Hikari langsung terkejut takut, merasakan keringat dingin membasahi telapak tangannya.
"(E... Apa-apaan tatapan mengerikan itu?) Hah, benar, lihat ini... Lihat, kenapa buku ini isinya gambar perempuan semuanya?!" ia menunjuk buku itu, suaranya bergetar antara rasa ingin tahu dan ketidakpastian.
Lalu Kage terdiam, menghela napas panjang, seolah mengingat sesuatu yang menyakitkan.
"Buku itu sudah lama," Kage membalas sambil kembali tidur, menutupi kepalanya dengan bantal sambil tengkurap, berusaha mengusir kenyataan yang baru saja dihadapi.
"Hizzz, jangan hanya tidur, dasar malas!" Hikari berteriak, berusaha memancing perhatian Kage yang seolah tak peduli dengan keberadaannya.
Tiba-tiba, Kage muncul di hadapannya, mendekat dan mengalihkan perhatian Hikari. "Kau telah menggangguku," ia berbisik, nada suaranya rendah, membuat Hikari merasa terpojok.
"Bu... Bukankah sudah jelas... Aku harus membangunkanmu dengan caraku?" tatap Hikari, merasa semakin tertekan.
"Seharusnya kau membangunkan aku seperti ini." Tiba-tiba Kage menarik pinggang Hikari dan mendorongnya ke ranjang, ketegangan di antara mereka semakin meningkat. "Ah, apa yang kau lakukan!!?"
"Ini pelajaran pas untukmu, buku itu sudah sangat lama, kenapa kau bisa menemukannya?" kata Kage sambil mendekat akan menciumnya, tatapan matanya menyiratkan ketertarikan yang mendalam.
"Aku.. Menemukannya di meja, berhentilah!" Hikari mencoba menahan tubuh Kage, merasakan detak jantungnya semakin cepat, ketakutan bercampur dengan rasa ingin tahunya.
"Biar kan ciuman pagi memberi tahu mu," Kage menatap mendekat dan mencium bibir Hikari yang terkaku tak percaya, suasana seakan terhenti dalam waktu sejenak.
"Kau harus mulai menikmati sebuah ciuman," tatap Kage, suaranya tenang namun penuh makna.
Hikari tampak ragu, dengan mata berkaca, dia lalu menutup matanya, membiarkan perasaannya mengalir bebas saat mereka mencium bibir lagi dengan sangat dekat.
"(Bibirnya..... Sangat panas.... Menyentuhku dengan perlahan dan sangat baik.... Aku sangat suka ciuman tenang seperti ini, hal ini juga membuatku tahu jadi ini rasanya enak dalam ciuman...)" Hikari meremas baju di bagian dada Kage, merasakan campuran antara ketenangan dan kegelisahan.
Tapi tiba-tiba, seseorang datang di pintu kamar yang langsung membukanya begitu saja. "Kageee!" dia seorang lelaki, tapi ia terkejut saat melihat mereka berdua.
Hikari menjadi terkejut melihat itu, seketika dia mendorong Kage. "Tunggu!! Kamu salah paham!! (Siapa sih dia, langsung masuk?!)" Hikari tampak panik, wajahnya merah padam.
". . . Hehe.... Sepertinya aku mengganggu," ia berbalik sambil berjalan, tapi Kage memegang pundaknya dari belakang dengan aura membunuh, memberi peringatan yang jelas.
Lelaki itu langsung gemetar, tak berani melawan tatapan tajam Kage.
"Ahkkkhh!"
Tak lama kemudian, ia di pojokan sambil meratapi kepalanya yang belur. Sementara Kage memakai mantel di kamar, tampak tidak peduli dengan situasi yang baru saja terjadi.
"Siapa dia?" Hikari menatap sambil turun dari ranjang, kebingungan masih terlihat di wajahnya.
"Dia hanya asistenku, Chen," balas Kage, nada suaranya datar, seolah menganggap masalah ini sepele.
"Um.... Apa kamu akan pergi?" Hikari menatap pada Kage, berharap untuk mendapatkan kepastian.
Kage terdiam sebentar, dia lalu mendekat ke Hikari, bahkan dia mencium kening Hikari, membuat Hikari berwajah merah memegang keningnya, merasakan hangat yang menyentuh hatinya.
"Aku harus pergi untuk rapat," Kage membalas sambil berekspresi biasa, seolah tidak ada yang berubah.
"Um.... Kapan kau akan pulang, sehingga aku bisa tahu kapan menyiapkan makanan untukmu?" Hikari menatap, tapi ia membuang wajah dengan malu dan wajah merahnya, merasakan ketegangan yang terus mengalir di antara mereka.
"Nanti malam," kata Kage. Lalu ia berjalan pergi bersama lelaki tadi yang bernama Chen, meninggalkan Hikari dalam kebingungan.
Chen mengikutinya keluar dari rumah Kage, tapi dia juga berpikir sesuatu. "(Siapa gadis itu? Apa simpanan Kage...?)" Dia bertanya-tanya dengan bingung, rasa ingin tahunya membara seiring langkahnya menjauh.
". . . Dia pergi, sebenarnya apa pekerjaannya? (Kakak sudah bilang dia seorang CEO tapi apa CEO harus menyerang dingin asisten-nya tadi... Benar-benar aneh,)" Hikari melamun.
Dia menoleh ke sekitar melihat kamar Kage. "(Kamar yang begitu rapi dan tidak ada barang apapun di sini, hanya batang kelengkapan, apa orang dengan banyak harta sepertinya tidak memiliki suatu hobi mengoleksi apapun itu....)" Dia malah bertanya-tanya sendiri, lalu teringat sesuatu.
"Oh, aku akan melanjutkan rutinitas pagi ku...." ia kembali membersihkan mansion itu.
Meskipun dia terobsesi dengan rutinitas pagi, pikiran Hikari tak bisa lepas dari pertemuannya dengan Kage. Ciuman itu masih membekas di bibirnya, menghangatkan hatinya di tengah kekhawatiran. "Apakah semua ini nyata?" tanyanya pada diri sendiri, merasakan getaran kecil di dadanya setiap kali dia membayangkan wajah Kage.
Ketika membersihkan lantai, Hikari teringat kembali pada wajah Kage yang terbangun dengan tatapan tajam. "Tatapan itu... seolah bisa menembus jiwaku," pikirnya. Dia menyadari bahwa di balik sikap dingin Kage, ada sesuatu yang lebih dalam. "Apa yang membuatnya seperti itu? Apakah ada luka yang belum sembuh?"
Setelah menghabiskan waktu merapikan rumah, Hikari merasa lapar. Ia membuka lemari es dan melihat isinya yang hampir kosong. "Sepertinya aku memang harus berbelanja," ujarnya dengan nada pelan, seakan mengomel pada diri sendiri. Namun, rasa laparnya malah membuatnya semakin bersemangat untuk memasak untuk Kage.
Ia lalu berjalan keluar, tapi ia masih ingat saat Kage menciumnya tadi. Mendadak ia bermuka merah.
"A... Apa yang kupikirkan, tetap fokus Hikari." Hikari menggeleng lalu berjalan pergi. Ia akan membeli bahan masakan di supermarket.
Tak lama kemudian nampak Hikari turun dari kereta dan langsung berjalan ke supermarket di sana.
"(Jika tidak salah, apa Mas Kage lebih suka masakan rumahan... Tapi dilihat dari kondisi dapurnya yang.... Kosong sama sekali, pastinya dia tak pernah makan rumah apalagi yang masakan. Dia terlihat kaya tapi aku tak melihat satu pembantu pun maupun pelayan di rumahnya...)" Dia terdiam berpikir sambil memilih bahan di sana.
Saat memilih bahan makanan, pikirannya melayang kembali kepada Kage. Dia membayangkan wajahnya saat mencicipi masakannya, harapan dan ketakutan bersatu dalam satu momen. "Apa dia akan suka? Apa dia benar-benar akan menghargai masakanku?" Hikari tak bisa menahan senyum saat membayangkan wajah Kage yang terkejut karena menikmati makanan yang disiapkannya.
Di samping itu, Hikari juga mulai mempertanyakan posisinya dalam hidup Kage. Dia tahu bahwa Kage adalah seorang CEO, orang yang berkuasa dan diakui. "(Apakah dia bisa melihatku lebih dari sekadar gadis rumahan?)" pikirnya, hatinya berdebar penuh harapan.
Saat dia berjalan di lorong supermarket, dia tidak dapat mengabaikan rasa cemas yang merayap di benaknya. "(Apa yang akan terjadi jika Kage mengetahui semua pikiranku? Apakah dia akan menganggapku aneh atau bahkan menjauh?)" Hikari berusaha menenangkan pikirannya, tapi bayangan akan masa depan yang tak pasti terus menghantuinya.
Di tengah kebingungan ini, Hikari bertekad untuk menjadikan momen-momen kecil bersamanya dengan Kage berarti. "Aku akan membuat masakan terbaik untuknya," tekadnya, dengan semangat yang membara. Dia tahu bahwa meskipun jalan di depan tidak jelas, satu hal pasti: Hikari ingin menjadikan hari-hari yang akan datang penuh dengan kehangatan dan kenyamanan.
Tapi meskipun dia sudah bertekad di tengah tengah supermarket, dia masih terpikirkan sesuatu juga dimana dia ingat soal buku yang tadi dia temukan. "(Memang benar sih, aku masih memikirkan hal itu... Bukankah itu wajar jika aku memikirkan nya berlebihan begini.... Banyak sekali foto wanita di sana dan Mas Kage hanya bilang itu buku lama... Aku juga bertanya tanya kenapa rak buku ada di bagian ruang tamu... Bukankah itu harusnya di ruangan khusus, apa dia memang sengaja meletakan nya... Mungkin dia tipe orang yang suka berpindah tempat jika ingin melakukan hobinya seperti membaca... Tunggu, hobinya membaca? Tidak mungkin kan?)" ia berpikir sangat banyak.
Sampai sampai dia menghabiskan waktu sangat banyak untuk berpikir sampai seorang wanita paruh baya mendekat. "Gadis muda," panggilnya.
Seketika Hikari tersadar. "Ah iya?" dia menatap.
"Jarang sekali ada gadis muda mau berbelanja kecuali mereka terpaksa karena menikah... Apakah kamu juga begitu?" wanita itu hanya ingin mengobrol membuat Hikari terdiam sejenak lalu tertawa kecil.
"Ehehee... Aku, aku hanya sekedar mencari bahan ringan saja... Ja-jangan khawatir, aku belum menikah..." dia menggeleng dengan panik.
"Oh, begitu ya, itu memang harus benar, karena gadis muda perlu menikmati masa muda juga..." kata wanita itu lalu berjalan pergi membuat Hikari kembali terdiam.
"(Tunggu... Apa? Perlu menikmati waktu? Apakah gadis gadis di sekitar sini tak mempedulikan karir mereka? Hm.... Mungkin itu pandangan dari perspektif lain...)"