Lembaran kertas berwarna cokelat kekuningan, terlihat jelas sudah termakan zaman. Bagian tepi dari tumpukan kertas itu sudah bergerigi akibat dimakan rayap. Teksturnya yang kasar membuat jari lentik yang ada di atasnya senang mengelus permukaannya.
Matanya tajam, menatap kata demi kata yang terukir di dalamnya. Bahkan jemari lentik itu pun mengikuti setiap huruf yang sedang ia baca.
Lampu kamar yang temaram sedikit demi sedikit membuat matanya terasa semakin berat. Tulisan yang ada di depannya menjadi kabur.
Upss! Ia hampir menjatuhkan kepalanya ke meja!
Jarak antara mata dan buku yang masih terbuka itu hanya sepersekian senti saja. Andai ia tak memiliki kontrol sedikit saja yang tersisa, sudah bisa dipastikan kepala itu akan merasa kesakitan.
Buku yang tak seberapa tebalnya itu tentu saja akan membuat kepalanya ikut terasa sakit jika terhantam begitu keras. Suara hantamannya pasti akan bisa membangunkan nenek yang tidur di kamar sebelah.
Hana menutup bukunya dan menjauhkan buku itu dari hadapannya. Tubuh yang sejak tadi duduk tanpa melakukan banyak pergerakan ternyata juga menjadi lelah.
Ia pun berdiri dan meregangkan tubuhnya, tepat saat pintu kamar terbuka.
"Kenapa kau belum juga tidur jam segini, Hana?"
Ya, meskipun ia sudah menghindar dari mengantukkan kepalanya pada meja karena mengantuk, nenek tetap saja masuk karena lampu kamar belum juga mati.
Bagian atas kamar yang tak memiliki sekat dengan kamar lainnya, tentu saja akan membuat nenek bisa langsung mengeceknya.
"Maaf nek, hanya membaca buku sebentar," jawaban Hana membuat nenek yang sedari tadi hanya berdiri di pintu berjalan masuk dan menghampirinya.
Tubuhnya yang sudah termakan usia berjalan begitu pelan dengan punggung yang sedikit menunduk. Rambutnya yang sudah beruban tak memudarkan kecantikan yang sejak dulu ada.
Mata biru milik nenek yang juga diwariskan padanya, membuatnya masih terlihat begitu cantik.
"Buku ini lagi? Apa kau masih belum mengingat semuanya?". Nenek mengambil buku usang yang terletak agak jauh dari tepi meja.
Hana mengambil buku itu dan meletakkannya lagi ke atas meja, "Bagaimana aku bisa mengingat semuanya. Nenek baru saja memberikan buku itu padaku sebulan yang lalu. Nenek sendiri, memangnya sudah hafal?"
Kali ini nenek berusaha untuk menegakkan tubuhnya ketika melihat ekspresi ragu dari cucu satu-satunya itu. Wajah congkaknya terselip sebuah sindiran dan tak lupa juga untuk menjaga tawanya agar tak keluar.
"Aku? Tentu saja aku sudah menghafal semuanya. Buku itu 'kan aku yang membuatnya"
Anggukan dari Hana membuat nenek semakin percaya diri, tapi jawabannya justru tak terduga dan membuatnya tanpa sadar mengubah ekspresinya.
"Oh, nenek ternyata. Pantas saja tulisannya agak sulit dibaca. Aku perlu waktu untuk memahaminya"
"Dasar kurang ajar!," nenek meraih lagi buku yang tadi sudah diletakkan di atas meja dan mulai memukuli Hana dengannya.
Suara tawa yang dimulai dari Hana menulari nenek yang masih mengangkat tangannya. Buku itu akhirnya diletakkan lagi ke atas meja, sebelum akhirnya tepukan pelan di pundak Hana menjadikan sapaan terakhir sebelum ia kembali ke kamarnya.
"Sudahlah. Segera tidur dan matikan lampunya. Jangan lupa besok ikut denganku ke hutan, kita harus memberikan bidan cantik itu tanaman obat yang ia inginkan"
Ruangan kecil berukuran sembilan meter persegi itu tetaplah terasa jauh bagi orang yang sudah lanjut usia sepertinya.
Tapi entah kenapa jika sudah bekerja dan pergi ke hutan, tak ada lelah yang terasa. Mungkin juga karena segarnya dedaunan yang dibasahi embun.
Sosoknya yang sudah menghilang dari balik pintu membuat Hana menghembuskan nafasnya lega. Neneknya tak juga berubah, masih begitu memperhatikannya.
Lampu kecil berwarna putih yang ada di atas meja menjadi satu-satunya penerangan yg sejak tadi terpakai. Memang tak cukup jika digunakan untuk menerangi seluruh kamar, tapi itu cukup terang untuk membantunya membaca saat malam.
Herannya, cahaya sekecil itu masih saja tak luput dari mata tajam neneknya yang ada di kamar lain.
"Hoaahhhmm! Sepertinya nenek benar, aku harus segera tidur"
Gerakan cepat untuk mematikan tombol dari lampu meja dan bergegas naik ke kasur yang ada di sebelahnya.
Bergelung dengan selimut tebal dan lembut hadiah dari ibu saat ia datang ke desa sebulan yang lalu. Masih wangi.
Secepat itu jugalah ia terhanyut dalam bayangan gelap bernama mimpi. Pemandangan di balik mata masih sedikit bercahaya .
*****
"Hana! Cepat bangun!"
Suara terdengar sama, tapi hanya berupa dengungan tak menyenangkan. Berisik. Tangannya bergerak di atas kasur, berusaha menggapai bantal yg entah sudah dimana letaknya.
Gumpalan lembut itu ia gunakan untuk menutupi telinganya, agar suara yang mengganggu tak lagi terdengar.
Brakk!
"Astaga! Hana! Kamu belum bangun?! Nenek sudah panggil kamu dari tadi!"
Yang dipanggil tak juga bangkit untuk sekedar menyapanya, hanya geliat kecil seperti ulat dan geraman yang terdengar di balik bantal kekuningan itu.
Mau tak mau, nenek pun menghampiri dan menarik selimut serta bantal itu dengan paksa. Membuat si empunya kesal dan pada akhirnya membuka mata.
"Nenek…," suara gerutunya terdengar serak.
Tangan kasar nenek pun tak segan untuk menarik telinga kanan cucunya yang masih belum mau membuka matanya itu.
"Ah! Ampun nek!"
Rasa sakit itu akhirnya mampu membuat Hana membuka matanya dan bangkit dari tidurnya. Tentu sebenarnya itu adalah agar telinganya tak begitu terasa sakit lagi.
"Segera cuci muka dan kita langsung berangkat. Nenek tunggu"
Belum sempat nenek keluar dari kamar, Hana menyeletukkan kalimat yang akhirnya membuat nenek kembali lagi.
"Kita tidak sarapan dulu?"
"Hana! Ini masih terlalu pagi!"
Omelan pagi yang rasanya sudah menjadi sarapan untuknya. Rutin tapi juga tak pernah membuatnya jera.
Entah sudah berapa kali neneknya itu mengelus dada karena tingkah cucu satu-satunya. Anak dan juga menantunya hanya sebulan sekali pulang, sedangkan suaminya sudah lama berpulang.
Duduk di teras rumahnya saja terasa menyenangkan. Pagi hari dengan sinar matahari yang belum begitu tinggi, udara sisa semalam dengan dinginnya embun.
Bahkan meja dan kursi kayu yang ada di teras rumahnya pun masih terasa basah, begitu juga dengan tanaman hias yang ditanam oleh cucunya di halaman depan.
Sebuah keranjang yang dibentuk dari anyaman ada di depan kakinya, masih kosong karena isinya sudah ia jual langsung kemarin.
Pagi hari memanglah saat yang paling tepat untuk berburu tanaman herbal, masih begitu segar dan tak akan terasa gerah meski mencari begitu jauh nantinya.
Krieettt..
Pintu depan berbunyi tak menyenangkan, sudah saatnya diolesi dengan minyak nanti saat pulang. Hana mengunci pintunya dan menyembunyikan kuncinya di bawah keset yang ada di depan pintu.
"Ayo berangkat"
Hana yang keluar paling terakhir malah berjalan lebih dulu, sementara nenek masih mengangkat keranjang dan memasangkannya di tubuhnya.
Matanya menatap tajam rumah yang akan ia tinggalkan sementara, sesuatu yang berada di dalam sana membuat tatapan tajamnya berkilat marah.
"Nenek~ ayo.."
Pandangannya kembali pada cucunya yang menunggu dengan tatapan heran, anak kecil itu masih tak tau apapun.
*****
Bersambung