Chereads / The Existence. / Chapter 3 - Berdoa

Chapter 3 - Berdoa

Kalimat terakhir itu masih terngiang meski alpha sudah menghilang dari pandangan. Tubuhnya tak bergerak barang sesenti pun dari tempatnya berdiri.

 

Tanpa ia sadari, bahkan mulutnya masih terbuka dan air mata yang tak berhenti mengalir sejak tadi. Satu-satunya sumber air yang tak habis di daerah sini, air matanya.

 

"Hei, beta! Beta!"

 

Tubuhnya digoyangkan entah oleh siapa saja, karena begitu ia kembali dalam kesadaran beberapa orang sudah mengerumuninya.

 

"Apa yang terjadi?"

 

"Alpha mau kemana?"

 

"Apa yang kalian bicarakan tadi?"

 

Pertanyaan bernada sama, semua tentang alpha yang tiba-tiba saja pergi dan ia tidak mengikuti. Sengaja berbisik agar tak terjadi keributan dan niatnya pergi tak terhalang oleh beberapa orang yang enggan melihat alpha menyendiri.

 

Pikirannya masih begitu rumit hingga ia merasa masih belum sanggup untuk barang menjawab satu pertanyaan.

 

Tindakan alpha yang pergi menyendiri saat kondisi pack yang sedang kekurangan bisa saja berarti ia kabur, atau yang paling parahnya justru bunuh diri.

 

Guncangan di tubuhnya malah semakin menjadi ketika ia memutuskan untuk diam dan membiarkan orang-orang ini merecokinya.

 

"Baiklah, aku akan mengatakannya"

 

Tepat setelah ia mengatakan hal tersebut, kerumunan yang semula berada di sekitarnya mulai menjaga jarak.

 

Saat matanya menelisik siapa saja orang yang sudah membuatnya pusing dengan rasa penasaran mereka, saat itulah ia tau kalau anaknya adalah salah satunya.

 

Pandangan mata yang terlihat begitu khawatir, bukan kepadanya yang baru saja dikerumuni oleh banyaknya orang.

 

Tapi pada sosok yang saat ini sudah berjalan jauh di dalam hutan, kekhawatiran yang sama dengan miliknya.

 

"Dengarkan aku lebih dulu dan kumohon untuk lakukan apa yang nanti kuminta. Jangan bertindak gegabah"

 

Peringatan yang nampaknya cukup karena mereka pun tau kalau itu sebenarnya berasal dari alpha mereka. Masing-masing dari mereka meneguk ludah karena penasaran dan menajamkan telinga mereka.

 

"Beliau bilang, kalau ia akan pergi ke dalam hutan untuk berdoa pada dewi-"

 

"Apa?!"

 

Semua orang mengeluarkan protes yang sama, tapi tangan beta terangkat hingga suara protes itupun reda.

 

"Beliau meminta agar tak ada satu orang pun yang mengikutinya ke dalam hutan, itu akan mengganggu doanya"

 

"Bagaimana jika terjadi sesuatu pada beliau?," ucap salah satu orang yang berada di dalam kerumunan tersebut.

 

Ia melarang, tapi ia sendiri juga ingin pergi. Ia sendiri juga merasakan kekhawatiran yang sama dengan mereka. Tapi pesan ini harus tersampaikan dengan baik dan amanat juga harus dijaga.

 

"Alpha pasti baik-baik saja. Kita akan menjemputnya saat sudah tandanya sudah muncul"

 

Seseorang menyela lagi karena rasa penasaran, yang semua orang juga pasti rasakan.

 

"Tanda apa?"

 

Beta menghela nafasnya, menggeleng sebagai jawaban dari pertanyaan singkat tersebut. "Aku sendiri juga tak tau. Kita tunggu saja"

 

*****

 

Tanah berkerikil, beberapa batu berukuran besar terkadang ada di depannya, jalan yang kian menanjak dan dedaunan kering sepanjang jalan.

 

Belum makan sejak kemarin membuat perutnya memberontak dan kakinya terasa lemas, padahal jarak untuk sampai ke gua yang dituju masih agak jauh.

 

Kakinya menyerah, membuatnya tak bertenaga dan luruh begitu saja di atas tanah. Tangannya berpegangan pada satu batang pohon terdekat, berukuran kecil tapi cukup mampu untuk menopang berat tubuhnya.

 

Nafasnya sedikit terengah, detak jantung juga semakin melaju dan suara perut yang tak kunjung surut.

 

Matanya melihat ke sekitar, mencoba untuk mencari sesuatu yang kiranya bisa ia makan sebagai makanan darurat.

 

Setidaknya ia harus bertenaga agar bisa sampai ke tempat tujuan, ia tak ingin mati sebelum misi selesai ia jalankan.

 

Tangan yang gemetar mencoba merangkak sedikit untuk menggapai salah satu tanaman yang ia pernah lihat menjadi salah satu bahan masakan dulu.

 

Walaupun tak ada air untuk mencuci dari debu dan kotornya tanah, ia tetap meraihnya dan segera memakannya.

 

Rasa sepat, hambar dan berpasir tak ingin ia hiraukan. Itu karena ia lebih membutuhkannya dibandingkan ego dari seorang manusia yang beradab.

 

Seandainya kawanannya melihat apa yang ia lakukan saat ini, mereka pasti akan segera menepis apa yang sedang ia pegang dan menggantinya dengan yang jauh lebih baik.

 

Tapi kondisi mereka sama, kelaparan dan kesakitan. Satu-satunya harapan adalah permintaan pada dewi yang semoga di dengar.

 

Selama ini ia hanya mendengar tentang dewi dari cerita, dongeng pengantar tidur saja. Berharap agar dewi yang sejak dulu diceritakan akan benar-benar menjawab doanya.

 

Satu makanan tadi setidaknya cukup untuk meredam kebisingan yang dihasilkan oleh perutnya. Cukup juga untuk memberikan sedikit tenaga pada kakinya, agar ia bisa berjalan lebih jauh.

 

Sedikit hal yang setidaknya bisa membuat semangatnya terpupuk adalah kemungkinan banyaknya makanan segar yang akan ia temui saat ia sampai di tujuan.

 

Pintu gua tidak begitu lebar, hanya berukuran sekitar satu setengah meter. Begitu masuk ke dalam, hanya ada kegelapan.

 

Tanah yang basah, bagian langit-langit yang terus meneteskan air. Beberapa bagian juga terlihat runcing karena air tersebut.

 

Berbekal ingatan masa lalu, alpha berjalan pelan menuju ke satu-satunya tempat yang memiliki cahaya.

 

Tidak banyak, hanya tersorot sebagian. Tapi setidaknya itu cukup untuk membuatnya mengerti perbedaan siang dan malam saat ia memutuskan untuk berdiam di gua itu nantinya.

 

Tak ada kelelawar, hanya beberapa binatang melata seperti ular dan kelabang. Di bagian tempat yang lain terdengar aliran air mengalir yang di dalamnya ada ikan.

 

Setidaknya itu akan cukup untuk beberapa hari berada di tempat ini.

 

Itulah yang dipikirkan alpha.

 

Tapi nyatanya, begitu ia sampai di tempat yang ia ingat, sungai itu begitu dangkal dan hanya ada aliran kecil di bagian bawahnya.

 

Bagian dalam yang seharusnya terasa sejuk karena lubang di bagian langit-langit gua, kini justru terasa pengap.

 

Ingin kembali tapi langkah kaki sudah tak sanggup lagi untuk berdiri. Alpha memutuskan untuk duduk di bagian tanah yang basah dan meletakkan kakinya di bagian sungai kecil, dimana aliran kecilnya melewati kakinya.

 

Helaan nafasnya terdengar berat, ia menanggung beban harapan seluruh kawanan pack di pundaknya. 

 

Pikiran tentang kegagalan tentu memenuhi otaknya saat ini, tapi ia tak mungkin pulang tanpa memberikan kabar gembira.

 

Maka dari itu, tanpa makanan tambahan lainnya alpha mulai memejamkan mata dan berdoa.

 

Dengan wajah menghadap ke arah cahaya matahari datang, dan sinar yang membasuh tubuhnya dengan hangat.

 

Ia melakukan hal yang selama ini belum pernah dilakukan oleh siapapun, bahkan oleh leluhurnya. Ia hanya berharap pada sebuah cahaya kecil keyakinan di hatinya.

 

"Dewi, tolong dengarkanlah aku…"

 

Semua doa ia panjatkan, keinginan dan harapan. Bahkan tanpa sadar ia sudah menjadikan dewi seperti sedang berada di sampingnya dan membuatnya bercerita panjang lebar.

 

Suaranya yang sudah habis tak membuatnya berhenti bercerita, ia yakin kalau dewi akan mendengarkannya.

 

Sampai akhirnya bagian cahaya yang tadi menyinarinya menjadi redup dan kegelapan sempurna memenuhi matanya.

 

Hari sudah berganti malam dan tak ada dewi, yang sejak tadi rasanya mendengarkannya bercerita.

 

*****

 

Bersambung